Keburukan Juga Dapat Bernilai Kebaikan, Kok Bisa?

Keburukan Juga Dapat Bernilai Kebaikan, Kok Bisa?

Siapa sangka, keburukan juga bisa bernilai kebaikan. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Keburukan Juga Dapat Bernilai Kebaikan, Kok Bisa?
Ilustrasi orang yang sedang membaca Al-Qur`an.

Setiap manusia pasti pernah melakukan keburukan. Hanya Nabi Muhammad SAW sang pemilik sifat ma’shum yang tidak pernah melakukannya. Karena segala tindak-tanduknya dibimbing langsung oleh Allah SWT. Namun, siapa sangka, keburukan juga bisa bernilai kebaikan. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Ketika dikatakan “keburukan dapat bernilai kebaikan”, bukan berarti keburukan itu otomatis menjadi kebaikan. Karena, hal itu sama saja sedang mencampuradukkan yang haqq dengan bathil. Keburukan tetaplah keburukan, dan kebaikan juga tetaplah kebaikan.

Hanya saja, dalam konteks khusus, keburukan ini dapat bernilai kebaikan, yakni ketika keburukan itu berhasil membuahkan kebaikan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh para sufi yang dikutip oleh Ahmad ibn ‘Ajibah saat menafsirkan Q.s. Al-Nahl [16] ayat 119. Para sufi mengatakan:

كل سوء أدب يثمر أدبا فهو أدب

Setiap perangai buruk yang melahirkan perangai baik, maka itu juga termasuk perangai baik.

Memang, redaksi teks hanya mengatakan perihal adab atau perangai seseorang secara umum. Namun, jika diperinci, maka tentu banyak sekali contoh-contoh dari perangai buruk maupun perangai baik. Yang jelas, dari kalam sufi tersebut, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “keburukan dapat bernilai kebaikan” adalah ketika keburukan tersebut melahirkan kebaikan di kemudian hari.

Sebagai contoh, ada seseorang yang secara tidak sadar menyebarkan aib temannya kepada orang lain tanpa sepengetahuan temannya itu. Hal seperti ini termasuk dalam perbuatan ghibah, yang sebagaimana diketahui merupakan perbuatan buruk dan bahkan dilarang oleh agama.

Namun, setelah dia menyadari bahwa perbuatan yang telah ia lakukan itu buruk, ia segera bertaubat kepada Allah. Lalu, ia juga meminta maaf kepada teman yang aibnya telah ia sebarkan kepada orang lain. Dan, setelah itu, ia berkomitmen untuk tidak mengulangi perbuatan buruknya lagi.

Artinya, keburukan yang pernah dilakukan ternyata mampu menjadi wasilah (perantara) untuk menuju kebaikan-kebaikan. Dan memang seharusnya keburukan yang tidak sengaja dilakukan mampu melahirkan kebaikan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Dan sertailah keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapusnya (keburukan).”

Dengan kata lain, seseorang harus bisa memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. Bukan malah terus-menerus terjatuh di lubang yang sama. Karena, dalam hadis yang lain, Nabi bersabda, “sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan/keburukan adalah mereka yang bertaubat dari kesalahan yang telah dilakukan.”

Selain itu, dengan menumbuhkan kesadaran bahwa keburukan juga dapat bernilai kebaikan, seseorang dapat terhindar dari rasa pesimis. Yaitu rasa pesimis yang timbul akibat perasaan bersalah yang berlebihan hingga memunculkan anggapan dalam dirinya bahwa ia tidak akan mendapat ampunan dari Allah atas keburukan yang telah dilakukan. Padahal Allah SWT berfirman, “Janganlah berputus ada untuk meraih Rahmat Allah.”

Dalam konteks interaksi dengan sesama manusia, kesadaran ini juga sangat penting agar tidak mudah menganggap rendah keimanan orang lain hanya karena mereka pernah berbuat keburukan. Karena, bisa jadi melalui keburukan yang dilakukan, ia berubah menjadi ahli kebaikan di kemudian hari.

Dengan demikian, jika keburukan saja dapat bernilai kebaikan, maka jangan sampai kebaikan justru bernilai keburukan karena membawa pelakunya kepada perbuatan buruk seperti riya` dan sombong. Dan inilah yang harus benar-benar diwaspadai. Wallahu a’lam. [NH]