Suramnya Politik Atas Nama Tuhan

Suramnya Politik Atas Nama Tuhan

Saat sebuah kepentingan politik mengklaim atas nama tuhan, masyarakat terkadang berbondong-bondong membelanya.

Suramnya Politik Atas Nama Tuhan

Atas nama Tuhan menjadi frasa yang indah terdengar jika dilekatkan pada hal-hal yang mengandung kebaikan. Namun dalam dunia politik praktis masa kini, frasa tersebut seringkali dicatut demi kepentingan golongan. Perang antar negara juga bisa terjadi dengan pompaan semangat “Atas nama Tuhan” tersebut.

Perang tetap terjadi meskipun kedua negara memiliki dorongan semangat yang sama: “Atas nama Tuhan”, Tuhan yang sama yang mereka sembah. Hal ini dapat kita lihat dalam konflik di Timur Tengah beberapa dekade yang lalu.

Dalam menyikapi konflik di dunia muslim, Mustafa Akyol, penulis Turki kontemporer, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif dalam Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam mengatakan, “Agama sesungguhnya bukanlah menjadi pokok utama dari konflik-konflik ini selalu saja, politik yang mesti disalahkan. Tetapi, penyalahgunaan Islam dan sejarahnya menyebabkan konflik politik ini menjadi semakin buruk, saat partai-partai, pemerintah, dan milisi mengklaim bahwa mereka berperang bukan untuk kekuasaan atau wilayah, melainkan atas nama Tuhan.”

Perang untuk memperebutkan wilayah dan kekuasaan tidaklah populis di mata umat beragama. Umat akan enggan mendukung perang dengan alasan semacam ini, bahkan akan mengecamnya. Namun ketika dibungkus dengan agama, dukungan umat pun mengalir deras. Dalam “Perang Atas Nama Tuhan” ini, mestilah ada pihak lain sebagai lawan yang direpresentasikan sebagai kekuatan jahat, sebagai bala setan yang akan merusak bumi. Oleh karena itu, mereka menyebut lawan mereka sebagai kelompok yang menyimpang, yang sesat dan kafir.

“Ketika musuh dikatakan sebagai kelompok yang menyimpang (heretics) bukan hanya sebagai lawan, perdamaian menjadi sukar dicapai,” kata Mustafa Akyol.

Ahmad Syafii Maarif menambahkan, “Akibat penempatan lawan bukan sekadar musuh, melainkan sebagai orang yang telah keluar dari rel agama berdasarkan doktrin fanatisme subyektif satu pihak, radius permusuhan sesama muslim tidak diragukan lagi akan sulit dibendung dan dikendalikan. Orang tega saja ‘menyeret’ Tuhan ke pihaknya dengan cara nista dan tidak bertanggung jawab.”

Perpecahan yang terjadi pada tubuh bangsa Indonesia juga terjadi karena konflik politik. Terjadi persaingan yang tidak sehat antar-kepentingan. Partai-partai saling menjatuhkan, tokoh-tokoh elit politik saling melemahkan, dan ormas-ormas saling berebut dukungan. Rakyat pun terpecah belah.

Sangat menarik membaca novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur yang sarat kritik politik. Secara blak-blakan, dalam novel berlatar Aceh ini Arafat Nur menuliskan, “Kalau Aceh ingin merdeka, kemenangan Partai Merah kali ini haruslah mutlak, tidak boleh ditawar-tawar, jangan berikan kesempatan pada partai lain.”

Ucapan tersebut disampaikan oleh juru kampanye Partai Merah di sebuah lapangan kota. Dalam kampanye itu tak lupa juru kampanye membawa-bawa nama Tuhan, “Bila partai ini kalah, Tuhan akan marah pada rakyat Aceh!”

Pada akhirnya, mereka pun mengklaim diri sebagai partai Tuhan, “Kalian semua harus memberikan suara untuk Partai Merah, sebagaimana yang kalian ketahui, ini adalah Partai Tuhan!”

Mungkin mereka memiliki keyakinan bahwa mereka berjuang murni demi agama. Mereka membela agama, dan lawan mereka adalah orang-orang yang menyimpang. Tuhan pasti akan bersama mereka dan akan mengalahkan orang-orang yang menyimpang tersebut. Atau mungkin itu sekadar retorika belaka?

Mari kita sejenak menengok perjalanan sejarah umat Islam. Salah satu perpecahan terbesar mula-mula dalam tubuh umat Islam terjadi pada Perang Shiffin. Dalam perang tersebut, pasukan Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dalam pasukan keduanya terdapat para sahabat Nabi yang mulia. Kedua pasukan merasa yakin berada pada pihak yang benar. Pada akhirnya, perang yang dimenangkan oleh Muawiyah ini melahirkan perpecahan dalam tubuh umat Islam.

Hal yang sama bisa kita lihat dalam peralihan kekuasaan khilafah dari Bani Umayah ke Abbasiyah. Keluarga Bani Umayah diburu, dipenjara, dan dibunuh oleh para pasukan Bani Abbasiyah hingga habis, kecuali satu orang saja yang berhasil melarikan diri ke Andalusia. Padahal, kedua dinasti itu sama-sama hendak berkuasa demi meninggikan panji agama.

Ali bin Muhammad Ash-Shallabi dalam Sejarah Daulah Umawiyah & Abbasiyah, mengemukakan bahwa Khalifah terakhir Bani Umayah, Marwan II bin Muhammad, dikejar-kejar pasukan Bani Abbasiyah hingga ke Abusir, Mesir. Di sanalah Khalifah Marwan menemui ajalnya. Berita kematian khalifah ini membuat pasukan Bani Umayah yang terkepung di wilayah Wasith (Irak) menyerah kepada Bani Abbasiyah.

Menjadi sangat rawan ketika membawa-bawa nama Tuhan dalam konflik politik. Masing-masing pihak meyakini berada dalam kebenaran, sedangkan lawannya menyimpang. Atas nama Tuhan, mereka berusaha mencari dukungan dan melemahkan lawan. Mereka akan mengatakan bahwa Tuhan bersama mereka sehingga mereka akan menang.

Padahal, terkadang yang jelas-jelas menegakkan agama Islam pun dikalahkan oleh musuh, sebagaimana saat Hulagu Khan membunuh Khalifah Abbasiyah, Al-Musta’sim, kemudian pasukan Mongolnya meluluhlantakkan kota Baghdad.

Dan, kehancuran Andalusia, apakah semata-mata hanya karena serangan pasukan Kristen? Firas Al-Khateeb, dalam Lost Islamic History, menyebutkan adanya periode Taifa di Andalusia. Andalusia terpecah dalam negara-negara bagian (taifa). Selanjutnya, negara-negara bagian itu saling bersaing memperebutkan kekuasaan. Maka, kemasyhuran dan kemakmuran Andalusia hancur karena perebutan kekuasaan antara penguasa muslim tersebut.

Para penguasa menutupi ambisi politiknya dengan cadar agama demi meraih dukungan massa. Hal ini diikuti oleh kelompok-kelompok yang lebih kecil sehingga perpecahan mudah sekali terjadi dalam tubuh umat Islam. Pihak yang satu menyatakan dirinya sebagai representasi kehendak Tuhan dan pihak liyan dianggap sebagai kelompok yang menyimpang. Padahal, keduanya masih sama-sama sebagai umat pengikut Nabi Muhammad Saw.

Kita mesti hati-hati ketika elit politik mulai membawa-bawa nama Tuhan dalam aktivitas politiknya. Ketika Tuhan dibawa ke dalam politik praktis, massa pun akan melihatnya bukan sebagai konflik politik lagi, tetapi sebagai konflik agama. Dan sentimen agama menjadi mesin penggerak massa yang ampuh.

Kiranya, lintasan sejarah peradaban Islam bisa kita jadikan sebagai pelajaran agar bangsa Indonesia tidak terjatuh dalam perpecahan yang melemahkan bahkan menghancurkan bangsa ini.

Wallahu A’lam.