Ketika Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel tahun 1979, yang kemudian disusul oleh Yordania, dan Mauritania, penyebutan konflik di Timur Tengah menjadi terkotak-kotak. Konflik Palestina-Israel misalnya, yang semula merupakan konflik besar antara negara-negara Arab dan Israel, kini menjadi lebih sempit.
Saat Mesir pertama kali melakukan perjanjian damai dengan Israel, banyak negara-negara Arab yang mengecam dan kemudian berimplikasi pada pemutusan hubungan dengan Mesir. Saat itu, tindakan diplomatik yang dilakukan Mesir memang cukup tepat, karena Mesir dapat dibilang sebagai negara yang paling banyak memakan korban atas konflik Arab-Israel.
Misalnya, sejak tampuk kepemimpinan Mesir dipegang oleh Gamal Abdul Nasir dan Anwar Sadat, Mesir telah mengalami beberapa kali perang dengan Israel. Akibat kalah perang pada tahun 1967 yang cukup memalukan bagi bangsa Arab, paling tidak Mesir hampir mengalami kebangkrutan, dan salah satu dampak besarnya adalah Sinai (wilayah Mesir) berhasil dikuasai dan dicaplok oleh Israel.
Media Barat memiliki peran penting dalam menggiring opini publik dari yang semula merupakan konflik besar antara Arab-Israel, kemudian dipersempit menjadi konflik Palestina-Israel. Kelihaian dan kelicikan Zionis Israel juga ikut andil dalam mempersempit ruang konflik mereka sehingga hal ini sangat menguntungkan bagi Israel untuk semakin memperluas wilayah mereka di Palestina. Sementara di sisi lain, Israel membangun hubungan baik dengan negara-negara Arab pasca perjanjian damai Mesir dan negara-negara lain.
Setelah beberapa kali perang dengan Israel, yang terakhir pada tahun 1973, Presiden Anwar Sadat tampaknya lebih memilih jalan diplomatik daripada perang. Termasuk dalam membantu bangsa Palestina memperoleh kemerdekaannya. Dari perjanjian damai dengan Israel, Mesir akhirnya dapat mengambil lagi wilayah Sinai yang semula dicaplok oleh Israel.
Namun demikian, bagi Palestina, jalan damai atau perang tampaknya sama saja dan tidak dapat mengubah nasib mereka. Bahkan nampaknya, kini Palestina berjuang sendiri, karena negara-negara Arab yang lain tidak peduli dengan nasib Palestina. Keberadaan organisasi OKI juga tidak membantu atas redamnya konflik Palestina-Israel, meski tujuan pendirian organisasi tersebut adalah memberi jalan damai bagi konflik Timur Tengah.
Kondisi di atas ternyata memberikan jalan baru bagi gerakan kelompok ekstrimis Islam, khususnya bagi al-Qaidah di Afganistan. Banyak warna Arab yang prihatin sekaligus marah terhadap penguasa mereka yang tampak tidak peduli dengan konflik Palestina-Israel, dalam hal ini, Amerika berada di belakang Israel. Hal ini memicu lahirnya gerakan fundamentalis ekstrem yang mencoba memberi jawaban atas konflik Timur Tengah.
Bagi Barat, Israel sudah menjadi semacam kebenaran yang harus dibela. Padahal, keberadaan mereka tak lebih hanyalah seperti penjajah yang sama busuknya dengan teroris. Yang paling menyedihkan adalah Palestina dianggap sebagai teroris karena membahayakan keamanan Israel.
Maka tidak heran jika banyak masyarakat Arab yang apatis dan marah. Negara-negara Arab yang tidak peduli dengan Palestina dianggap telah menerapkan standar ganda.
Barat dan khususnya Amerika sebagai negara yang berada dibalik perang Timur Tengah tampaknya semakin memberikan dampak negatif bagi jalan damai. Misalnya, ketika al-Qaedah didirikan, tujuannya tak lain adalah untuk mengusir penjajahan Uni Soviet atas Afganistan. Namun demikian, ketika mereka berhasil mengusir Uni Soviet, perjuangan mereka kemudian berbalik arah.
Arah baru bagi perjuangan al-Qaedah adalah melawan dan menumpas apapun yang berasal dan terkait dengan kepentingan Barat khususnya Amerika. Sebagai balasan atas gerakan al-Qaedah ini, Amerika kemudian membuat pasukan koalisi internasional untuk membumihanguskan Afganistan. Mereka menangkap tokoh Taliban dan al-Qaedah yang dicap sebagai teroris.
Banyak kelompok al-Qaedah yang kemudian melarikan diri di banyak negara-negara Arab yang sedang dilanda kekacauan besar. Orang-orang dari al-Qaedah yang melarikan diri inilah yang kemudian memicu lahirnya banyak gerakan fundamentalis teroris, termasuk ISIS.
Rangkaian peristiwa di Timur Tengah, khususnya Arab Spring juga memberi titik baru bagi goncangan dasyat bagi gejolak konflik di negara-negara Arab. Fenomena ini telah banyak mengulingkan para penguasa otoriter dan diktator di negara-negara Arab, seperti menggulingkan kekuasaan presiden Mubarok Mesir, presiden, Zainal Abidin Tunisia, Muamar Kadafi Libia, Ali Abdullah Saleh Yaman. Mereka semua merupakan penguasa kuat yang telah berkuasa lebih dari 20 tahun.
Sementara itu, kini negara-negara bekas pimpinan orang-orang kuat itu telah porak poranda dan dilanda kekacauan yang dasyat. Misalnya, Irak, Libia, Yaman dan Suriah yang kini telah menjadi sarang kelompok garis keras dan teroris. Perebutan kekuasaan dan konflik antrgolongan juga sedang mewarnai konflik di negara-negara tersebut, sangat memilukan.
Di sisi yang lain, Iran dan Arab Saudi sedang dilanda perang dingin. Saudi menuduh Iran sedang melakukan perluasan pengaruh Syiah di negara-negara Arab Teluk. Seperti pengepungan melalui jalur Iran-Irak-Suriah-Lebanon dan Jalur Iran-Bahrain-Yaman (Houti). Hal yang sama juga dituduhkan Iran kepada Saudi Arabia, seperti tudingan ingin menjadikan negara-negara Arab sebagai boneka mereka.
Akibatnya, kini Libanon menjadi korban atas aksi konflik kedua negara tersebut, khususnya melalui kelompok-kelompok di negara tersebut. Puncaknya adalah ketika perdana mentri Libadon, Saad al-Hariri mengundurkan diri di negara cantik dan indah yang kini diambang konflik antarkelompok dan perang saudara yang memilukan.
Berbagai macam konflik dan munculnya aksi-aksi gerakan teroris di Timur Tengah, makin hari makin tidak jelas, khususnya instabilitas di berbagai negara dalam geopolitik Timur Tengah. Jalan damai yang diidam-idamkan semakin tidak menemukan titik temu atau barangkali makin menjauh. Timur Tengah semakin carut-marut dan konflik Palestina-Israel semakin terlupakan. Lalu, bisa apa umat Islam bagi konflik yang berkepanjangan ini. Siapa lawan dan siapa kawan semakin absurd.