Di tahun 1976, penggerak revolusi komunis Republik Rakyat China, Mao Zedong menulis pesan dalam bentuk sajak. Pesan itu ditujukan untuk istrinya tercinta, wanita paling berkuasa, Jiang Oing. “Hidup manusia terbatas, tetapi revolusi tak mengenal tepi. Dalam sepuluh tahun terakhir aku telah mencoba mencapai puncak tertinggi, tapi aku gagal. Kau mungkin bisa mencapai puncak tertinggi,” tuturnya.
Di abad 21 ini, Mao memang telah mati. Diracun teman seperjuangan. Bapak Republik Rakyat Tiongkok, pencetus revolusi itu tewas, di tangan anak bangsanya. Tetapi idenya tentang revolusi tetap hidup, menyala mengikuti perkembangan zaman. Revolusi kebudayaan, industri, pendidikan, dan sosial telah melanda negeri ini. Yang dulu, dianggap irasional, hari ini tampak jadi kenyataan. Zaman kini telah berkembang. Jauh melampaui ekspektasi orang terdahulu.
Revolusi telah melahirkan zaman baru. Melahirkan budaya baru pula. Apa yang dulu dianggap tabu, kini telah dianggap normal. Tidak ada persoalan. Termasuk dalam hal ini adalah eksistensi perempuan. Hari ini, perempuan telah mampu menunjukkan kelasnya sebagai insan Tuhan yang bermartabat. Hal yang dulu, tentu susah untuk menggapainya, terlebih di abad pertengahan—yang menganggap wanita aib dan sumber kesialan.
Kini perempuan telah menduduki tempat terhormat dalam strata sosial. Wacana pergerakan anak perempuan, melahirkan strata baru dalam relasi gender. Era sekarang, perempuan, seperti halnya kaum laki-laki, memiliki kesempatan luas untuk bekerja dan berkontribusi secara finansial dalam keluarga dan rumah tangga. Perempuan kini telah mendapatkan akses pendidikan tinggi, membuat dirinya mampu bersaing dalam bidang pekerjaan, dan mendapatkan jaminan karir yang tinggi.
Revolusi yang terus berkembang, membuka kesempatan perempuan meniti karir hingga puncak tertinggi. Yang dulu, tampaknya mustahil mereka raih. Lihat saja perempuan kini sudah mandiri. Perempuan Indonesia, semisal Dian Siswarini, CEO PT XL Axiata, Putri Kuswisnuwardhani yang merupakan CEO PT Mustika Ratu, Puan Maharani, Ketua DPR, dan Megawati Soekarno Putri, Sri Mulyani, dan retno Marsudi, merupakan di antara perempuan Indonesia yang kini memperoleh karir dan jabatan moncer.
Jabatan dan karir yang tinggi, itu berarti membuat perempuan memiliki financial yang cukup untuk menafkahi keluarga. Bahkan lebih jauh lagi, memungkin perempuan membantu perekonomian kedua orang tua, atau saudaranya yang lain. Artinya, penghasilan dan gaji yang tinggi tersebut secara otomatis mampu membantu meringankan tugas suami sebagai kepala keluarga dalam persoalan nafkah.
Jika kebutuhan keluarga 15 juta sebulan yang harus ditanggung suami, dengan bantuan istri yang bekerja, beban tersebut akan kian ringan. Bisa jadi berkurang jadi 8 juta saja yang harus dicari suami. Sisanya dimungkinkan untuk ditabung untuk masa depan. Atau bisa juga membantu keluarga yang lain.
Namun faktanya, tak semua suami bangga dengan istrinya yang bekerja. Bahkan ada suami yang marah dan insecure, disebabkan penghasilan istri lebih besar dari gajinya. Dalam kondisi besaran gaji yang tak seimbang ini, ego suami terkadang tinggi, sebab menganggap diri tak berguna, dan takut harga diri direndahkan pasangan.
Pada sisi lain, para praktisi konsultan pernikahan telah mengingatkan, bahwa kesenjangan gaji antara suami dan istri bisa jadi bom waktu. Apalagi jika jarak atau tingkat gaji istri teramat jauh melampaui, besaran dari penghasilan suami dalam satu bulan. Kondisi ini tidak tertutup kemungkinan memicu pergesekan rumah tangga. Bahkan keharmonisan rumah tangga akan terguncang, jika kecemburuan ini terus berlanjut, dan tak mampu ditangani.
Berdasarkan data BPS, pada tahun 2021 angka kasus perceraian di Indonesia mencapai 447.743 kasus. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding tahun 2020, yang hanya 291.677 kasus. Salah satu pemicu maraknya angka perceraian disebabkan persoalan ekonomi.
Pada sisi lain, menurut penelitian Salsabila Zelfa, dalam skripsi berjudul Pendapatan Istri yang Lebih Besar Sebagai Pemicu Perceraian, dari jumlah 2.080 kasus perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Ponorogo, faktor ekonomi menduduki posisi paling tinggi dengan jumlah 1711 perkara yang telah diputus. Dalam penelitian Salsabila, salah satu hakim Drs. Siti Azizah, M.E. mengisyaratkan bahwa salah penyebab perceraian adalah ketimpangan ekonomi antara suami dan istri. “Latar belakang ketimpangan pendapatan ekonomi termasuk yang mendominasi perkara cerai di Ponorogo,” tuturnya.
Bijak dalam Menyikapi Kesenjangan Gaji
Pada hakikatnya, dalam Islam seorang perempuan menafkahi suami dan keluarganya termasuk perkara yang boleh. Bahkan Rasulullah dalam hadis yang dinukil dari kitab At-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, memuji seorang perempuan bernama Rithah, yang bekerja membanting tulang untuk memenuhi nafkah suami dan keluarganya.
عن ريطة بنت عبد الله بن مسعود رضي الله عنهما أتت إلى النبي صلى الله وسلم. فقالت: يا رسول الله إني امرأة ذات صنعة أبيع منها وليس لي ولا لزوجي ولا لولي شيئ. وسألته عن النفقة عليهم فقال: لك في ذلك أجر ما أنفقت عليهم. أخرجه ابن سعد
“Dari Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud ra. ia pernah mendatangi Nabi SAW dan bertutur, “Wahai Rasulullah, saya perempuan pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua, karena saya, suami saya, maupun anak saya, tidak memiliki harta apapun.” Ia juga bertanya mengenai nafkah yang saya berikan kepada mereka (suami dan anak). “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka,” kata Nabi SAW.”
Dalam Islam, pada konteks hadis tersebut merupakan tanggung jawab suami. Hal itu disebabkan, era terdahulu laki-laki lebih mudah mengakses pekerjaan, jika dibandingkan dengan perempuan. Pada sisi lain, bila dari segi fisik, laki-laki lebih memungkinkan dalam mengakses pekerjaan, terlebih yang berkaitan dengan fisik. Akan tetapi, jika kesempatan terbuka seperti sekarang ini, kewajiban nafkah seyogianya tanggung jawab bersama.
Faqihuddin Abdul Kodir dalam 60 Hadits Shahih; Khusus Hak-hak Perempuan mengatakan, saat ini zaman sudah terbuka, dan karpet merah lapangan kerja terbuka luas untuk siapa pun, maka persoalan nafkah seyogianya menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Jika istri mampu membantu bekerja dalam nafkah, ini akan membantu kebutuhan rumah tangga. Jadi seyogianya, kewajiban nafkah bukan berbasis jenis kelamin, tetapi kemampuan dan kapasitas.
Dengan demikian, era saat ini persoalan gaji dan penghasilan tidak perlu membuat rumah tangga tidak harmonis. Pun tidak perlu suami merasa insecure sebab penghasilannya tidak seberapa di bandingkan istri. Lebih baik keduanya berkolaborasi untuk memenuhi kebutuhan anak, dan kerabat terdekat yang membutuhkan bantuan.
*Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja