Syariat (syariah, syara’, syar’i) secara arti bahasa adalah “jalan menuju sumber air”. Ia dapat dipahami sebagai “berjalan menuju sumber kehidupan”. Begitu keterangan dalam Al-Munawwir.
Dalam pengertian luas dan umum, syariat merupakan ajaran-ajaran Allah Swt dan Rasul-Nya yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw sebagai tuntunan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupannya, demi kemaslahatan dunia dan akhirat. Silakan cek surat Al-Jatsiyah ayat 18 dan Asy-Syura ayat 13.
Karenanya, syariat niscaya meliputi seluruh aspek kehidupan umat Islam, dari ‘ubudiyah (peribadatan) hingga mua’amalah (kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya), baik yang bersifat personal maupun komunal, baik terkait dengan keakhiratan maupun keduniawian.
Menjadi kewajiban bagi kita semua untuk menjadikan sumber-sumber syariat Allah Swt, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw, sebagai rujukan pertama dan utama dalam segala realitas. Sebab, keduanya telah dinyatakan-Nya kafah, sempurna, dan paripurna. Cek surat al-Maidah ayat 3.
Hanya saja, dalam ranah penerapannya, kita mengetahui dengan pasti sejak dahulu kala bahwa sifat-sifat ayat dan hadis amatlah dominan bersifat global, moral, dan karenanya membutuhkan tafsiran, takwilan, dan penggalian terus-menerus tanpa henti untuk mendapatkan formulasi hukum yang relevan dengan kahanan setiap kelompok muslim. Seluruh khazanah tafsir, takwil, dan fatwa yang bersumber dari keduanya merupakan breakdown untuk membumikan ajaran-ajaran syariat.
Namun berpagi-pagi mendesak untuk dinyatakan di pijakan ini bahwa syariat wajib untuk selalu diyakini sebagai kebenaran mutlak dari Allah Swt dan Rasul-Nya Saw. Seluruh teks dan bunyi ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw yang mutawatir-sahih mesti disakralkan dalam arti dimuliakan sebagai “wahyu Allah Swt”. Ini perkara kehakikian iman.
Lantas, ketika sebuah atau sekelompok ayat dikaji beriring dengan khazanah hadis yang ada untuk menjawab suatu persoalan riil umat, yang boleh jadi darinya langsung dapat disimpulkan suatu formulasi hukum, lalu difatwakan sebagai ketentuan hukum atau boleh jadi tidak begitu, maka hal tersebut harus didudukkan sebagai “proses pembumian” yang alamiah, lazim, dan logis belaka sehingga ia tak berstatus sakral sebagaimana sumber-sumber sahihnya.
Mari jeli di tamsil ini.
Ayat-ayat dan hadis-hadis yang dijadikan landasan dalam pengkajian tersebut adalah syariat. Proses pengkajian yang tentu melibatkan suatu metode, tata cara, dan berbagai ilmu itu, disebut Ushul Fiqh. Hasil dari pengkajian itu disebut fiqh. Ketiganya memiliki derajat, lingkup, dan status yang berbeda-beda.
Karenanya, tak bisa dikatakan kepada suatu fatwa hukum atau fiqh sebagai “inilah syariat Allah Swt”. Tidak begitu. Itu “hanya” fiqh—hasil kajian melalui metode Ushul Fiqh oleh para ahli dan ulama. Derajat fiqh tidak bisa dinyatakan sakral sebagaimana sakralnya al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Derajat fiqh adalah “profan” saja, biasa saja, layaknya buah pemikiran manusia mana pun.
Prinsip ini sangat penting untuk dipahami sejak dini supaya umat Islam tidak mudah diakali dan dipolitisasi oleh fatwa-fatwa apa pun yang diam-diam menghembuskan kepentingan-kepentingan tertentu, entah politik praktis, bisnis, status sosial, hawa nafsu, dan sebagainya. Berhati-hatilah, ya.
Faktanya, belakangan ini kita amat kerap mengelus dada sendiri menyaksikan pelbagai ungkapan dan pentas publik yang begitu vulgar mempolitisasi syariat Allah Swt untuk kepentingan duniawinya sendiri. Di antara yang paling menggemparkan ialah kasus al-Maidah 51 yang terus menyisakan dampak madharatnya bagi kualitas tenun kebangsaan kita. Sayang sekali….
Sebagai contoh nyata lainnya, kita kerap mendengar istilah “jilbab syar’i” yang dipublikasikan dengan luas dan gencar melalui berbagai media, dari sosmed hingga mimbar khutbah, bahwa jilbab yang sesuai syariat Islam mesti begini (ala mereka), yang tidak begitu sontak tidak syar’i alias tidak sesuai syariat.
Jika Anda tak paham prinsip Ushul Fiqh di atas, boleh jadi akan terseret dengan mudah sekali pikiran dan lalu keyakinan Anda bahwa bentuk jilbab yang Anda kenakan selama ini, juga ibu dan nenek Anda, adalah menyalahi ketentuan Allah Swt, Rasul-Nya Saw, karenanya harus diubah sesuai dengan keterangan sang pengkhutbah tersebut.
Ini terkait bukan hanya ihwal spending your money, tapi yang sangat menyesakkan ialah lahirnya dorongan untuk mengkhutbahi orang tua dan simbah Anda sendiri atas nama kebenaran syariat Allah Swt tersebut. Bahkan, acap saya mendengar, kepelikan ini terjatuh pada sikap-sikap nir-adab kepada para orang tua, juga liyan.
Secara psikis, bisa jadi sang pengkhutbah di lingkup kecil keluarga dan persahabatan itu kebak betul dengan spirit “meluruskan mereka yang tak sesuai syariat Allah Swt”. Panggilan-panggilan batin yang gegabah begini sungguhlah bukan kemaslahatan, bahkan sangat rawan memantik ketegangan dan perpecahan antarsaudara dan antarsahabat sendiri. Jangan begitu, ya….
Andai Anda paham peta prinsipil di atas, Anda akan mudah mendudukkan keterangan ceramah atau khutbah perihal jilbab syar’i itu hanya sebagai pendapat fiqh.
Ya, betul, fiqh itu adalah pendapat seseorang, setokoh apa pun dia. Pendapat manusia tidak ma’shum, sebagaimana kema’shuman Rasulullah Saw, dan juga tidak dibimbing langsung oleh Allah Swt.
Sebab itu, kualitasnya bisa benar atau salah; di hadapan perbedaan pendapat-pendapat lain bisa pula sama-sama benar, salah satunya benar dan lainnya salah, atau salah semuanya. Wallahu a’lam bish shawab.
Catat besar-besar, ya: syariat itulah yang mutlak, pendapat siapa pun terhadap syariat itu adalah fiqh, bukan syariat itu sendiri, karenanya ia tidak benar-mutlak, tidak bisa dimutlakkan, dan tidak bias ditunggalkan. Usaha menjadikan suatu pendapat fiqh sebagai kebenaran tunggal, dengan menegasi kemungkinan fiqh-fiqh lain juga memuat kebenaran, hanya mungkin lahir dari suatu keawaman. Orang alim dan faqih tak mengenal perilaku demikian.
Dalam buku sebelumnya, Berislam dengan Akal Sehat, saya menuliskan begini:
“Ayat al-Qur’an tentang ta’awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, misal, jelas benar-mutlak; tetapi pemahaman kita terhadapnya tidak bisa disejajarkan benar-mutlak layaknya ayat tersebut. Kebenaran syariat Allah Swt janganlah disepadan-setarakan dengan pemikiran kita yang nisbi-relatif kebenarannya.”
Clear, ya.
Syariat Allah Swt jelas mengandung maksud dan tujuan kemaslahatan semata. Itulah satu-satunya pengertian rasional yang selaras dengan tujuan Islam dirisalahkan-Nya kepada Nabi Muhammad Saw dalam QS. Al-Anbiya’: 107: wama arsalnakan illa rahmatan lil ‘alamin, (dan Kami tidak mengutus engkau, Muhammad, selain untuk menjadi rahmat bagi alam semesta).
Proses penegakan kemaslahatan-kemaslahatan hidup umat Islam yang amat global, dinamis, dan sekaligus lokal tersebut juga senantiasa beraras pada spirit “tidak memberatkan, merepotkan, menyengsarakan, apalagi membahayakan diri dan liyan”. Dan Dia Swt sekali-kali tidak pernah menjadikan dalam urusan agama ini suatu kesempitan. (Al-Haj 78).
Prof. Quraish Shihab pada konteks ini mengatakan bahwa agama sebagai fitrah mengandung makna bahwa tidak ada satu pun petunjuk agama (syariat) yang bertentangan dengan jati diri dan naluri manusia untuk mendapatkan kemaslahatan-kemaslahatan kehidupan.
Lingkupan maksud dan tujuan syariat inilah yang disebut Maqashid al-Syariah dalam ilmu Ushul Fiqh.
Saya tambahkan beberapa nukilan para pakar di bagian ini.
Imam Syatibi mengatakan, “Maqashid al-syariah adalah kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karenanya, asas kemaslahatan merupakan ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam.”
Muhammad Thahir Ibnu Asyur mengatakan, “Maqashid al-syariah merupakan makna dan hikmah yang dikehendaki Allah Swt pada segala kondisi pensyariatannya (tasyri’). Keinginan tersebut tidak hanya terbatas pada satu bentuk hukum syariat (fiqh), melainkan semua bentuk hukum syariat (fiqh) yang makna dan tujuannya ada di dalamnya. Juga termasuk cakupan hukum yang tidak terekam dalam berbagai bentuk hukum syariat (fiqh), akan tetapi terekam dalam bentuk-bentuk yang lainnya.”
Dari Buya Husein Muhammad, dituturkan bahwa Ibnu Asyur bahkan menandaskan, “Syariat Islam dihadirkan untuk kemaslahatan di dunia. Adapun kemaslahatan di akhirat merupakan akibat belaka dari kemaslahatan yang diperolehnya di dunia. Manakala hukum agama berfungsi mengatur perilaku manusia di dunia, maka perwujudan kemaslahatan itu tidak mungkin kecuali bersifat dunia sebagai prioritas utama menuju sistem dunia yang baik.”
‘Izzuddin bin Abdus Salam—juga dari Buya Husein Muhammad—mengatakan, “Seluruh tugas/kewajiban syariat yang dibebankan Tuhan kepada manusia adalah demi kemaslahatan hamba-hambaNya. Dia Swt tidak membutuhkan siapa pun. Ketaatan manusia kepada Tuhan tidaklah akan membuatNya memperoleh manfaat apa pun, dan kedurhakaan manusia kepadaNya juga tidaklah akan merugikan Dia sedikit pun.”
Ada tiga pilar pokok yang dirangkum Ushul Fiqh dalam mewujudkan makna dan tujuan kemaslahatan syariat tersebut.
Pertama, zharuriyat (kedaruratan).
Kedua, hajiyat (kebutuhan).
Ketiga, tahsiniyat (kebagusan, keelokan).
Seluruh syariat Allah Swt niscaya beraras pada tiga prinsip tersebut. Ambil contoh menutup aurat. Kita memerlukan pakaian dalam tujuan pertama untuk memenuhi aspek kedaruratan itu, misal untuk menjaga kesehatan, keselamatan, dan kesantunan sosial.
Lalu bisa saja kita memilih model begini atau begitu berdasar kepada asas kebutuhan kita pada suatu waktu dan tempat. Jika sedang ke kantor, Anda pakai celana panjang dan hem lengan panjang lengkap. Lantas boleh jadi Anda melengkapinya dengan polesan-polesan tertentu untuk memenuhi asas keelokan dan keindahan.
Contoh lain shalat. Shalat itu syariat Allah Swt dengan status hukum wajib, fardhu ‘ain. Jika Anda sedang berada dalam keadaan darurat, misal sakit keras, Anda boleh menjalankan shalat dengan duduk atau berbaring. Umpama suatu hari Anda sedang dalam perjalanan, Anda bisa menjamak shalat tersebut sesuai dengan kondisi kebutuhannya. Jika Anda sedang longgar, Anda bisa meriasi shalat dengan sunnah-sunnah lainnya yang menjadikannya lebih kafah.
Imam Syatibi (1328–1388), beliau lahir dan tumbuh besar di Granada Andalusia (kini Spanyol), yang dikenal luas sebagai pakar Ushul Fiqh yang terus dirujuk hingga hari ini (bahkan disebut-sebut sebagai “ulama ketiga Ushul Fiqh” setelah Imam Syafi’i dan Imam Ghazali), mengembangkan dengan luas lima pilar bagi ejawantah tiga pilar tadi.
Dalam kitabnya yang sangat terkenal, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah—judul awal kitab ini adalah Al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif, tapi kemudian diubahnya lantaran sebuah “mimpi meyakinkan” yang disebut isyarah—beliau mengkaji dengan luas warisan al-Kulliyat al-Khams yang diletakkan Imam Ghazali, yakni: (1) Hifzh al-Nafs (menjaga hidup), (2) Hifzh al-din (menjaga agama), (3) Hifzh al-‘aql (menjaga akal sehat), (4) Hifzh al-Nasl (menjaga keturunan), dan (5) Hifzh al-Mal (menjaga harta).
Belakangan, lima pilar ini dikembangkan oleh ulama Ushuliyyin kontemporer lainnya menjadi tujuh atau delapan.
Lebih lanjut, beliau menerangkan bahwa metode yang kokoh secara keilmuan dan rasionalitas untuk digunakan dalam mewujudkan asas-asas tersebut di hadapan teks-teks syariat Islam ialah ijtihad.
Ijtihad adalah kegiatan mengkaji, meneliti, dan menyelami khazanah sumber-sumber pokok syariat dengan menggunakan pelbagai disiplin ilmu dan metode yang bertanggung jawab, rasional, dan bermoral, hingga kemudian ditarik kesimpulan-kesimpulan hukumnya. Inilah yang lalu dikeluarkan sebagai fatwa kepada masyarakat luas.
Dikarenakan, lanjut beliau, kehidupan umat Islam terus berjalan, bergerak, dan maju, maka ijtihad tidak boleh dihentikan. Harus diterus-lanjutkan. Dengan cara demikianlah, umat Islam akan senantiasa mendapatkan naungan dan lindungan hukum yang pasti dan jelas yang berdasar kepada sumber-sumber syariat Allah Swt dan Rasul-Nya.
Beliau membagi model ijtihad itu ke dalam dua bentuk: pertama, ijtihad istinbathi, yakni melalui suatu operasi metode ilmiah yang melakukan penggalian terhadap sumber-sumber pokok syariat; dan kedua, ijtihad tathbiqi, yakni penerapan dan penetapan hasil ijtihad (fiqh, fatwa) tadi ke dalam kehidupan masyarakat.
Dikarenakan ayat-ayat dan hadis-hadis dominan berkarakter global (mujmal), sehingga maqashid al-syariah-nya harus diterjemahkan lebih dahulu oleh para ulama sebelum “disantap” oleh khalayak luas, maka haruslah dimengerti dengan jernih bahwa selain ijtihad-ijtihad tak mungkin dihentikan hingga akhir zaman, pula keragaman hasil ijtihad pun menjadi keniscayaan alamiah, logis, dan wajar belaka. Unsur paling utama yang mempengaruhi keragaman fiqh (hasil ijtihad) ini ialah ‘illat al-hukmi (konteks hukum).
BACA JUGA Seluk Beluk Ushul Fiqih untuk Pemula (3): Khittah Berpikir Manusia