Sejarah Puasa: Adopsi dan Adaptasi Agama-Agama (Bag.II)

Sejarah Puasa: Adopsi dan Adaptasi Agama-Agama (Bag.II)

Sejarah Puasa: Adopsi dan Adaptasi Agama-Agama (Bag.II)

Tulisan ini masih tentang puasa yang dilakukan masyarakat Arab pra Islam (juga merupakan lanjutan dari tulisan https://islami.co/sejarah-puasa-adopsi-dan-adaptasi-agama-agama-bag/) tujuannya adalah untuk mengetahui bahwa puasa bukan ritual yang hanya dipraktikkan umat Islam, tapi jauh sebelum Islam datang masyarakat Arab sudah menjalankannya.

Kenapa yang dibahas dalam hal ini harus masyarakat Arab? Jawabannya sederhana, karena Nabi Muhammad hidup di Arab. Dengan menelaah konteks sosio historis Arab pra Islam, keterpengaruhan dan kebaruan ajaran Islam dapat diketahui.

Jawwâd ‘Ali dalam bukunya, Al-Mufashshal fî Târîkh al-‘Arab Qabla al-Islâm, menginformasikan pendapat sejarawan yang menceritakan bahwa orang-orang Quraisy, tak terkecuali Nabi Muhammad, sebelum agama Islam datang menjalankan puasa pada hari ‘Asyurâ`, tujuannya untuk menghilangkan dosa dan syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan. Jawwâd ‘Alî meragukan riwayat ini, karena menurutnya puasa ‘Âsyurâ` hanya dilakukan oleh Yahudi Madinah dan Khaibar. Sementara orang Quaisy rata-rata menyembah berhala. (1993: VI, 339-342).

Jika informasi di atas benar, besar kemungkinan orang-orang Quraisy yang berpuasa pada hari ‘Âsyurâ` adalah orang-orang Hanîf yang memang mentransformasi tradisi-tradisi Yahudi Madinah untuk diterapkan di Makkah.

Al-Bukhârî dalam ensiklopedi hadisnya menceritakan bahwa istri Nabi Muhammad, ‘Âisyah telah berkata: “Pada masa pra Islam orang-orang Quraisy berpuasa pada hari ‘Âsyurâ`. Demikian juga dengan Nabi Muhammad. Ketika Nabi hijrah ke Madinah, Nabi masih tetap menjalankan puasa ‘Âsyurâ` dan memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk ikut serta berpuasa. Ketika puasa Ramadlan diwajibkan, Nabi meninggalkan puasa ‘Âsyurâ`. Orang yang menghendaki puasa pada hari ‘Âsyurâ` dipersilakan, bagi yang menghendaki meninggalkannya juga dipersilakan.” (HR. Bukhârî, No 2002).

Melalui riwayat-riwayat di atas dapat dipahami bahwa puasa sudah dikenal luas di kalangan masyarakat Arab pra Islam, terutama di dalam komunitas Yahudi yang berada di Madinah dan Khaibar. Orang-orang Quraisy mengenal puasa selain melalui perjumpaannya dengan Yahudi, juga dari para penganut agama Hanîf seperti kakek Nabi Muhammad, Abdul Muthalib, Suwaid bin ‘Âmir, Abû Qais, dan yang lainnya.

Tata cara dan durasi waktu puasa yang berkembang di dalam masyarakat Arab pra Islam tidak sama dengan puasa yang dilakukan umat Islam, meski secara esensi sama, yakni menahan diri dari makan, minum dan yang lainnya.

Karena kemakluman puasa di dalam tradisi Arab pra Islam ini, al-Quran ketika menyeru kewajiban puasa bagi umat Islam segera disusul dengan kalimat persamaan (tasybîh) dengan kewajiban umat sebelumnya, ka mâ kutiba ‘alâ al-ladzîna min qablikum (sebagaimana [puasa] diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian). (QS. Al-Baqarah 183).

Dengan menelaah sejarah puasa yang bukan hanya “milik” umat Islam, dapat diambil pelajaran bahwa ritual atau tradisi Islam lainnya juga tidak sedikit yang mengambil atau meniru dari agama-agama terdahulu. Karena itu tidak perlu “gaduh” dan “ramai” jika ada orang Yahudi, Nashrani, atau agama-agama lainnya yang pernah berkembang di Jazirah Arab melakukan ibadah, perayaan, atau ekspresi keagamaan lainnya yang mirip dengan ritual atau tradisi Islam. Hal itu bukan bentuk “Yahudisasi” atau “Nashranisasi” dalam ibadah umat Islam, tapi justru Islam yang mengadopsi darinya.

*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang