Puasa di dalam masyarakat Arab Islam, yakni sejak diwajibkannya pada tahun ke 2 H dilakukan pada bulan Ramadlan, dengan tata cara tidak makan, minum, bersetubuh mulai dari terbitnya fajar (min thulû’i al-fajr) hingga terbenamnya matahari (ilâ ghurûbi asy-syams) selama sebulan penuh. Tata cara atau “kaifiyah” puasa demikian, yakni konsep yang sama persis tidak ditemukan di dalam tradisi puasa masyarakat Arab pra Islam.
Puasa yang dikenal di dalam masyarakat Arab pra Islam setidaknya dapat disimpulkan menjadi 4 macam; puasa yang dilakukan oleh Yahudi, Nashrani, Shâbi`în, dan penganut agama Hanîf. Keempat agama ini berkembang di jazirah Arab sebelum Muhammad Saw diutus menjadi nabi. Yahudi Arab tinggal di Madinah, Makkah, Khaibar dan Yaman. Shâbi`în berada di Syâm, Nashrani lebih banyak berdomisili di Syâm dan Yaman, pengikut agama Hanîf berada di Makkah.
Meski penganut agama-agama yang berkembang pada masa pra Islam berdomisili di beberapa wilayah tertentu di Jazirah Arab, namun dalam waktu sementara kerap tinggal di Makkah, yakni ketika melakukan perjalanan dagang. Makkah pra Islam menjadi tempat transit kafilah-kafilah dagang dari Syâm yang hendak menuju Yaman, dan sebaliknya. Dari sinilah (salah satunya) pertukaran dan penyerapan kebudayaan antar pemeluk agama terjadi. (Ahmad Amîn, Fajru al-Islâm, 1969: 12-14).
Pertama; puasa Yahudi. Yahudi Arab pra Islam memiliki kewajiban puasa pada hari ‘Asyûrâ`, yakni hari kesepuluh dari awal bulan. Penghitungan waktu Yahudi Arab sama seperti orang-orang Arab setelah Islam datang. Besar kemungkinan masyarakat Arab-Islam mengadopsi darinya.
Dalam Arab-Islam, hari ‘Asyûrâ` terjadi pada 10 Muharram. Yang membedakan dari penanggalan keduanya menurut Ali al-Khathîb, dalam bukunya, Ash-Shiyâm mina al-Bidâyah Hattâ al-Islâm, yaitu Yahudi Arab pra Islam menambahkan satu bulan dalam 3 tahun sekali. Jadi, selama 3 tahun sekali dalam 1 tahun bisa sampai 13 bulan. (1980: 173).
Adapun tata cara puasa Yahudi yaitu tidak makan, minum, dan bersetubuh mulai dari waktu terbenamnya matahari pada tanggal 9 bulan pertama dari tahun Ibrani (as-sanah al-‘abariyyah) sampai jeda waktu sekitar seperempat jam setelah matahari terbenam pada tanggal 10. Jadi kira-kira sekitar 24 jam lebih 15 menit. Puasa hari ‘Asyûrâ` ini disebut juga dengan puasa hari “al-Kibûr” (Kipur) atau dinamakan puasa pada hari ampunan (yaum al-ghufrân). Puasa selain hari ini, sifatnya dianjurkan alias tidak wajib.
Kedua; puasa Nashrani. Nashrani yang berkembang di Jazirah Arab pra Islam memiliki kebiasaan puasa selama 50 hari, biasanya dimulai hari Senin. Tata caranya yaitu tidak makan daging, susu dan telur. Selain ketiganya diperbolehkan.
Ketiga; puasa Shâbi`în. Penganut Shâbi`ah menurut Ibnu an-Nadîm seperti dikutip Ali al-Khathîb, melakukan puasa wajib selama 30 hari secara berturut-turut dan dilanjutkan dengan hari raya (yaum al-‘îd). Selain itu mereka juga dianjurkan puasa pada hari yang lain. (1980: 89, C. Blair, 1925: 109).
Keempat; puasa agama Hanîf. Puasa yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy yang mengikuti agama Hanîf seperti paman Nabi Muhammad, Abi Thalib, Zaid dan yang lainnya mirip dengan puasa yang dilakukan orang-orang Yahudi. Selain menjalankan puasa, juga melakukan ritual ‘uzlah, yakni menyendiri untuk beribadah kepada Tuhan di goa yang berada di pegunungan.
Lalu bagaimana dengan puasa yang dipraktikkan Muhammad Saw setelah diutus menjadi nabi, yakni puasa yang mulai diwajibkan pada tahun ke 2 H? Apakah sama dengan puasa yang dilakukan masyarakat Arab pra Islam? Jawabannya ada dalam tulisan berikutnya.
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang