Ilmu Ushul Fiqih merupakan metodologi penggalian hukum Islam yang telah dikenal sejak era salafus shalih. Bahkan dalam kitab Al-Fathul Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyin karangan Abdullah Mushthafa al-Maraghi dikatakan bahwa Rasulullah Saw merupakan mujtahid, mufasir, pertama sepanjang sejarah Islam.
Dituturkan bahwa seorang perempuan menghadap kepada Rasulullah Saw dan bertanya perihal hukum suaminya yang berniat menunaikan ibadah tetapi keburu meninggal. Pertanyaannya: “apakah wajib hukumnya untuk menggantikan niat berhaji tersebut?”
Rasulullah Saw lalu menjawab secara qiyasi (analogis): “Jika suamimu punya utang kepada seseorang, lalu ia meninggal, apakah kamu sebagai istrinya wajib untuk membayarkan utang tersebut?”
Perempuan tersebut menjawab: “Iya, wajib, ya Rasul Saw.”
Maka Rasulullah Saw pun bersabda: “maka lakukan badal haji untuk almarhum.”
Metode qiyas merupakan salah satu metode yang juga dipakai oleh Ushul Fiqh dalam menggali hukum Islam. Secara umum, ilmu Ushul Fiqih memiliki pengertian sejenis ini:
Abdul Wahab Khalaf dalam ‘Ilm Ushul al-Fiqh wa Khulashatu al-Tasyri’ al-Islami mengatakan: “Ilmu Ushul Fiqih ialah ilmu perihal kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan (kajian-kajian) yang menjadi penghubung bagi lahirnya pemahaman-pemahaman terhadap hukum-hukum syariat yang dikandung dalil-dalilnya.”
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid mengatakan: “Ilmu ini bertugas untuk merujukkan hal-hal yang bersifat furu’ (cabang, teknis, praksis) kepada sumber hukum awalnya yang disebut ushul.”
Abdullah Mushthafa al-Maraghi mengatakan dalam Al-Fahtu al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyin: “Ilmu Ushul Fiqih adalah kaidah-kaidah yang dijadikan dasar pengambilan keputusan hukum agama melalui dalil-dalil umum. Objeknya adalah al-dalil al-sam’i, argumen teks (pemahaman dalil) yang ditransmisikan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan hukum (yang baru). Ilmu ini bertujuan untuk menghasilkan hukum-hukum agama secara langsung dari dalil sumbernya. Al-Ushuli adalah orang yang memahami dalil-dalil umum dan cara-cara menyimpulkannya (metodologi). Ilmu ini tidak bisa dipisahkan dari ilmu Ushuluddin (ilmu tentang pokok-pokok keagamaan).”
Walaupun terdapat sejumlah kecil perbedaan di antara para ulama, utamanya dalam hal hierarkinya, secara umum sumber-sumber hukum (al-adillah al-syar’iyah) yang dijadikan metode operasional Ushul Fiqh dalam hukum Islam (fiqh) adalah sebagai berikut:
Pertama, al-Qur’an
Kedua, Sunnah Rasul Saw
Ketiga, ijma’
Keempat, qiyas
Kelima, istihsan
Keenam, al-maslahah al-mursalah
Ketujuh, al-‘urf
Kedelapan, al-istishhab.
Kesembilan, syar’u man qablana
Kesepuluh, madzhab ash-shahabi.
Untuk al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw, niscaya kita telah sangat familiar semua. Pada yang pertama dan kedua itu sudah kita bahas sebelumnya (Baca: Sumber Utama Hukum Islam).
Maka, saya akan langsung menjelaskan sumber-sumber berikutnya dengan ringkas dan sederhana.
Ketiga, ijma’. Ia merupakan kesepakatan hukum dari para ulama, para imam mazhab. Boleh jadi tak seluruh ulama bersepakat pada suatu hukum, tetapi sebagian besarnya bersepakat, dan dikenal luas oleh masyarakat. Itu pun termasuk pada kategori ijma’, dengan istilah khusus, yakni jumhur ulama (mayoritas ulama).
Keempat, qiyas. Ia merupakan sistem perbandingan analogis antara hukum suatu hal yang telah ada hukumnya dengan hukum suatu hal lainnya yang sedang dicarikan fatwa hukumnya. Syarat absah pembandingan analogis itu ialah harus setimbang (proporsional, sejajar).
Hukum pacaran, misalnya, tak bisa dianalogikan dengan hukum pernikahan. Keduanya tak setimbang. Contoh yang setimbang ialah hukum jual-beli tradisional dengan hukum jual beli online. Keduanya berada di kotak yang sejajar. Imam Abu Hanifah dikenal luas dengan metode qiyas ini.
Kelima, al-istihsan. Ia merupakan metode penggalian fiqh dengan berasas pada ke-hasan-an alias kebaikan. Istihsan berarti mencari yang terbaik. Dalam bahasa sederhana ala orang Jawa, ia bisa disederhanakan menjadi “piye apike, bagaimana baiknya”.
Tentu saja ada prinsip-prinsip yang mengatur cara operasinya, di antaranya ialah kelaziman suatu kebaikan secara universal dan lokal. Sepanjang suatu hal dinilai membawa kebaikan secara umum dan khusus, maka ia bisa dibenarkan oleh metode istihsan ini.
Keenam, al-maslahah al-mursalah. Metode ini relatif dekat dengan istihsan tadi, hanya saja lebih memaksudkan kepada kebaikan-kebaikan (maslahah) yang termungkin ditimbulkannya (mursalah).
Ketujuh, al-‘urf. Ia adalah khazanah kebiasaan, adat istiadat, tradisi, dan budaya. Sepanjang suatu tradisi tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum pokok, al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw, maka ia bisa saja diakomodasi telah sesuai dengan syariat Allah Swt.
Atau, sebagaimana telah dilakonkan para Wali Sanga dulu, pelbagai adat tradisi masyarakat yang kurang selaras dengan ajaran syariat Islam, dimodifikasi sedemikian rupa, bahkan bisa saja pada aspek muatan nilainya, untuk menjadikannya selaras dengan syariat Islam.
Jadi, syariat Islam sudah pasti bisa mengakomodasi adat tradisi dan budaya masyarakat setempat, lokal. Ini sekaligus membantah dengan metodis adanya klaim bahwa syariat Islam haruslah semata berlandas kepada bunyi teks al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Ungkapan-ungkapan negasi macam “perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh Sunnah Rasul Saw” kiranya tak sinambung sama sekali dengan metode Ushul Fiqih ini.
Kedelapan, al-istishhab. Ia merupakan sumber hukum dengan berdasar kepada ketetapan-ketetapan hukum yang telah ada sebelum kita dan tidak mengalami perubahan sampai kini. Maka status hukum tersebut akan terus ditetapkan begitu rupa.
Kesembilan, syar’u man qablana. Ia merupakan syariat yang telah ditetapkan hukumnya kepada orang-orang sebelum masa kita, umat-umat terdahulu, yang masih dipertahankan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Misal puasa dan thawaf.
Kesepuluh, madzhab ash-shahabi. Ia merupakan fatwa-fatwa fiqh yang dikeluarkan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Bagian ini tidak memaksudkan kepada hadis-hadis riwayat para sahabat, melainkan ijtihad hukum para sahabat sendiri.
Imam Malik, umpamanya, merupakan imam mazhab yang amat menonjolkan metode madzhab ash-shahabi ini dalam penggalian hukumnya. Argumentasi beliau ialah dikarenakan para sahabat yang hidup semasa langsung bersama Rasulullah Saw pastilah lebih mengetahui dan memahami hal-hal yang dituturkan dan ditetapkan oleh Rasulullah Saw.
Begitulah gambaran ringkasnya. Tentu saja, ilmu Ushul Fiqh tak hanya meliputi sepuluh pilar metode tersebut. Ada begitu banyak tata cara, syarat, dan sistem operasinya yang memungkinkannya menjadi suatu pola penelitian yang ilmiah dan otoritatif.
Di antaranya ialah mafhum mukhalafah. Istilah ini sangat terkenal di kalangan pelajar Ushul Fiqh.
Ia memaksudkan suatu kredo hukum bahwa hukum suatu hal yang telah ada ketentuannya berdasar suatu dalil syariat bisa jadi digunakan pula untuk menyimpulkan hukum suatu hal lainnya yang tidak ada keterangan dalil syariatnya, dengan memperhatikan secara saksama kemungkinan perlunya suatu syarat khusus sebagai syarat kesahihannya ataupun suatu sifat khusus sebagai sifat keautentikannya.
Jadi, sebuah dalil syariat yang menunjuk kepada suatu sifat atau syarat hukum tertentu bisa digali lebih jauh dan luas untuk memutuskan hukum suatu hal lainnya (yang tak disebut atau dilingkup oleh dalil syariat asal itu), sepanjang sifat atau syarat itu bisa dipenuhi.
Contohnya ialah keharaman melakukan khitbah (lamaran) di atas lamaran orang lain. Ini jelas dalil syariatnya. Dikarenakan sifat dari perilaku begitu bisa memicu mudharat antar-muslim berupa konflik dan permusuhan, dan itulah maqashid al-syariah yang dilindungi, maka sifat potensi konflik dan permusuhan pada al-khitbah ‘ala al-khitbah (lamaran di atas lamaran) itu bisa ditarik mafhum mukhalafah-nya untuk menetapkan keharaman yang serupa kepada praktik menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain. Adanya sifat yang sama menjadi landasan bagi metode ini.
Dan sebagainya….