
Akhir tahun lalu, Ferry Irwandi, influencer, mengkritik keras penjualan garam rukyah. Menurutnya, penjualan garam krosok yang diklaim telah dirukyah adalah penipuan berbalut agama.
“Penipuan ini jelas merugikan banyak masyarakat miskin dan sulit dilawan karna berbungkus agama” ujar Ferry.
Konten tersebut viral, dan Ferry pun mendapatkan undangan berbicara kritiknya tersebut. Bahkan, para ustadz Islamis populis, macam Felix Siauw dkk, turut mengundangnya. Sayangnya, kritik Ferry akan penipuan lewat garam rukyah lebih banyak hanya dibincang karna melanggar ajaran agama belaka. Padahal, komodifikasi agama terasa lebih pas untuk mendalami bagaimana bisnis garam tersebut menjadi sukses besar.
Selain itu, beberapa hari lalu, saya mendapati konten (baca: walau tak tahu kebenarannya) informasi terkait perusahaan di Arab Saudi memproduksi dan berjualan kertas berisi ayat-ayat yang disebut berkhasiat sama, yaitu rukyah. Karna disebut memakai material aman untuk dikonsumsi, kertas-kertas tersebut diseduh bersama air dalam gelas dan diminum setelah larut.
Memang belum terbukti kebenarannya, namun sisi menarik dari konten perusahaan Arab Saudi tersebut ada sisi produksi dan pemasarannya yang jauh lebih kompleks, dari sekedar penggunaan narasi agama untuk melegalisasinya. Sisi inilah kritik Ferry terkait garam rukyah terlihat paradox, jika berhenti pada urusan larangan agama belaka.
Di titik inilah, analisa komodifikasi dari banyak akademisi bisa kita gunakan untuk membongkar bagaimana agama digunakan dan dipakai. Sebab, jika logika mistika hanya dipahami untuk membongkar “kebodohan” yang lebih banyak mengarah pada praktik budaya belaka, maka kelompok atau person yang menggunakan agama jauh lebih canggih tidak akan tersentuh.
***
Kritik Ferry atas urusan penjualan garam rukyah justru lebih baik jika dilengkapi analisa komodifikasi agama. Mengapa? Alasan paling mudah adalah komersialisasi, termasuk dalam penjualan garam rukyah, tidak hanya soal penyalahgunaan narasi, label, dan logika agama belaka.
Kita perlu analisa lebih mendalam untuk membongkar bagaimana agama menjadi komoditas di masyarakat modern. Iya, ada dua hal berkelindan sekaligus dalam urusan komersialisasi, yakni agama dan masyarakat modern. Sehingga, garam dan kertas rukyah sebenarnya tidak hanya urusan kesalahan logika atau pemahaman masyarakat belaka sehingga gampang ditipu.
Chua Beng-Huat, akademisi, malah mengungkap beberapa poin yang bisa kita renungi untuk memahami bagaimana komersialisasi agama. Pertama, komodifikasi agama dalam perspektif Chua adalah bagaimana nilai-nilai budaya atau simbol-simbol yang sebelumnya memiliki makna sakral atau intrinsik diubah menjadi objek konsumsi, dalam hal ini adalah agama.
Kedua, dalam konteks agama, komodifikasi memberikan ruang bagi individu untuk menegaskan identitas religius mereka melalui konsumsi. Namun, konteks ini sering kali menciptakan paradoks, di mana sementara konsumsi produk religius memberikan kepuasan personal dan sosial, nilai-nilai agama itu sendiri dapat menjadi tereduksi ke dalam bentuk materialistis.
Ketiga, Chua memandang agama dalam dinamika modernitas dan kapitalisme, tidak bisa dilepaskan dari pasar global. Kapitalisme menjadikan agama sebagai bagian dari sektor ekonomi, di mana agama tidak hanya memberikan pengalaman spiritual, tetapi juga menyediakan berbagai produk dan layanan yang bernilai komersial. Agama pun akhirnya menjadi bagian dari industri budaya berskala global, seperti melalui fenomena konser musik religius, film bertema Islam, hingga pemanfaatan media sosial untuk menyebarkan ajaran agama.
***
Secara umum, saya sepakat dengan kritik Ferry. Praktik komodifikasi agama sebenarnya sudah menjadi keresahan kita bersama, di mana agama dijadikan komoditas. Namun menimpakan permasalahan hanya pada penyalahgunaan nalar agama untuk melindungi proses jual-beli yang overprice, kita akan mengabaikan bagaimana logika masyarakat modern yang mengamini kapitalisme berkelindan dengan agama.
Sebagaimana penjelasan Chua di atas, komodifikasi tidak hanya soal nalar atau narasi agama belaka, di dalamnya juga ada pergeseran nilai, perubahan identitas masyarakat, hingga irisan agama dengan kapitalisme. Untuk poin terakhir saja, kita bisa menunjuk banyak produk atau barang konsumsi masyarakat yang dihiasi dengan narasi atau logika agama. Beberapa barang tersebut juga terbilang overprice. Kita bisa menunjuk banyak barang di sini.
Di sisi lain, sekarang, kita berurusan dengan logika masyarakat modern yang memandang konsumsi sebagai identitas. Agama juga sering digunakan di praktik konsumsi ini. Menjadi muslim yang saleh hari ini, misalnya, maka akan berkelindan dengan ikut pengajian berbayar tinggi, umrah eksklusif, hingga gaya berpakaian muslim yang makin mahal saja.
Menghadirkan nalar progresif pada masyarakat Muslim untuk melawan praktik penggunaan nalar atau narasi agama dalam konsumsi adalah hal baik. Namun, pekerjaan kita tidak sekedar menghajar nalar mistik yang digantungkan dalam banyak praktik kebudayaan yang berkelindan antara agama dan kapitalisme.
Tentu, kita juga harus melawan pada bagaimana praktik-praktik penggunaan atau legalisasi konsumsi berlebihan dengan nalar atau narasi agama di masyarakat modern atau perkotaan. Beberapa praktik ini malah melenggang nyaman dan terus meraup keuntungan dengan menggunakan agama. Begitu.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin