Dalam sekian banyak konten tentang ruqyah di dunia maya, lumrah narasi kisahnya seperti ini: ada seorang yang sakit dan diklaim olehnya seperti tidak alamiah, lantas ia berkunjung ke seorang tokoh agama, herbalis, pakar spiritual, ustadz. Lantas orang yang memiliki keluhan ini akan dijampi-jampi dan melakukan ritual tertentu. Biasanya, ia diminta untuk melafalkan banyak bacaan ayat maupun doa, bahkan juga diikuti mandi kembang, lalu disembur atau diusap-usap oleh sang pelaku ruqyah.
Salah satu stasiun televisi swasta nasional bahkan menjadikan ruqyah ini sebagai salah satu program rutin. Banyak sinema juga menjadikannya bagian cerita, lebih-lebih film-film genre horor. Hal ini tampaknya adalah satu penanda, bahwa pangsa penonton siaran ini ada, dan tindakan ruqyah sebagai salah satu cara berobat di masyarakat masih banyak diakui dan dilaksanakan.
Ruqyah di masyarakat kita mungkin cukup erat kaitannya dengan tindakan suwuk atau mantra. Ruqyah ini adalah bagian dalam tradisi berbagai agama dan kepercayaan, terutama yang memiliki keyakinan tentang kemampuan spiritual dalam doa dan kaitan aspek mistik dengan suatu penyakit.
Kita akan bicara urusan persuwukan ini dalam koridor khazanah Islam. Ruqyah populer disebutkan dalam banyak sekali sumber-sumber keislaman. Kitab-kitab hadis banyak menyertakan riwayat maupun bab seputar ruqyah, yang menjadi legitimasi bahwa ruqyah adalah bagian dari Thibbun Nabawi – pengobatan a la Nabi, dan dalam kerangka yang lebih besar, pengobatan Islami.
Penulis pernah mencatatkan perihal perdebatan kedokteran Islam dalam sebuah tulisan. Sebagai satu rumpun ilmu paling tua di dunia mengiringi peradaban manusia, maka pengobatan yang diterapkan di masyarakat sangat erat kaitannya dengan kebudayaan yang juga mencakup kepercayaan dan agama. Dahulu, dalam konteks kepercayaan pada dewa-dewa, penyakit kerap dikaitkan dengan kesialan, yang berhubungan dengan penyimpangan urusan sakraliltas, moralitas, penggunaan sihir, dan lainnya.
Ibnu Khaldun mengajukan suatu kerangka bahwa pengobatan Islam semata berasaskan kitab suci dan hadis lebih kental sebagai suatu doktrin teologis, dan sebenarnya hanya merupakan penyesuaian dan akomodasi budaya dari tradisi yang sudah ada. Semisal, bekam maupun habbatus sauda’ yang disebut Nabi dalam beragam hadis, menunjukkan bahwa di Arab saat itu dua hal itulah yang populer digunakan sebagai cara berobat. Mudahnya, Nabi tidak membawa kebaruan dalam urusan pengobatan: beliau hanya melanjutkan hal-hal yang sudah lumrah di masyarakat Arab. Tak terkecuali, dalam ruqyah.
Ruqyah disebut memang sudah dilakukan sejak masa sebelum Nabi. Sehingga, ruqyah bukanlah tradisi khas Islam. Ibnul Manzur mencatat dalam Lisanul Arab berbagai derivasi dan makna kata ruqyah. Secara literer, ia bermakna al-’audzah atau ‘meminta perlindungan’.
Hal yang menarik adalah ‘pengobatan’ ini dulu dilarang oleh Nabi. Larangan ini ditengarai adalah ia merupakan tradisi mistik Arab pra-Islam yang kental dengan mistik, pemujaan pada roh, serta banyak hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang baru dianut luas saat itu. Dalam satu riwayat dari sahabat ‘Auf bin Malik, tercantum dalam Shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud, seorang sahabat menanyakan kepada Nabi bahwa masyarakat mereka sudah melakukan ruqyah sejak sebelum Islam datang. Mulanya Nabi menyatakan bahwa ruqyah adalah hal terlarang. Banyak riwayat menyebutkan bahwa ruqyah, jimat, dan ajian tiwalah adalah bagian dari kesyirikan.
“إِنَّ الرُّقَى، وَالتَّمَائِمَ، وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ…”
Artinya: “…Sesungguhnya ruqyah, jimat, dan tiwalah (aji pengasihan) adalah kesyirikan…” (HR. Abu Dawud)
Redaksi kisah yang lebih lengkap di Sunan Abu Dawud menyebutkan bahwa hadis itu diperbincangkan ketika terjadi diskusi antara dua sahabat. Suatu waktu seorang di antara mereka mengaku sakit, lantas diruqyah oleh seorang Yahudi dan merasa mendingan. Oleh sahabat yang lainnya, ia diingatkan bahwa ruqyah itu kental dengan kesyirikan. Hendaknya seorang muslim membaca doa tolak penyakit sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi saja.
Tapi rupanya, Nabi memperkenankan ruqyah itu karena ia adalah tradisi yang sudah ada sejak lama. Nabi memperkenankannya dalam aspek disengat kalajengking, gigitan ular, atau sakit ‘ain. Riwayat dari Jabir bin Abdillah menyebutkan bahwa suatu ketika salah seorang keluarga sahabat Amr bin Hazm dipatuk kalajengking, lantas mereka melapor kepada Nabi, “Wahai Nabi, kami tahu bahwa kami biasa melakukan ruqyah bagi orang yang disengat hewan di masa Jahiliyah, tapi engkau pernah melarangnya. Bagaimana pendapat Anda wahai Nabi?” Nabi pun menjawab, “Aku tidak melihat ada masalah dalam pelaksanaan ruqyah, siapa yang bisa memberi manfaat pada saudaranya hendaknya melakukan ruqyah itu.”
Riwayat di atas dipahami oleh ulama bahwa ruqyah sebenarnya tidak terbatas pada sengatan hewan atau ‘ain itu saja. Sebagai suatu cara berobat, ia tidak hanya digunakan dalam hal-hal itu. Dalam suatu hadis Nabi bersabda “Tidak masalah untuk melakukan ruqyah, selama tidak mengandung kesyirikan.”. Nabi pun mengajarkan ruqyah dengan bacaan Al-Quran, al-mu’awwidzatain, maupun beragam doa. Tradisi ruqyah dalam Islam pun akhirnya menganut anjuran Nabi yang demikian.
Ketika hadis sudah terkodifikasi, penggunaan ruqyah ini mendapat legitimasi syariah. Penyusunan bab dalam hadis berdasarkan tema seperti dalam kutubus sittah, mengompilasi jenis-jenis terapi yang ada di masa Nabi – termasuk ruqyah. Lebih spesifik, seorang ulama mazhab Ahmad bin Hanbal bernama Ibnu Qayyim al Jauziyah menyusun kitab Ath Thibbun Nabawi. Ibnu Qayyim menyertakan ijtihad dan pengetahuan yang ada pada masanya, dan memperluas makna penggunaan ruqyah utamanya dalam aspek-aspek yang disebutnya penyakit rohani, yang mesti merujuk ajaran agama. Dalam kajian pengobatan yang diklaim berbasis Al Quran dan hadis, kitab satu ini banyak dirujuk.
Perlu dicatat Ibnu Qayyim adalah seorang ahli hadis. Karya thibbun nabawi-nya adalah bagian dari pergulatan tradisi hadis dengan tren pengobatan yang sedang berkembang. Ketika penguasa di Arab mulai membuka keran penerjemahan pengetahuan, tradisi pengobatan Helenistik Yunani yang sudah lebih mapan serta dipandang lebih rasional dan empiris menjadi mainstream dan dianut di sentra-sentra pelayanan dan pendidikan kedokteran era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Dalam kasus ruqyah, seperti beberapa pengobatan a la Nabi lainnya, ia tidak lagi jadi pilihan bahkan tidak dilakukan di bimaristan atau rumah sakit, namun ia eksis di masyarakat karena ia adalah bagian tradisi Arab dan punya legitimasi dalam hadis-hadis yang dinilai shahih.
Seiring zaman bergulir dan meluasnya dakwah Islam, praktek ruqyah pun semakin banyak variannya di masyarakat sesuai kecenderungan beragama dan budaya masing-masing, baik yang diklaim lebih syariah dan sesuai sunnah atau tidak.
Tulisan ini adalah bagian dari seri kajian sejarah dan hadis Ruqyah.