Sudah Setahun Pandemi, Para Ustadz Kiamat-kiamatan itu Masih Aja Bilang Covid Konspirasi Penghancuran Islam

Sudah Setahun Pandemi, Para Ustadz Kiamat-kiamatan itu Masih Aja Bilang Covid Konspirasi Penghancuran Islam

Padahal sudah setahun ya, tapi Ustadz-ustadz yang pro kiamat sebagai narasi mereka terus saja bilang, Covid itu penghancur Islam

Sudah Setahun Pandemi, Para Ustadz Kiamat-kiamatan itu Masih Aja Bilang Covid Konspirasi Penghancuran Islam
Belakangan muncul bela ulama ulama terhadap sosok yang dijuluki ustadz Akhir Zaman dan ditangkap pihak berwajib karena dianggap menyebarkan kebencian.

Covid adalah alat penghancur umat Islam, begitu ujar ustadz Ihsan Tanjung yang saya simak di media sosial kemarin. Perbincangan yang menyebut Corona sebagai bagian konspirasi terhadap umat Islam sudah ramai di media sosial jauh sebelum kasus pertama di Indonesia. Sentimen Anti-Tionghoa cukup kental ketika berita terkait Covid-19 merebak di Wuhan, Tiongkok.

Ya, anda tidak salah baca. Covid adalah alat penghancur Islam, katanya. Menariknya, seiring berjalannya waktu banyak sikap dan pandangan orang yang berubah terhadap Corona. Hal ini dapat ditemui pada kalangan ustadz pro-kiamat. Ustadz Zulkifli M. Ali (Uzma) sebagai salah satu pendakwah yang getol bicara kiamat sangat memperlihatkan fenomena tersebut. Dalam ceramah-ceramah Uzma yang beredar di Youtube saja dapat dijumpai perubahan pandangan dan sikap tersebut.

Kondisi Uzma tersebut sebenarnya sangat wajar, sebab Covid-19 masih seringkali ditanggapi naik-turun oleh kebanyakan orang. WHO dan Pemerintah saja beberapa kali berubah sikap dan pandangan dalam menghadapi virus yang baru ini, mulai dari penggunaan masker hingga persoalan vaksin akhir-akhir ini.

Di awal Maret, ketika kasus pertama diumumkan Pemerintah, Uzma mengunggah konten yang memuat pernyataannya berdurasi 12 menit. Menurut Uzma di tengah zaman yang penuh kebohongan dan pemutar balikan fakta, kita (baca: umat Islam) harus mengecek ulang informasi yang diterima, terutama apabila berasal dari mereka di luar Islam.

Pernyataan penting dari Uzma di unggahan tersebut adalah virus Corona adalah bagian dari upaya balas dendam dari para jin muslim di Tiongkok, atas perlakuan jahat pemerintah dan tentara terhadap saudara-saudara muslim lain di Uighur. Ungkapan ini mungkin masih membekas di ingatan kita yang kala itu masih banyak didera kegamangan atas bencana Covid-19 ini.

Namun, Uzma berubah setelah berjalan beberapa bulan pasca kasus pertama di Indonesia. Beliau mulai mendedahkan diksi “Sabar” kepada para jemaahnya dan menjajakan beberapa produk herbal yang diklaim dapat melawan atau menyebuhkan Covid-19. Saya melihat perubahan ini, sebagaimana ustadz media sosial lain, diantaranya disebabkan alasan pragmatis, di mana kebanyakan audiens mereka, yang sebagian kelas menengah perkotaan dan kalangan terdidik, tentu memilih untuk mentaati prokes adalah pilihan yang logis.

***

Relasi antara agama dan sains tentu menjadi perdebatan yang paling krusial di tengah merebaknya isu-isu negatif terhadap perlawanan atas virus Corona. Adapun dalam persoalan relasi tersebut terdapat dua poin krusial yang perlu diulik lebih dalam, terutama jika kita ingin mengurai dinamika agama di tengah Covid-19. Pertama, kehadiran sosok ustadz yang memiliki sikap atau pandangan yang resisten terhadap anjuran dari kelompok saintis.

Sebagian otoritas agama ditengarai memiliki sikap dan pandangan tersebut. Kondisi tersebut jelas menyebabkan sebagian kekisruhan di masyarakat, karena keberterimaan warganet atas wacana yang mereka sebarkan sangatlah besar. Sebagian dari ustadz media sosial, ustadz pro-kiamat dan ulama lokal pernah mengunggah konten yang menggambarkan sikap penolakan atas berbagai protokol kesehatan (prokes).

Adapun Uzma adalah salah satu otoritas agama yang memiliki sikap mendua atau ambigu. Pada masa awal Covid-19 melanda Indonesia, beliau cukup keras menyuarakan stigma negatif yang tidak disandarkan pada fakta-fakta ilmiah. Dari narasi balas dendam jin muslim bergeser ke penghacuran umat Islam adalah sebagian wacana negatif yang lazim dalam ceramah-ceramah beliau.

Namun, sebagaimana dijelaskan di atas, seiring berjalannya waktu perubahan itu muncul dengan kehadiran berbagai komoditas barang jualan yang dianggap dapat melawan Covid-19. Diksi “bersabar” mulai dijumpai dalam beberapa ceramah Uzma, yang sembari menjajakan madu dan beberapa obat herbal.

Memang, kelahiran media sosial di tengah umat manusia telah membawa banyak perubahan. Diantaranya adalah pergeseran otoritas di ranah agama. Padahal, sebagaimana kita sadari eksistensi sosok otoritas, terlebih agama, sangat krusial untuk menjadi pemandu dalam menghadapi suasana yang tidak menentu ini.

Oleh sebab itu, kita tentu memerlukan sosok otoritas yang dapat mencerna persoalan lebih dalam dan bijak, agar tidak terjebak dalam stigma negatif yang tidak perlu, selain keberterimaannya atas ilmu pengetahuan yang tidak perlu kita ragukan. Namun, jika melihat keadaan di lapangan tentu membuat kita sedikit mengerutkan dahi karena tidak sedikit otoritas yang belum bisa menerima penuh prokes melawan Covid-19.

Apakah rendahnya keberterimaan kita atas sains hanya terjadi di kalangan otoritas? Untuk menjawab pertanyaan ini kita akan masuk ke poin kedua dalam relasi agama dan sains. Kedua, resepsi pengetahuan di kalangan umat Islam. Montgomerry Watt, sejarawan asal Inggris, pernah menuliskan persoalan resepsi umat Islam terhadap ilmu pengetahuan.

Dalam buku “Fundamentalisme dan Modernitas Dalam Islam”, Watt menulis dalam rentang sejarah Islam pasca kenabian terdapat resepsi pengetahuan yang rumit. Dia menggambarkan persoalan tersebut dengan mendedahkan sebuah cerita sejarah yang dia ragukan kebenarannya. Catatan sejarah ini ditulis oleh Edward Gibbon dalam buku Decline and Fall of the Roman Empire.

Begini ceritanya: Pada tahun 641 M, pasukan Arab berhasil menaklukkan dan menduduki Alexandria. Di kota tersebut terdapat perpustakaan yang terkenal dengan koleksi buku yang luar biasa. Selepas berhasil menguasai kota, sang jenderal pasukan menghubungi Khalifah Umar bin Khattab terkait nasib koleksi buku tersebut. Sangat disayangkan, jawaban sang khalifah Umar yang menginstruksikan untuk menyortir buku-buku tersebut dengan pertimbangan kesesuaian dengan kitab suci al-Quran, apabila isinya sesuai maka dipelihara dan disimpan, namun jika tidak maka boleh dimusnahkan.

Dari kejadian di atas, Watt melukiskan walau meragukan kebenaran cerita tersebut, namun dia percaya sikap yang dilukiskan di atas masih terjadi hingga sekarang. Dia menyebutnya dengan rasa kemandirian Islam yang ingin mempertahankan kesucian akan agama tersebut. Hal ini kemudian diikuti dengan kecurigaan terhadap segala apa yang non-islami dan keenganan untuk meminjam sesuatu dari kultur asing secara terang-terangan.

Pendapat tersebut didukung oleh Fazlur Rahman, pemikir muslim asal Pakistan, yang melihat keilmuan Islam, terutama di abad pertengahan, masih tidak dipandang sebagai suatu pencarian aktif atau dalam bahasa lain adalah umat Islam hanya memiliki minat kecil untuk mengkaji bentuk-bentuk pengetahuan, meski hal tersebut sangat berguna untuk tujuan-tujuan praktis.

Apakah kita melihat hal yang sama dalam fenomena Covid-19? Apakah iya covid itu alat penghancur Islam? Jika dijawab iya mungkin terlihat naif bagi sebagian orang. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan adalah relasi naik-turun antara agama dan sains tentu dipengaruhi resepsi kita yang masih bermasalah atas kemajuan ilmu pengetahuan.

***

Ambigu dalam bersikap yang ditunjukan oleh Uzma berhadapan dengan Covid-19 sangat mungkin dipengaruhi objek dakwah yang cenderung percaya. Saya juga mendapatkan beberapa video yang merekam otoritas agama yang konsisten menolak prokes dengan berbagai alasan bernarasi agama.

baca juga: Covid itu anti Islam? Lha kok punya agama

Beberapa hari lalu, saya mendapati sebuah potongan video ceramah seorang pendakwah berasal dari daerah dekat dengan tempat tinggal saya. Dalam ceramah tersebut, beliau mempermasalahkan beberapa prokes yang dianggap menyalahi sunnah Rasul. Anjuran tersebut disampaikan dengan nada emosi, karena prokes dalam pandangan beliau adalah upaya penghancuran umat Islam.

Ceramah-ceramah seperti di atas masih cukup sering muncul di beranda media sosial kita. Persoalannya adalah aktivitas warganet kita atas konten itu bisa dibilang cukup tinggi. Ini tentu dikhawatirkan resepsi masyarakat kita atas informasi yang negatif tersebut dapat mengakibatkan menggiring opini resistensi mereka, sekaligus memperlambat langkah kita keluar dari pandemi.

Walau, jika melirik video-video ceramah dari Uzma dalam tiga bulan terakhir maka saya tidak bisa mendapati narasi penolakan terhadap vaksin dalam bahasa vulgar. Hal yang sama juga ditemui di beberapa ustadz medsos lainnya. Saya melihat kemungkinan alasan sikap diam ini adalah bagian dari kegamangan kita, di satu sisi masih berharap pada vaksin untuk mengakhiri pandemi, dan sisi lain masih teradapat sikap dan pendanan resisten atau tidak percaya tentang Covid-19.

Namun, hal itu belum berarti persoalan resistensi atas prokes selesai. Kita mungkin sulit untuk menghindar dari mengonsumsi berbagai hasutan untuk melawan prokes, tapi apa yang bisa kita lakukan adalah terus hidup dengan sehat dan tetap mendedahkan kepada siapapun soal perlawanan atas Corona. Termasuk urusan covid yang dianggap.. ah anti Islam ini.

Otoritas agama, seperti Uzma, masih belum beranjak jauh dari pemahaman yang bermasalah atas kehadiran sains. Buktinya, narasi agama yang dipakai oleh otoritas hingga orang biasa dalam sikap resisten atas Covid-19, memang menggambarkan imaji keterancaman dan kesucian yang lekat dalam umat. Sebuah pekerjaan rumah yang berat bagi kita.

 

Fatahallahu alaina futuh al-arifin