Setelah Islam mapan pada rentang abad ke-7 dan 8 di wilayah yang membentang dari Spanyol hingga India, berbagai budaya di luar kerajaan-kerajaan Islam secara perlahan mengadopsi Islam dan akhirnya menjadi wilayah berpenduduk mayoritas Islam, contohnya Afrika Timur dan Barat, Asia Tengah, serta Asia Tenggara. Dalam waktu yang relatif sama, Islam juga menyebar ke Cina. Akan tetapi, tidak seperti di Andalusia atau di Afrika Utara, Cina tak pernah sepenuhnya menerima Islam.
Hingga memasuki abad modern, Cina sudah menjadi kekuatan yang berpengaruh di dunia. Pengaruh ini salah satunya lahir akibat kebijakan glorifikasi identitas Cina yang solid ke dalam. Artinya, pemerintah Cina sangat membatasi hadirnya elemen-elemen asing masuk ke negerinya yang rentan mendisrupsi nilai-nilai mapan di Cina. Kebijakan yang akhirnya dirasakan oleh komunitas Muslim di Cina.
Baru-baru ini, sekelompok pejabat pemerintah dan akademisi Cina yang tergabung dalam Institute Pusat Sosialisme Cina, bagian dari kelompok kerja Front Persatuan Partai Komunis, bertemu di Urumqi untuk membahas rencana nasional untuk “mensinisasi” Islam. Mereka berencana membuat Al-Qur’an dengan terjemahan baru dengan menggunakan nilai Konfusianisme. Kampanye bertajuk “Sinicizing Islam” ini tak lebih dari sebuah penegasan bahwa Cina perlu berbuat lebih banyak untuk menyatukan Islam dengan Konfusianisme.
Sinisasi atau sinisasi agama adalah proses tindakan untuk membuat masyarakat atau sebuah agama menjadi lebih berkarakter Cina, atau menjadikannya berada di bawah pengaruh Cina. Sinisasi Islam terakhir, misalnya, dialami oleh Masjid Duodian. Masjid yang berada di Beijing dan menjadi rumah ibadah Islam terbesar di bagian utara Cina tersebut mengalami perombakan.
Mengutip VOA, kubah masjid yang asli bergaya Arab itu digantikan oleh lima menara bundar putih bergaya Cina. Proyek sinisasi besar-besaran ini dilaporkan telah selesai pada bulan April lalu. Dua menara yang diterangi cahaya bulan di utara dan selatan ruang ibadah ini juga ikut dibongkar. Berbagai slogan juga ditambahkan di sekitar area masjid. Salah satunya adalah slogan tentang nilai-nilai inti sosialisme.
Kembali ke laptop. Berita “Al-Qur’an versi sinisasi” ini sebenarnya sudah sempat meramaikan publik Indonesia 2022 lalu. Hanya saja kembali mencuat setelah ada pembicaraan lebih lanjut terkait realisasinya akhir Juli 2023. Adapun rencana ini sejatinya sudah dibuat sejak tahun 2018 dan menargetkan wilayah Xinjiang, wilayah di barat daya Cina, yang mayoritas dihuni Muslim terutama etnis Uyghur.
Banyak pengamat menilai, Partai Komunis ingin memperkuat pengaruh dan nilai-nilai Tiongkok atas Islam di Negeri Tirai Bambu. Cina tidak ingin elemen-elemen asing lebih dominan di negara tersebut. Mengutip Deutsche Welle (DW), UU khusus sudah dibuat sejak 2019. Beijing menekankan bahwa penting untuk memastikan Islam “kompatibel dengan sosialisme”.
Berita soal “Al-Qur’an versi Cina” ini rentan membuat warganet terpeleset. Pasalnya, banyak yang mempersepsi bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang akan berubah redaksi dan disesuaikan dengan kultur dan nilai-nilai Cina.
Padahal, jika merujuk pada ayat QS. Al-Hijr: 9, Allah sudah menjamin bahwa Al-Qur’an akan dijaga orisinalitas dan kemurniannya, baik dari aspek redaksinya maupun muatan maknanya. Lalu, bagaimana dengan proyek “Al-Qur’an versi Cina”?
Ayat ini ditegaskan lagi dalam QS. Al-Isra: 88 bahwa jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang serupa dengan Al-Qur’an, mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka membantu satu sama lainnya. Artinya, jika Cina mampu membuat Al-Qur’an tandingan masak iya lalu meragukan jaminan Allah Sang Pemilik Kalam Al-Qur’an.
Apa yang diinisiasi Cina tidak lebih dari penerjemahan ulang Al-Qur’an dan merekonstruksi tafsir Al-Qur’an dengan disesuaikan dengan nilai-nilai yang mapan di Cina. Bukan membuat Al-Qur’an tandingan atau Al-Qur’an versi lain lalu menjadi kitab suci baru bagi Muslim di Cina. Dengan demikian narasi modifikasi “Al-Qur’an versi baru” menjadi kurang tepat, karena ia hanya produk interptretasi ulang atas Al-Qur’an dengan perspektif Konfusianisme dan sosialisme karena pada hakikatnya ayat-ayat Al-Qur’an bersifat tetap, konstan, dan pasti. Tafsir-tafsir terhadapnya lah yang berubah.
Tulisan ini bukan dalam kapasitas menghakimi wacana produksi tafsir Al-Qur’an versi Konsufisiansime dan sosialisme yang diproyeksikan pemerintah Cina. Namun, memastikan bahwa tidak ada lagi yang kegocek soal frase “Al-Qur’an baru”, “Quran made in China”, dan semacamnya. Dalam ranah tafsir, kita masih bisa berdebat satu sama lain. Tetapi Al-Qur’an sebagai kalamullāh adalah entitas yang mutlak dan absolut, yang orisinalitasnya digaransi langsung oleh Allah hingga yaumul akhir.
Sebenarnya, Cina juga mewacanakan penyelarasan semua kitab berbagai agama seperti Injil dan semua teks suci agama besar lain di Cina dengan ideologi komunisme dan sosialisme. Jika Injil sebagai teks suci umat Kristen diotak-atik oleh Cina, maka kemungkinan besar juga akan memancing respon keras dari Kristen di penjuru dunia.
Isu ini, jika kita masih ingat, mirip dengan ketika tahun 2022 lalu Pendeta Saifuddin Ibrahim mengusulkan Menteri Agama untuk merevisi 300 ayat Al-Qur’an yang bermuatan kekerasan. Saya masih mafhum jika beliau menyarankan Gus Yaqut untuk merevisi terjemah atau tafsir al-Qur’an versi Kementerian Agama. Namun, merevisi ayat?
Ayat-ayat Al-Qur’an sangatlah sakral bagi umat Muslim karena ia merupakan rangkaian kalam dari yang Maha Pencipta Alam Semesta diturunkan kepada utusannya yang luhur, Rasulullah Muhammad. Oleh karena itu, yang dipermasalahkan bukan ayat-ayatnya, melainkan praktik penafsiran atas ayat-ayat itu. Misalnya begini, al-Qur’an memang mengandung ayat-ayat yang dijadikan justifikasi oleh para kelompok radikal sebagai pembenaran terhadap kekerasan dan teror yang mereka lakukan. Jadi kalaupun ada persoalan tentang Al-Qur’an, itu bukanlah soal ayat-ayatnya, melainkan tafsir ayat-ayatnya.
Walakhir, salah satu cara untuk menjaga kesucian Al-Qur’an adalah dengan mengimani bahwa Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang abadi, tak tertandingi, tak terreplikasi. Wacana apapun yang (akan) hadir dengan narasi modifikasi Al-Qur’an, revisi Al-Qur’an, versi baru Al-Qur’an semata hanya akan sampai pada ranah tafsirnya, bukan Al-Qur’an sebagai kalam Ilahi.
Innā naḥnu nazzalnā al-żikra wa innā lahu laḥā fiẓūn