Bahaya Politik Identitas yang Keblabasan, Pelajaran dari Sudan

Bahaya Politik Identitas yang Keblabasan, Pelajaran dari Sudan

Politik identitas di Sudan mungkin juga terjadi di Indonesia

Bahaya Politik Identitas yang Keblabasan, Pelajaran dari Sudan
Many protesters were carrying banners that read ‘Justice for Martyrs’, while others held photographs of demonstrators killed in the raid [Mohamed Nureldin Abdallah/Reuters]

Sudan merupakan negara yang mayoritas penduduknya 97 % Islam, 1,5 % penganut kepercayaan Afrika atau animisme dan 1,5 % Kristen. Penduduk yang mayoritas Islam dengan jumlah 97 % ini berada di Sudan Utara, yang 3 % sisanya berada di Sudan Selatan yang sejak 2011 memisahkan diri dari Sudan Utara dan hingga kini masih dilanda konflik sektarian yang mengakibatkan kepada krisis kemanusiaan.

Sebelum musim semi rakyat Sudan muncul kepermukaan, Sudan merupakan negara dengan perpaduan dua kekuatan yaitu militerisme dengan tokohnya Omar Bashir dan Islamisme dengan tokohnya yaitu Hasan Turobi. Pada 30 Juni 1989 M Omar Bashir memimpin kudeta militer terhadap pemerintahan koalisi perdana menteri Shadiq Al-Mahdi yang terpilih secara demokratis.

Kudeta yang dilakukan Omar Bashir tidak hanya melibatkan kekuatan militer, tetapi juga melibatkan kelompok Islamis yang dipimpin oleh Hasan Turobi. Koalisi dua kekuatan tersebut dalam perkembangannya memancing konflik di tengah masyarakat Sudan yang multi etnis, agama dan budaya. Dan yang paling panas adalah konflik antara  Sudan Utara dan Sudan Selatan.

Karena orang-orang Sudan Utara mayoritas Arab  muslim, sementara Sudan Selatan adalah keturunan kulit hitam Afrika yang beragama Kristen dan penganut aliran kepercayaan Afrika atau animisme. Alih-alih membentuk negara sekuler untuk meredam ketegangan politik identitas, Omar Bashir dan Hasan Turobi justru membuat Sudan menjadi negara Islam. Di mana Hasan Turobi sering didaulat sebagai salah satu tokoh penting dan paling berpengaruh dalam politik modern Sudan dan mempunyai peran penting dalam melembagakan aturan-aturan syariah di Sudan pasca kudeta 1989 M. Aliansi militer-islamis dan menjadikan Sudan sebagai negara Islam adalah cara yang digunakan Omar Bashir agar bisa berkuasa lama. Dan juga menjadikan konflik berkepanjangan atara Sudan Selatan dan Sudan Utara yang berujung kepada pemisahan Sudan Selatan menjadi negara sendiri.

Sejatinya pertentangan antara Sudan Selatan dan Sudan Utara bukan hanya soal agama, tetapi juga budaya. Di mana warga Sudan Selatan, yang sering mendapat diskriminasi dari elite di Utara merasa sedang mempertahankan budaya aslinya dari Islamisasi dan Arabisasi yang dilakukan oleh Omar Bashir dan Hasan Turobi. Rezim  Omar Bashir berusaha mengekspolitasi pemisahan rasial di Sudan.

Sudan Selatan yang memutuskan untuk memisahkan diri menjadi republic tersendiri, justru dilanda konflik etnis berkepanjangan sehingga mengakibatkan krisis kemanusiaan sampai saat ini, yang pada mulanya diawali dengan politik identitas yaitu usaha untuk islamisasi Sudan dengan menjadikan Sudan negara Islam yang berlandaskan syariat Islam. Sejak itulah, Sudan kehilangan hasil buminya dan perekonomian Sudan semakin terpuruk, yang mengakibatkan inflasi makin tinggi.

Politik yang dilakukan oleh Omar Bashir adalah politik dua kaki yang terhitung blunder, karena ketika berkoalisi dengan kalangan Islamis yang membawa politik identitas justru mengakibatkan Sudan Selatan pisah. Sedangkan ketika Bashir mengangkat Janjawed yang dulunya adalah milisi pemberontak dan memberikannya senjata, kemuudian berakhir terhadap penembakan para demonstran ketika musim semi rakyat Sudan yaitu November 2018-Juli 2019 yang berakhir dengan penurunan Omar Bashir.

Penggunaan politik identitas yang banyak dilakukan oleh kelompok ultrakonservatif juga tidak bebas dari perjanjian politik, karena ketika jagoannya berkuasa mereka tetap akan meminta pos di dalam pemerintahan. Di Sudan sendiri, Omar Bashir pernah memberikan pos penting terhadap kelompok ultrakonservatif yang mempunyai pengaruh besar terhadap pengaruh dakwah mereka.

Jika pada masa penjajahan, Belanda menggunakan politik identitas untuk melemahkan perjuangan rakyat Indonesia, Omar Bashir di Sudan juga mencoba untuk menggunakan politik identitas untuk melanggengkan kekuasaannya namun hal tersebut gagal. Dan di Indonesia, politik identitas coba digunakan untuk meraih kekuasaan oleh para elite yang berkepentingan dan mempunyai kepentingan besar.

Perihal penggunaan politik identitas, biasanya cara seperti ini berkembang pesat di negara yang iklim demokrasinya tumbuh dan berkembang baik. Di negara-negara yang iklim di demokrasinya tidak tumbuh dan berkembang dengan baik, misalnya seperti Sudan. Penggunaan politik identitas tidak terlalu massif, karena salah satu factor munculnya politik identitas adalah persaingan untuk mendapatkan kekuasaan.