Bila engkau mengenali musuh dan dirimu sendiri, maka kau tak perlu khawatir terhadap hasil ratusan perang. Bila engkau mengetahui dirimu sendiri, tapi tak mengetahui musuhmu, maka setiap kemenangan yang kau peroleh akan menjadi kekalahanmu. Jika engkau tidak mengenal musuh dan tidak mengenal dirimu sendiri, maka kau akan kalah dalam setiap pertempuran ~ Sun Tzu, Seni Perang
“Utlub al-‘ilm walau bi al-Sin (Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina)” demikian salah satu hadits nabi yang menekankan tentang pentingnya mencari ilmu. Meski derajatnya lemah, namun hadits ini menyinggung tentang posisi strategis Cina masa itu. Juga ada ungkapan dari para ulama salaf tentang pentingnya mencari ilmu berbunyi, “Tuntutlah ilmu dari buaian ibunda hingga ke lubang kubur”.
Di dalam al-Quran pun disebutkan tentang betapa orang berilmu itu niscaya berbeda dengan orang yang bodoh. “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar:9).
Di tengah banyaknya orang-orang yang bergerombol bersorak anti aseng, kiranya hadits dha’if tentang menuntut ilmu hingga ke negeri Cina di atas tetaplah perlu direnungkan. Dalam tulisan ini, penulis tidak hendak berpolemik tentang aseng maupun asing melainkan hendak mengemukakan tentang pemikiran salah satu guru penting dalam filosofi dan tradisi Cina, yakni Sun Tzu.
Sun Tzu dalam tradisi pemikiran Cina dikenal dengan karya legendarisnya tentang Seni Perang. Sun Tzu dikenal baik sebagai Jenderal, ahli strategi militer, penulis maupun filsuf. Ada beberapa teori tentang kesejarahan Sun Tzu. Para sejarawan Cina tradisional menyebut bahwa masa hidupnya dari 544-496 SM. Sementara para sejarawan modern lebih meyakini bahwa Sun Tzu identik dengan Sun Bin (meninggal 316 SM) yang berperan mengedit risalah Seni Perang. Yang terakhir ini lahir dari keluarga Sun yang banyak menghasilkan ahli strategi perang. Sun Tzu sendiri secara sederhana berarti Guru Sun, persis sebutan sederhana Lao Tzu, pendiri Taoisme, yang juga berarti Guru Lao.
Bila Konfusius berbicara tentang pentingnya tradisi dan penghormatan pada yang lebih tua, tradisi Tao bertutur tentang hakikat alam semesta, dan tradisi Budhis berujar tentang jalan menuju pencerahan, maka Sun Tzu berkalam perihal teknis, muslihat, dan filosofi perang.
Filosofi Sun Tzu sangat mempengaruhi tradisi Cina. Filosofi ini salah satunya menyinggung tentang pentingnya meraih kemenangan meski tanpa harus berperang. Artinya diplomasi pun bisa dilihat sebagai suatu jenis perang namun pada matra yang berbeda. Filosofi ini juga yang meresap dalam tradisi bisnis orang Cina. Namun, jangan dikira filosofi Sun Tzu hanya berbicara tentang kemenangan dan cara meraihnya, justru ia juga menekankan pentingnya pengenalan pada diri sendiri. Sun Tzu menekankan bahwa sebelum berupaya mengalahkan musuh, seseorang haruslah mengenal dirinya sendiri dulu. Seseorang yang mengenal dirinya sendiri niscaya bijak dalam menimbang berbagai ihwal dan arif dalam mengambil keputusan. Setelah mengenal diri sendiri, barulah selayaknya mengenal musuh dengan baik dari segi kekuatan dan kelemahannya.
Dalam hal imbangan di dalam tradisi pemikiran Islam, kiranya agak sukar mencari risalah yang bisa ditandingkan dengan tulisan Sun Tzu ini. Tengoklah misalkan al-Ahkam al-Sultaniyyah-nya al-Mawardi (972-1058 M). Kitab ini lebih berbicara tentang fungsi pemerintahan Islam yang semestinya dijalankan oleh penguasa. Apa yang diidealkan oleh al-Mawardi ini, bilamana dibaca secara terbalik merupakan hal-hal ideal yang tak terjadi dalam realpolitik di masanya.
Disandingkan dengan Muqaddimah-nya Ibn Khaldun (1332-1406 M), mungkin kita akan sedikit memiliki perbandingan yang menarik. Seperti bisa ditelusur di sejumlah literatur, Ibn Khaldun beberapa kali berpindah tuan. Hal ini didasarkan pada visi filsafat sejarahnya yang khas. Ia dikenal karena konsep sentralnya asabiyyah, yang diterjemahkan sebagai “kohesi sosial”, “solidaritas kelompok, dan “tribalisme”.
Bagi Ibn Khaldun, sejarah satu pemerintahan tak ubahnya perkembangan organisme. Lahir, tumbuh, berkembang, jaya, lapuk dan sirna. Penyebab kelapukan bagi Ibn Khaldun adalah gelimang kemewahan yang digelorakan oleh kalangan elit istana sehingga menggerogoti disiplin, kesetiaan dan keteguhan moral yang dipeluk dengan sungguh-sungguh oleh generasi sebelumnya.
Dihadapkan dengan konsep jihad yang berkembang di dalam tradisi pemikiran Islam, filosofi Seni Perang Sun Tzu kiranya juga sedikit berjarak. Jihad di dalam sejarah Islam di masa ekspansi bermakna luas, namun bisa juga spesifik pada perang senjata. Namun demikian, para ulama kemudian mengkristalkan tentang etika dalam jihad, meskipun dalam kenyataan sejarahnya seringkali hal ini diabaikan. Seiring perkembangan Islam pasca hancurnya Baghdad oleh serangan Mongol pada 1258, jihad lebih dominan dimaknai pertarungan melawan hawa nafsu pribadi.
Dalam makna inilah term Jihad Akbar dipahami. Meluasnya dar al-Islam sejalan dengan perkembangan dakwah kaum sufi, tak bisa disanggah merupakan faktor penting yang mengarahkan jihad sebagai pertarungan spiritual seorang muslim.
Belakangan ini, terkait dengan politisasi Islam yang marak terjadi, beberapa gelintir orang mengambil sandaran tentang politik ini kepada hadits nabi, “al-harb khud’ah (Perang adalah muslihat)”. Politik dimaknai sebagai perang yang memerlukan muslihat, tipu daya, dan intrik-intrik. Hadits ini jelas sahih, diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan ibn Majah, Sunan Abu Dawud dan Sunan al-Tirmidzi. Terkait dengan hadits ini, para polemisis Islam sangat mengedepankan hadits ini sebagai pembenaran bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan ketidakjujuran. Terjemahan bahasa Inggris atas Sahih al-Bukhari yang dicetak oleh penerbit Darussalam Saudi Arabia pada 1997 juga secara keliru mengartikan hadits di atas sebagai war is deceit (perang itu tipu daya). Padahal bahasa Arab klasik pada abad ketujuh M dan seabad setelahnya mengartikan khud’ah dengan berbagai bentuk gramatikalnya memiliki beragam makna yang sebagian besarnya bersifat netral dalam hal moralitas.
Menariknya, artikel, blog dan situs yang terkait dengan kelompok jihadis sangat mengedepankan hadits ini sebagai sandaran aksi mereka. Dengan hadits ini argumentasi bahwa tipuan, pengkhianatan, keculasan, pendeknya tindakan-tindakan yang memiliki problem secara moral dianggap memiliki dasar yang kuat. Jelas, alur pikir macam ini sangat bermasalah dan justru berlawanan secara mendasar dengan hadits Rasulullah SAW sendiri, “Sesungguhnya aku diutus demi menyempurnakan akhlak terpuji.” (HR. al-Bukhari no.273).
Kelompok jihadis secara paralel meyakini konsep perang total laiknya Clausewitz. Clausewitz adalah intelektual kelahiran negara Prussia, kini Jerman, yang berperan dalam memberikan teori bagaimana memaksimalkan seluruh sumber daya baik sipil maupun militer untuk perang militer secara total.
Dalam konteks ini, beberapa pemikir strategi militer baik AS maupun Eropa berbalik untuk memakai filosofi seni perang Sun Tzu untuk menghadapi kelompok jihadis. US Army War College misalnya, secara strategis mempertimbangkan filosofi Sun Tzu dalam menghadapi ekstremisme Islam. Teori Sun Tzu berguna karena tekanannya pada penggunaan pendekatan tak langsung untuk memaksa atau mengalahkan musuh.
Arkian, sebenarnya filosofi Seni Perang Sun Tzu ini pun sudah digunakan juga oleh para penegak hukum dalam menangani aksi-aksi demonstran, hanya saja mungkin luput dari perhatian. [ ]