Sejarah Salafi di Indonesia (1)

Sejarah Salafi di Indonesia (1)

Sejarah Salafi di Indonesia (1)
Rekomendasi eksternal dari LD PBNU agar pemerintah melarang penyebaran kelompok Wahabi di Indonesia banyak menuai kritik.

“Salafi” sebagai sebuah kata sejatinya dinisbatkan pada al-salaf al-shalih; orang-orang terdahulu yang menjadikan Al-Quran dan hadits sebagai sumber hukum islam. Rujukannya adalah pada umat islam generasi awal yang disebut oleh Nabi sebagai umat terbaik:

خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)

Dalam perkembangannya, kata “salafi” kemudian dikenal oleh dunia Barat sebagai salah satu varian gerakan islam yang radikal, ekstrem, tidak toleran terhadap sesama dan cenderung menggunakan jalan kekerasan. Hal yang sebenarnya kontradiktif karena al-salaf al-shalih adalah generasi yang cinta damai bahkan cenderung menjauh dari pertikaian politik, tidak sebagaimana penggambaran dunia Barat.

Kemunculan gerakan salafi tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemunculan ideologi Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1794 M). Gerakan ini mengajak seluruh umat Islam kembali kepada dasar hukum Islam yang murni, yaitu Al-Qur`an dan Sunnah, dan melakukan pembersihan tauhid dari berbagai kesyirikan. Gerakan ini berawal di daerah Uyaynah –sebuah daerah yang sekarang terletak di bagian timur Negara Saudi Arabia– tanah kelahiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

Di awal kemunculannya, Ibn Abdul Wahhab banyak mengkritisi praktik-praktik peribadatan Islam yang menurutnya banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang sesunggguhnya (Al-Qur`an dan Sunnah). Ia berupaya meluruskan semuanya dengan dialog-dialog sehat yang dikuatkan dengan dalil-dalil teks suci. Dalam praktiknya, ia hanya memahami dalil-dalil teks suci umat Islam dengan pendekatan tekstualis yang kaku.

Bagi Ibnu Abdul Wahhab dan pengikutnya, semua orang yang tidak sepaham dengan dirinya akan dianggap sebagai kafir, musyrik, dan murtad. Tuduhan-tuduhan seperti ini sering meraka lontarkan bahkan sebelum mereka memiliki kekuatan bersenjata, yakni pada awal-awal berdirinya aliran ini, pada pertengahan abad ke-18 M.

Jika melihat pada pola pengkafiran terhadap sesama muslim semacam ini, maka bukan seperti itulah yang biasa dilakukan oleh al-salaf al-salih. Justru pola semacam itu biasa dilakukan oleh kelompok Khawarij, sekte sempalan yang menjadi sedari awal memusuhi al-salaf al-shalih. Khawarij yang tidak setuju dengan tindakan Ali bin Abi Thalib yang melakukan arbitrase dalam perang Shiffin melawan tentara Muawiyah menganggap bahwa semua selain mereka telah berhukum dengan selain hukum Allah dan karenanya dianggap kufur.

Dalam perkembangannya, aksi mereka tidak lagi melalui ucapan dan dialog belaka, mereka melancarkan sejumlah tindakan pengrusakan pada berbagai situs yang dimuliakan oleh umat Islam. Penghancuran pertama yang mereka lakukan ialah penghancuran terhadap makam sahabat Rasulullah dan saudara Umar bin Khattab, yakni Zaid bin al-Khattab,  di Uyaynah. Tindakan penghancuran ini kemudian meluas hingga ke seantero jazirah Arabia.

Mereka juga tidak segan bersikap kasar kepada sesiapapun yang mengungkapkan kecintaannya terhadap Rasulullah SAW lewat ziarah kubur maupun puji-pujian shalawat. Bagi mereka, semua hal itu adalah syirik belaka.

Gerakan ini menguat seiring dengan tambahan dukungan politis dari Muhammad bin Sa’ud yang kelak mendirikan kerajaan Saudi Modern. Wahabi – Sa’ud pada tahun 1746 resmi mengkampanyekan jihad terhadap siapapun yang mempunyai pemahaman tauhid berbeda dengan mereka.

Keresahan akibat kampanye jihad mereka sampai pula di Indonesia. Bahkan kelahiran NU sebagai sebuah organisasi merupakan sebuah reaksi atas tindakan mereka yang berencana akan menghancurkan makam Rasulullah SAW.

Paham mereka yang mengatasnamakan pemurnian akidah dengan cara menghancurkan segala bentuk inovasi dalam beragama meskipun dengan kekerasan dan pembantaian, juga menolak pahampaham bermadzhab dalam fikih dengan mengembalikan seluruh hukum Islam langsung kepada Al-Qur`an dan Sunnah. Hal inilah yang disebut sebagai gerakan Salafi. Mereka nyaman dengan menyebut diri mereka sebagai “Salafi”, yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran Al-Qur`an dan Sunnah. Mereka menyebut ini semua sebagai dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, dan jihad.

Penyamaan Salafi dengan Wahabi semacam ini mendapatkan pertentangan dari kelompok Salafi indonesia. Bagi kelompok Salafi di Indonesia, nama “wahabi” sudah memiliki gambaran yang negatif bagi umat Islam di Indonesia sehingga akan mempersulit dakwah mereka. Oleh karena itu mereka lebih memilih nama “Salafi”. Argumen mereka menjelaskan bahwa Wahabi hanyalah bagian dari Salafi, bukan Salafi itu sendiri. Kini, sesudah kata “Salafi” sudah mulai dicurigai oleh umat Islam Indonesia, mereka pun berganti nama lagi dengan nama Kelompok “Sunnah”. Intinya, sebenarnya mereka sama saja.

Sehingga, secara substansial, secara ideologis sebenarnya yang menjadi patron mereka bukanlah al-salaf al-shalih, namun Khawarij. Oleh karena itu, mereka kerap disebut oleh kelompok di luar mereka sebagai Neo-Khawarij.

Awal kemunculan gerakan Salafi di Indonesia seringkali dikaitkan dengan kembalinya tiga pemuda Sumatera Barat yang pergi berhaji sekaligus menuntut ilmu di Arab Saudi pada awal abad 19. Mereka adalah Haji Miskin, Haji Abdurrahman dan Haji Muhammad Arif.

Pada bagian berikutnya, insyaallah akan penulis jelaskan tentang keberadaan kiprah mereka dalam menyebarkan ideologi wahabi di Indonesia.