Pemerintah transisi Sudan dan kelompok pemberontak telah setuju untuk memisahkan negara dan agama dalam pemerintahan Sudan. Membuka lebar Sudan menjadi negara sekuler.
Keputusan ini merupakan lanjutan pembicaraan damai yang terjadi pada hari Jumat (4/9) lalu. Peristiwa ini merupakan sebuah perkembangan sekaligus harapan besar untuk mengakhiri perang saudara yang sudah berjalan selama beberapa dekade di negara tersebut.
Keputusan itu muncul beberapa hari setelah pemerintah mencapai kesepakatan dengan kelompok pemberontak untuk memadamkan konflik yang berkepanjangan dari masa pemerintahan Omar Bashir.
Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan-Utara, yang dipimpin oleh Abdel-Aziz Al-Hilu, dan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok menandatangani surat komitmen bersama pada Kamis malam di ibukota Ethiopia, Addis Abada. Komitmen tersebut menekankan pada “keharusan” untuk menemukan “solusi politik yang komprehensif dan adil” demi mengakhiri konflik berkepanjangan.
Demi meletakkan dasar bagi kesepakatan di masa mendatang, Al-Hilu dan Hamdok pada prinsipnya sepakat tentang berbagai masalah politik yang menggagalkan upaya untuk mencapai kesepakatan di masa sebelumnya, yakni aspirasi menjadikan Sudan negara sekuler.
Konstitusi Sudan “harus didasarkan pada prinsip pemisahan agama dan negara,” tertulis di dalam pernyataan komitmen tersebut, mengakui permintaan lama dari faksi Al-Hilu yang sekuler. Sekaligus membuka pintu bagi Sudan menjadi negara sekuler di masa mendatang.
Kedua belah pihak juga setuju untuk membiarkan kelompok pemberontak mempertahankan senjatanya sampai mereka menandatangani kesepakatan pengaturan keamanan baru.
Pemerintah transisi mengambil alih kekuasaan setelah militer menggulingkan Omar Hassan al-Bashir yang berkuasa selama 30 tahun pada April tahun lalu, menyusul aksi protes besar-besaran di jalanan. Setelah itu, pemerintah transisi Sudan melakukan reformasi besar-besaran.
Reformasi Sudan yang menyita perhatian adalah dengan mencabut beberapa hukum syariat Islam. Beberapa reformasi yang dilakukan antara lain meniadakan hukum cambuk, menghapus sunat perempuan, hukuman mati bagi orang yang murtad dihapus, serta warga non-Muslim diizinkan untuk mengonsumsi, mengimpor, dan memperjualbelikan minuman keras. Selain itu, otoritas pemerintahan transisi ingin memangkas pengeluaran sektor militer yang menghabiskan 80 persen dari anggaran nasional.