Apa yang kamu rasakan kalau tiba-tiba kawanmu yang beragama Kristen menanyaimu, “Apakah aku ini orang kafir?” Bagaimana kamu akan menjawabnya? Mungkin kamu akan mengalami dilema: kalau kukatakan kafir, bagaimanapun dia temanku. Tetapi kalau kukatakan tidak, realitanya dia tidak beriman Islam.
Begitulah perasaan seorang teman saya muslim ketika pertanyaan tersebut saya lontarkan kepadanya. Tidak mudah baginya untuk menjawabnya. Nah, lantas bagaimana jawabannya?
Sebelumnya saya ceritakan dulu latar belakangnya. Jumat sampai Minggu beberapa waktu lalu saya mengikuti sebuah acara yang luar biasa menarik bernama Student Interfaith Peace Camp (SIPC) Regional Jakarta di Cicurug, Sukabumi selama 3 hari dua malam. Acara camp lintas iman ini diikuti sekitar 30 mahasiswa di mana separuhnya beriman Islam dan separuhnya beriman Kristen.
Kami datang sebagai orang yang asing satu sama lain. Hanya beberapa di antara kami yang sudah saling kenal karena kebetulan berasal dari kampus yang sama. Kami pun perlahan mulai saling mengenal seiring dengan berlangsungnya kegiatan ini.
Kegiatan ini menerapkan metode yang unik. Ada 12 nilai perdamaian yang ditawarkan kepada para peserta yang berbeda agama tersebut. Masing-masing nilai dijelaskan dengan dasar ayat-ayat Al-Quran maupun Alkitab. Metode seperti ini membuat kami sedikit mengerti ajaran kitab suci agama lain. Tak hanya itu, kami menjadi terbuka pada kebenaran yang ada dalam kitab suci agama lain.
“Oh ternyata agama lain tidak seperti yang saya duga selama ini,” kata Buyung, seorang yang tidak saya kenal sebelumnya dan tiga setelahnya, kami menjadi dekat.
Hingga di pada hari ketiga, ada sesi “Islam bertanya, Kristen menjawab dan sebaliknya “Kristen bertanya, Islam menjawab”.
Kami dipersilakan untuk menanyakan apapun kepada teman yang beda agama. Kesempatan ini kami gunakan untuk meminta penjelasan atau klarifikasi langsung dari muslim.
Saya memang sudah lama ingin bertanya tentang konsep kafir kepada mereka. Dengan agak takut-takut dan khawatir menyinggung perasaan karena sadar ini hal sensitif, saya bertanya, “Bro, menurutmu, apakah aku yang Kristen ini termasuk kafir?”
Teman saya terdiam sejenak. Ia tampak berpikir dan tidak langsung menjawab. Saya merasa was-was, jangan-jangan dia tersinggung. Saya pun hampir menarik kembali pertanyaan saya jika memang terlalu sensitif untuk dijawab, Untunglah teman saya akhirnya membuka mulut.
“Kafir itu, Bro, sebenernya nggak jelek artinya. Lu tau kan dalam bahasa Inggris ada kata ‘cover’? Artinya kan menutup. Kafir itu artinya mirip-mirip, menutup. Orang kafir berarti orang yang menutup diri alias belum menerima suatu ajaran tertentu. Jangankan lu yang Kristen, bro. Sesama Islam aja bisa dikatakan kafir. Taruhlah suatu aliran Islam. Kan nggak semua tuh orang Muslim meyakini ajarannya. Nah dia itu juga bisa dikatakan kafir. Kafir terhadap ajaran dari aliran tersebut.”
Saya masih belum puas. Ia memberi contoh lain, “Lu tau kan bro aturan lalu lintas? Kalau lampu merah, kendaraan mesti berhenti. Nah kan sering tuh ada pengendara yang nyerobot, nekad jalan terus meskipun lampu udah merah. Nah orang seperti itu bisa disebut kafir juga, kafir terhadap aturan lalu lintas.”
Melihat saya yang tampak belum puas, dia bertanya balik, “Sebenarnya masalahnya apa sih Bro dengan kata ‘kafir’?” .
Saya berusaha jujur padanya, “Kafir kan kesannya jelek, Bro. Seolah-olah orang yang dikatakan kafir itu manusia yang paling rendah derajatnya di antara manusia lainnya.”
Dia tersenyum. “Kalo gitu, masalahnya ada pada pemaknaan kita tentang ‘kafir’.Seperti udah kubilang, kafir itu sama sekali gak berarti negatif. Wajar kan kalau ada orang yang setuju sama suatu hal, tapi juga ada yang nggak setuju? Yang gak setuju itulah orang kafir.”
Saya menganggukkan kepala. Rupanya masalahnya ada pada ketakutan saya dianggap atau disebut kafir. Kafir sendiri sebenarnya bermakna netral, tidak positif, tidak pula negatif. Hanya saja, kata ini sudah direduksi maknanya menjadi negatif oleh orang-orang intoleran. Bahkan dengan melabeli orang dengan cap ‘kafir’, mereka merasa berhak untuk memperlakukannya semau mereka sendiri.
Akhirnya, sahabat baru saya itu mengakhiri percakapan kami dengan indah, “Satu yang pasti Bro, mau lu kafir kek, mau lu kagak kek, yang penting adalah Islam gak mengajarkan penganutnya untuk memusuhi, menyakiti, apalagi memerangi sesama. Islam mengajarkanku untuk mencintai sesama, apa pun agamanya. Jadi, walaupun elu dikata kafir, bodo amat. Elu tetap sahabat gue.”
Kami tertawa terbahak-bahak. Saya tidak bisa melupakan kata-kata sahabat saya itu. Ah, alangkah indahnya bila semua orang bisa tertawa bersama seperti kami