Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Karena suatu kesalahan, ia bisa jatuh dalam perbuatan dosa. Karena adanya lupa, ia bisa jatuh dalam kesalahan. Lupa, salah, dan dosa, adalah tiga rangkaian yang saling mengisi. Karena sudah menjadi fitrah, bahwa manusia dikarunia sifat lupa dan bisa tercebur dalam kesalahan, maka berlaku yang namanya taubat. Allah SWT mensyariatkan taubat bahkan memerintahkannya. Allah SWT sendiri juga yang menjamin diterimanya taubat, selagi taubat itu benar-benar tulus dilakukannya.
Di dalam al-Qur’an Surat al-Nur ayat 31, Allah SWT berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya, “Bertaubatlah kalian semua kepada Allah Wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian termasuk orang yang beruntung.” (Q.S. al-Nur : 31)
Lantas apa pengertian taubat itu? Apa syarat dan rukunnya? Apa syarat utama taubat? Kali ini penulis akan menjelaskan sekelumit keterangan yang penulis ambil dari kitab Al-Risalah al-Qusyairiyah. Tidak lengkap memang. Akan tetapi, cukup bila dijadikan bekal untuk suluk menuju ke hadlrat ilahi.
Pengertian Taubat
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dengan sanad sahabat Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
التائب من الذنب كمن لا ذنب له وإذا أحب الله عبدا لم يضره ذنب، ثم تلا {إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين} [البقرة: ٢٢٢] ، قيل: يا رسول الله، وما علامة التوبة؟ قال: الندامة
Artinya:
“Orang yang bertaubat dari suatu dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa. Jika Allah mencintai seorang hamba, maka niscaya tiada membahayakan baginya suatu dosa. Lalu beliau membaca ayat: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat lagi menyucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 222). Lalu beliau ditanya: “Wahai Rasulallah, apa tanda-tanda taubat itu?” Beliau menjawab: “Menyesal”. (Risalatu al-Qusyairiyah, Juz I, halaman 207).
Secara sekilas, beiiau rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bahwa ciri utama dari orang bertaubat adalah menyesal. Dalam hadits yang lain masih dengan sanad sahabat Anas ibn Malik radliyallahu anhu, beliau Baginda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan pentingnya taubat, sebagai berikut:
ما من شيء أحب إلى الله من شاب تائب
Artinya:
“Tiada yang lebih dicintai oleh Allah SWT melebihi seorang pemuda yang ahli taubat.” (Risalatu al-Qusyairiyah, Juz I, halaman 207).
Memandang sedemikian pentingnya jiwa yang mahu bertaubat, Syeikh Abdul Karim al-Qusyairi rahimahullah berkata:
التوبة أول منزلة من منازل السالكين
Artinya:
“Taubat adalah derajat awal dari beberapa derajat lain kaum yang menempuh jalan suluk.” (Risalatu al-Qusyairiyah, Juz I, halaman 207).
Dengan menangkap pesan tersurat dan tersirat dari ayat dan hadis di atas, beliau Syeikh Abdul Karim al-Qusyairi menyampaikan sebuah definisi tentang taubat. Menurutnya, taubat itu adalah:
فالتوبة الرجوع عما كان مذموما في الشرع إلى ما هو محمود فيه
Artinya:
“Taubat itu adalah berpaling dari perilaku yang dicela syara’ menuju pada perilaku yang terpuji olehnya.” (Risalatu al-Qusyairiyah, Juz I, halaman 207).
Syarat dan Rukun Taubat
Para ulama besar dari kalangan ahlussunnah, menetapkan ada tiga syarat bagi pelaku yang bertaubat. Syeikh Abdul Karim al-Qusyairi merangkumnya sebagai berikut:
شرط التوبة حتى تصح ثلاثة أشياء: الندم على ما عمل من المخالفات، وترك الزلة في الحال، والعزم على أن لا يعود إلى مثل ما عمل من المعاصي
Artinya:
“Syarat taubat sehingga diterima sah itu ada tiga perkara, yaitu: menyesali perbuatan yang terlanjur keliru dilakukan, meninggalkan perbuatan dosa seketika, dan menyengaja untuk tidak mengulanginya kembali perbuatan yang sama dari kemaksiatan.” (Risalatu al-Qusyairiyah, Juz I, halaman 208).
Tiga syarat taubat ini selanjutnya disebut juga sebagai rukun taubat yang wajib dilakukan oleh seorang hamba mudznib, yang mengakui akan kesalahannya dan kekhilafahannya sehingga layak baginya diterima taubatnya oleh Allah SWT.
Rukun Utama Taubat
Dari ketiga rukun di atas, rukun yang paling utama dari taubat adalah penyesalan (nadam). Penyesalan itu lahir sebagai buah dari kesadaran akan kesalahan. Kesadaran itu buah dari pengetahuan (arafah). Ada sebuah penganalogian yang menarik dari Syeikh Abdul Karim al-Qusyairi antara arafahnya orang taubat dengan arafahnya haji. Seolah-olah, rangkaian ibadah haji dijelaskan oleh beliau sebagai gambaran dari perilaku manusia yang bertaubat.
Dalam ibadah haji, saat seseorang berada di arafah, ia diharuskan untuk wuquf (berhenti sejenak). Tidak ada haji yang sah tanpa wukuf di arafah. Sebagaimana relasi haji, arafah dan wukuf, maka bagi orang yang bertaubat, adalah hendaknya ia melakukan wukuf (berhenti) sejenak sebagai representasi dari nadam (menyesal) itu. Wukufnya orang yang bertaubat adalah dengan nadam(penyesalan). Lebih lengkapnya, pembaca bisa merujuk pada kitab al-Risalah al-Qusyairiyah, halaman 208.
Apakah taubat itu sudah cukup dengan menyatakan penyesalan? Syeikh Abdul Karim Al-Qusyairi menyampaikan bahwa menurut kalangan ulama ahli tahqiq, disampaikan bahwa;
يكفي الندم في تحقيق ذلك، لأن الندم يستتبع الركنين الآخرين فإنه يستحل تقدير أن يكون نادما على ما هو مصر على مثله أو عازم على الإتيان بمثله
Artinya:
“Menyatakan penyesalan itu sudah cukup sebagai bukti taubat. Nadam merupakan tolak ukur bagi seseorang sudah tidak akan kembali pada perilaku yang sama atau niat melakukan hal yang serupa.” (Risalatu al-Qusyairiyah, Juz I, halaman 208).