Setelah demo 4 November kemarin, beranda media sosial kita melaju kencang. Di grup WA, misalnya, percakapan sambung-menyambung menjadi satu, dengan berbagai model. Satu grup diwarnai dengan keseragaman dengan pengirim yang berkisar itu-itu saja. Grup lainnya model pro-kontra yang bisa menyediakan berbagai pilihan beragam anggotanya ketika perdebatan melewati temperatur didih: meninggalkan grup atau tetap meneruskan pertemanan sembari menahan emosi.
Jika beruntung, kita (bisa) bergabung dengan grup yang selalu mendorong anggota grupnya mencari kebenaran atas berita singkat yang beredar cepat. Satu sama lain saling menjaga diri supaya, meminjam bahasa kekinian, tidak terjebak sebagai ahlul hoax wal fitnah. Sebab, keanggotaan dilandasi semangat mencari kebenaran, bukan pembenaran, di mana semangat melampaui perbedaan pilihan turun tidaknya ke jalan.
Tema pokok usai demonstrasi adalah Jokowi yang tidak menemui pihak demonstran. Segera setelah Jokowi melakukan konferensi pers, pihak istana melalui menteri menyatakan bahwa Presiden ingin pulang menemui tapi karena kemacetan yang tidak memungkinkan. Namun perasaan kecewa sudah terlanjur menjalar tak bisa dihentikan: Jokowi mengabaikan para ulama dan umat Islam, Jokowi presiden pertama yang kabur dari istana, seandainya Jokowi turun maka kericuhan tidak terjadi. Belum lagi beragam meme yang beredar pada saat yang hampir bersamaan dengan isi yang tak jauh berbeda.
Pernyataan Jokowi mengabaikan para ulama dan umat Islam bisa diterima dengan catatan bahwa ini aspirasi dari para demonstran—sebagai tamu yang tidak diterima oleh pemilik rumah yang sesungguhnya. Kekecewaan kedua harus dikonfirmasi dengan fakta: ternyata Habibie, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga tidak menemui demonstran.
Demo Kamisan di istana yang berlangsung tahunan dan ibadah jemaat HKBP Filadelfia da GKI Taman Yasmin sebagai contoh juga belum pernah direspon.
Pernyataan yang ketiga tidak bisa sepenuhnya diterima karena ada banyak faktor yang dipertimbangkan seperti waktu yang sudah molor, masuknya provokator, dan faktor lainnya. Tulisan ini tidak hendak membahas faktor-faktor yang dimaksud.
Pada sisi lain, demonstrasi ini menimbulkan perdebatan tentang wakil Islam yang sesungguhnya. Sebagian demonstran mempertanyakan keislaman seseorang yang menolak ikut demo. Sebagian bahkan sudah menyimpulkan bahwa representasi Islam sekarang ini justru FPI. FPI berhasil menggalang massa se-Indonesia Raya—NU dan Muhammadiyah belum bisa melakukannya. Bahkan seorang gubernur ikut juga dengan kapasitasnya sebagai ulama yang ikut terjun dalam Aksi Bela Islam II. Pada tataran ini menarik untuk melihat sikap Jokowi terhadap pilihannya, yang bagi penulis, adalah memilih tidak menemui.
Pilihan ini tidak menemui ini memiliki beberapa kemungkinan namun yang menarik adalah, meminjam analisa seorang teman, sebagai menjaga muruah NU dan Muhammadiyah. Pilihan ini bisa dimaklumi mengingat dua organisasi besar, bersama dengan organisasi Islam lainnya, pernah diundang ke istana untuk mendiskusikan masalah demonstrasi 4 November. Kedua ormas terbesar ini memilih tidak bergabung dengan rombogan demonstran dengan menimbang mafsadat dan manfaat bila bergabung untuk turun ke jalan dan soal persatuan di bawah panji NKRI.
Meskipun demikian, jamak diketahui bahwa yang pro dan kontra dugaan penistaan agama oleh Ahok ada di dalam kedua kelompok ini—sebagian dari mereka bahkan membawa simbol organisasi secara jelas dalam demonstrasi ini. Jokowi memilih mereka sebagai alasan strategis—sebagai ormas Islam yang memiliki massa kongkrit dan loyal, berkomitmen pada persatuan dan kesatuan nasional, dan berkomitmen terhadap Islam moderat. Kedua modal yang pertama di atas bisa jadi setengah jalan menuju stabilitas social-politik.
Mengutip Ismatu Ropi (2009), rezim memang biasanya dekat dengan kelompok mayoritas: sebagai bagian dari kelompok mayoritas itu sendiri maupun memerlukan kelompok mayoritas untuk legitimasi. JK sebagai wakil presiden bisa dianggap bagian dari mayoritas karena afiliasinya kepada PBNU dan Jokowi, jika kita sepakati, bisa menjadi bagian yyang kedua.
Modal ketiga yakni NU dan Muhammadiyah sebagai representasi Islam moderat setidaknya bersambung dengan agenda investasi politik di luar negeri. Mengutip Greg Fealy dalam sebuah kesempatan, Islam Nusantara merupakan materi diplomasi luar negeri di samping kemudahan dan keuntungan berinvestasi di negeri ini. Islam Nusantara tentu tidak bisa dilekatkan dengan organisasi keras semacam FPI atau organisasi lain yang mempromosikan khilafah bahkan anti NKRI.
Stabilitas ini juga penting mengingat program tax amnesty yang sedang digalakkan Jokowi dan pembangunan infrastruktur yang massif yang bisa menjadi bekal untuk periodenya yang kedua. Dapat dibayangkan jika kebijakan tax amnesty gagal dan proyek mangkrak maka pertumbuhan ekonomi tidak seperti yang diharapkan dan berpotensi diselidiki dalam kasus korupsi seperti rezim sebelumnya.
Harga yang mungkin harus dibayar mahal dari pilihan ini adalah kericuhan dari sebuah demonstrasi yang berlangsung damai hingga setidaknya jam 6 sore. Kericuhan ini tidak membesar seperti kerusuhan 1998—pada kenyataannya ada sempat ada penjarahan yang terjadi di Penjaringan, selain ada isu rasisme yang muncul di sela-sela orasi demonstrasi. Kericuhan sebesar yang terjadi 1998 bukan sekedar kerusuhan yang berdarah-darah namun juga mengorbankan para pengikut loyalnya—persatuan Jokowi dan Ahok adalah simbol politik melawan rasisme. Selain itu, terdapat Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang bukan fraksi pendukungnya yang bisa berpotensi menjad makar seperti dianalisis beberapa kalangan.
Sebuah gambar bahkan beredar setelah aksi ini: Jokowi lengser jika Ahok tidak dipenjara. Jokowi tentu tidak [bisa] mengabaikan kehadiran Amien Rais dalam pemakzulan berbasis korupsi yang masih dalam tahap dugaan.
Tidak ditemuinya FPI dan organ lain yang terlibat demonstrasi, bagi penulis, bermakna bahwa Islam gaya kelompok ini akan tetap dijadikan narasi pinggiran dalam diskursus keislaman Indonesia. Indonesia akan terus dipelihara citranya sebagai negeri Islam yang ramah dan bukan Islam yang marah. Pada akhirnya, Jokowi mengunjungi PBNU pada hari Senin dan Muhammadiyah pada hari berikutnya. Pada minggu berikutnya, Jokowi bahkan mengundang 19 organisasi ke istana terkait masalah ini namun tanpa mengikutsertakan FPI.
Meski demikian, Jokowi juga berusaha menunjukkan sikapnya sebagai tuan rumah: mengapresiasi aksi damai, melekatkan kericuhan pada kelompok politik yang tidak disebut secara gamblang, dan mengantarkan sebagian dari peserta demo yang terlantar. Lalu apakah hal ini berarti Jokowi benar-benar membela NU – Muhammadiyah melampaui FPI dan organisasi lainnya? Memang, sebagai aliansi strategis politiknya hingga setidaknya hingga tiga tahun ke depan atau lebih untuk periode keduanya.
NU terutama dipertimbangkan kontribusinya dalam pilpres yang mengharu-biru sehingga tidak mengherankan jika banyak sekali akomodasi bagi NU: menteri dan bahkan Hari Santri. Jokowi memerankan perannya dengan baik. Ia, mengutip Ariel Heryanto, politikus yang profesional. Wallahu A’lam []
Nurun Nisa’ Penulis adalah mahasiswa SPs UIN Jakarta jurusan Pemikiran Politik Islam