Sejarah Puasa: Adopsi dan Adaptasi Agama-Agama (Bag. V-Habis)

Sejarah Puasa: Adopsi dan Adaptasi Agama-Agama (Bag. V-Habis)

Sejarah Puasa: Adopsi dan Adaptasi Agama-Agama (Bag. V-Habis)
Ramadan tiba sebentar lagi

 

Puasa yang dilakukan Muhammad Saw pasca diutus menjadi nabi berbeda dengan puasa yang dilakukan Yahudi Arab. Perbedaannya sebagaimana disampaikan Nabi Muhammad sendiri, yaitu dalam makan sahur. Jika Yahudi Arab tidak boleh makan dan minum setelah buka puasa (ifthâr), Nabi justru menganjurkan untuk makan sebelum puasa (sahur).

Dalam Shahîh Muslim, hadis nomor 1096 diinformasikan bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Fashlu mâ baina shiyâminâ wa shiyâmi ahli al-kitâb aklatu as-sahari (Perbedaan puasa kami [Nabi dan sahabatnya] dengan ahli kitab [Yahudi] adalah makan sahur)”.

Ali al-Khathîb dalam bukunya, Ash-Shiyâm mina al-Bidâyah Hattâ al-Islâm, menjelaskan bahwa Yahudi tidak boleh bebas makan dan minum setelah matahari terbenam hingga fajar. (1980: 119-120).

Seperti dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, puasa yang dilakukan Yahudi Arab dimulai dari waktu terbenamnya matahari sampai matahari kembali terbenam dengan jeda sekitar 15 menit. Dalam hitungan waktu Yahudi Arab, permulaan hari dimulai dari, dan berakhir pada terbenamnya matahari (min ghurûbi asy-syamsi ilâ ghurûbihâ). Jeda waktu antara terbenamnya matahari setelah buka puasa sampai terbitnya fajar dilarang makan dan minum.

Dalam rentang waktu larangan makan dan minum setelah buka puasa bagi Yahudi, Nabi justru menganjurkan umatnya untuk makan dan minum atau sahur, bahkan Nabi menyatakan, ada kebaikan di dalam makan dan minum dalam waktu itu. “Tasahharû, fa inna as-sahûra barakah (Sahurlah, karena sesungguhnya sahur itu suatu kebaikan)”. Di sinilah Nabi tampil beda dengan puasa yang dilakukan Yahudi Arab.

Selain itu dalam QS. Al-Baqarah 187 juga terdapat perintah untuk makan dan minum sampai menjadi jelas “benang putih dapat dibedakan dari benang hitam”, yaitu fajar (Kulû wa-syrabû hattâ yatabayyana lakum al-khaithu al-abyadlu mina al-khaithi al-aswadi mina al-fajr).

Menurut John C. Blair, dalam bukunya, Mashâdir al-Islâm, gagasan waktu permulaan puasa dengan menggunakan penjelasan pembedaan warna “benang putih” dan “hitam” berasal dari Talmud Berakoth 9b yang berisi tentang permulaan hari untuk membaca doa Shema (shalâtu syimâ’). Doa ini dilakukan pada pagi hari apabila “benang biru (al-khaith al-azraq)” dapat dibedakan dari “benang putih (al-khaith al-abyadl)”. Dalam tradisi Yahudi, dua warna benang ini dijadikan sebagai rumbai-rumbai selendang. (1925:107).

Tanda telah tibanya waktu pagi atau fajar dengan menggunakan ukuran pembedaan warna benang itu, kata Blair kemudian diadopsi Nabi Muhammad menjadi “benang hitam (al-khaithi al-aswad)” sebagai ganti dari “benang biru (al-khaithu al-azraq)”. Waktu fajar yang dalam tradisi Yahudi digunakan untuk memulai membaca doa, oleh Nabi Muhammad diadopsi menjadi waktu dimulainya puasa.

Sekilas apa yang dijelaskan Blair masuk akal, tapi dengan membaca narasi utuh Berakoth 9b akan ditemukan banyak kejanggalan. Salah satunya, dalam Berakoth 9b uraian penanda datangnya fajar atau selesainya waktu malam tidak hanya menggunakan pembedaan warna benang, tapi ada juga rabi-rabi lain yang mengusulkan menggunakan pembedaan antara serigala dan seekor anjing, mengenali atau membedakan temannya dalam jarak 4 hasta, dan seterusnya.

Terlepas dari setuju atau tidak terhadap analisis Blair, yang jelas ritual keislaman banyak yang mengadopsi dari agama-agama yang berkembang di dalam masyarakat Arab pra Islam. Penyerapan tradisi ini melalui modifikasi dan adaptasi, sehingga jika “ritual Arab Islam” dibandingkan dengan “ritual Arab pra Islam”, yakni ritual yang dimiliki agama-agama sebelum Islam maka akan terlihat “sama tapi beda”.

*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang