Setiap Idul Qurban, kebanyakan khatib berceramah seperti ini: ritual haji berikut penyembelihan hewan qurban adalah untuk mengikuti jejak Nabi Ibrahim AS saat melaksanakan perintah untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Perintah itu didapat dari mimpi. Ketika mimpi itu disampaikan kepada putranya, sang putra menjawab ikhlas apabila memang itu perintah dari Allah Swt. Saat disembelih, Allah Swt menggantinya dengan seekor kambing.
Kisah itu lalu dikaitkan dengan betapa kuatnya seorang Nabi Ibrahim AS karena rela mengorbankan anak tercintanya. Ia mengesampingkan ego sebagai bapak demi perintah Tuhan yang tak bisa ditawar. Hasilnya? Allah Swt ternyata ‘hanya’ menguji Ibrahim.
Peristiwa itu kemudian menjadi rujukan mengapa setiap 10 Dzulhijjah dan tiga hari setelahnya umat Islam disunnahkan menyembelih hewan kurban.
Namun, saya mendapat kesan yang mak dheg saat membaca caption di Instagram Bu Nyai Nur Rofiah, seorang intelektual muslimah di bidang keadilan gender. Ia mengenang betapa pentingnya seorang Sayyidah Hajar di rangkaian salah satu hari yang paling dikenang dalam sejarah peradaban manusia itu.
Dikisahkan, Siti Hajar berlarian ke sana kemari untuk mencari air karena mendapati anaknya yang masih balita kehausan. Ia berlarian tujuh kali antara bukit shafa dan marwah yang berjarak 400 meter untuk mencari sumber mata air. Nihil. Bakkah adalah hamparan tanah yang kelewat tandus.
Saya tak bisa membayangkan betapa beratnya seorang Siti Hajar meninggalkan bayinya di tempat antah berantah. Namun ia harus menemukan air.
Saat kelelahan dan ingin menjumpai anaknya, Siti Hajar melihat sebuah keajaiban. Tepat di bawah kaki Ismail terdapat air yang perlahan-lahan membasahi tanah yang mula-mula kering kerontang.
Itulah awal peradaban di kota yang kini dikenal sebagai Makkah. Hal itu diabadikan dalam ritual haji bernama sa’i. Sementara air zam-zam yang muncul dari hentakan kaki bayi Ismail menjadi oleh-oleh wajib dan otoritatif bagi siapa saja yang mengklaim pernah berziarah di tanah suci.
Perlahan-lahan Ibrahim dan Hajar membangun peradaban di wilayah yang dikelilingi pegunungan batu. Saat usia Ismail AS mencapai sekitar 14 tahun, mimpi itu datang. Membaca kisah ini, saya kemudian bertanya-tanya, bagaimana cara Nabi Ibrahim AS membicarakan perintah itu kepada Siti Hajar? Bagaimana perasaan sang ibu tatkala mengetahui bahwa salah satu tanda ketaatan pada Tuhan ditandai dengan menyembelih anaknya?
Siti Hajar melalui kehidupan yang sangat sulit dengan tegar.
Pertama, ia rela menjadi istri madu. Setelah menikah, ia menerima ajakan Nabi Ibrahim untuk melakukan hijrah dari Kana’an (Palestina) yang subur ke wilayah Bakkah yang kering dan tandus bersama bayinya yang masih mungil. Beberapa saat kemudian, Nabi Ibrahim ingin kembali ke Palestina, meninggalkan Siti Hajar dan bayi kecilnya selama bertahun-tahun.
Dalam kisah yang terkenal, momen Nabi Ibrahim AS meninggalkan Siti Hajar dan Ismail kecil sangat mengibakan. Ada satu momen Siti Hajar sampai bertanya, mengapa suaminya meninggalkan dirinya dan bayi kecil di hamparan padang tandus tak berpenduduk? Nabi Ibrahim bergeming. Tak satu pun kata keluar darinya.
Di situasi pasrah, Siti Hajar lalu bertanya apakah ini semua kehendak Allah Swt? Saat dijawab ‘benar’, Siti Hajar hanya bisa pasrah dan yakin bahwa Allah Swt tidak akan membiarkan mereka kesusahan.
Di saat menjalani long married distance itulah, Siti Hajar membangun peradaban. Sumur zam-zam perlahan menjadi tujuan kabilah yang lewat. Sebagian dari kabilah itu kemudian diberi izin Siti Hajar untuk bermukim dan mereka membangun cikal bakal Kota Makkah. Ia tak hanya membesarkan anak, namun juga membangun kehidupan.
Tak bisa dibayangkan ketika sang anak kemudian ‘diminta’ untuk disembelih. Namun itulah Siti Hajar, seorang perempuan yang kuat dan penuh keikhlasan.
Kekuatan dan keikhlasan Siti Hajar membawa kita pada Idul Adha dan ritual haji yang menjadi simbol pemersatu umat Islam sedunia. Meski memiliki ‘jasa’ yang besar bagi peradaban, kisah Siti Hajar nyatanya belum cukup mendapatkan porsi untuk dieksplorasi dalam khotbah-khotbah keagamaan. Masih sangat sedikit khatib yang menyerukan untuk mencontoh keikhlasan Siti Hajar yang melalui berbagai situasi berat.
Satu dari sedikit itu saya dengarkan dari khatib muda saat shalat ied beberapa waktu yang lalu. Sejujurnya, awal mendengar khotbah itu saya terkejut dan terharu. Namun saya kemudian meyakinkan diri bahwa narasi inilah yang memang juga penting untuk didengarkan. Lalu, kenapa saya malah terkejut?