Keteladanan Siti Hajar: Perempuan Salehah Harus Berdikari

Keteladanan Siti Hajar: Perempuan Salehah Harus Berdikari

Keteladanan Siti Hajar: Perempuan Salehah Harus Berdikari

Dalam Islam banyak tokoh wanita yang dikisahkan perjalanan hidupnya karena dinilai berperan penting dalam agama, salah satunya ialah Siti Hajar. Siti Hajar adalah istri Nabi Ibrahim AS sekaligus ibunda dari Nabi Ismail AS. Sejarah mencatat bahwa Siti Hajar adalah wanita terbaik dari bangsa Arab, sebab keturunannya melalui Nabi Ismail as. menjadi kabilah termulia dan terhormat di Jazirah Arab.

Siti Hajar merupakan potret istri salehah yang berdikari dalam hidupnya. Tatkala, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk mengajak istri dan anaknya yang masih bayi ke suatu lembah tandus dan jauh dari pemukiman masyarakat, maka datang perintah dari Allah SWT agar meninggalkan Siti Hajar beserta bayinya supaya mereka bertempat tinggal di lembah yang tandus tersebut.

Tujuannya ialah agar dikemudian hari ada kehidupan dan kemakmuran di lembah tersebut. Lembah tandus yang dulu ditempati oleh Siti Hajar dahulu, saat ini menjadi kota yang paling banyak dikunjungi atau diziarahi oleh umat manusia, Makkah.

Dalam Qishashul Anbiya Ibnu Katsir meriwayatkan, ketika Nabi Ibrahim as. meninggal Siti Hajar dan Ismail di lembah Bakkah. Siti Hajar bertanya kepada Nabi Ibrahim as.

يَا إِبْرَاهِيمُ أَيْنَ تَذْهَبُ؟ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الْوَادِي الَّذِي لَيْسَ بِهِ أنيس وَلَا شئ؟

“Wahai Ibrahim, engkau hendak pergi kemana? Apakah engkau akan meninggalkan kami berdua (Hajar & Ismail) di lembah ini yang tidak ada penghuninya seorang pun dan tidak ada pula sesuatu apapun?” Siti Hajar berulang-ulang kali bertanya seperti itu, akan tetapi Nabi Ibrahim AS tidak jua menoleh dan menjawabnya. Namun, ketika ibu Ismail ini bertanya,

آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟

“Apakah Allah SWT. yang memerintahkan kepada engkau perkara ini?”

Nabi Ibrahim AS pun menjawab, “Iya Allah SWT yang memerintahkan perkara ini.” Mendengar jawaban itu, sang istri berkata,

إِذًا لَا يُضَيِّعُنَا

Jika demikian, pasti Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan kami.

Dengan keteguhan iman dan keyakinan yang kokoh kepada Allah SWT. Siti Hajar pun menerima dengan rida dan ikhlas perintah Allah tersebut. Keteguhan iman dan keyakinan yang kokoh itulah yang kemudian terwariskan kepada Nabi Ismail AS. Jawaban Nabi Ismail AS tatkala dimintai pendapat mengenai tentang mimpi untuk menyembelihnya, maka Ismail menjawab 

يا أبَتِ افْعَلْ ما تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِيَ إنْ شاءَ اللَّهُ مِنَ الصّابِرِينَ

Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepada mu! Insyallah, engkau akan mendapati ku tergolong sebagai orang-orang yang sabar.

Berkat keberhasilan pendidikan sang ibu, Ismail AS menjadi orang yang saleh nan berbakti kepada orang tuanya. Dalam kisah tersebut terdapat pula perjuangan Siti Hajar mencari air untuk minum dirinya dan Ismail AS. Walhasil perjuangan istri Ibrahim ini diabadikan menjadi salah satu rukun ibadah haji yaitu Sa’i (berlari-lari kecil dari bukti Shafa ke bukit Marwah).

Dari kisah Siti Hajar ini dapat kita mengambil pelajaran bahwa ciri perempuan saleha adalah mampu berdikari atau mandiri dalam memenuhi kebutuhan dan keperluan pribadi dan seseorang yang berada di bawah tanggung jawab kita. Tentunya sikap mandiri yang dilaksanakan harus sesuai dengan nilai-nilai dan batasan agama.

Kisah Siti Hajar yang diabadikan dalam sejarah agama Islam merupakan bentuk apresiasi penghargaan agama Islam terhadap pentingnya kedudukan perempuan dalam kehidupan. Seberapapun besar peradaban suatu bangsa, pasti di sisi lainnya terdapat peranan seorang perempuan dalam menopang kejayaan peradaban tersebut. (AN)