Sayyid Utsman dan Fatwa-Fatwa Kolonial (1)

Sayyid Utsman dan Fatwa-Fatwa Kolonial (1)

Sayyid Utsman dan Fatwa-Fatwa Kolonial (1)
ARSIP

Pengkaji Islam Indonesia mesti mengenal nama masyhur mufti Betawi: Sayyid Utsman. Ia teman dekat Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang orientalis dari Belanda.

Sayyid Utsman lahir di Pekojan, Batavia, pada 17 Rabiul Awwal 1238 H/1822 M. Ayahandanya bernama Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya, merupakan keturunan dari Hadramaut yang lahir di Makkah. Sedangkan, Ibunya bernama Aminah, putri Syaikh Abdurrahman al-Mishri. Ia dikenal sebagai mufti Betawi, yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Honorair Adviseur (penasihat kehormatan) untuk urusan Arab.

Sejak kecil, Sayyid Utsman merupakan penempuh jalur ilmu, ia sibuk dengan didikan dan pelajaran dari kakeknya, Sayyid Aqil. Hal ini karena, ayahandanya, Sayyid Abdullah bin Aqil telah kembali ke Makkah ketika Sayyid Utsman berusia tiga tahun. Kemudian, Sayyid Utsman juga mendapat didikan dari kakeknya dari jalur ibu, Syaikh Abdurrahman. Ia suntuk belajar ilmu nahwu, sharaf, fikih, hadits, tafsir, tasawuf hingga ilmu falak.

Ketika Sayyid Utsman berumur 18 tahun, kakeknya wafat. Ia lalu menyusul ayahandanya ke Makkah. Di kota suci Makkah, Sayyid Utsman belajar kepada Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Ahmad Dimyati, dan Syaikh Muhammad bin Husein al-Habsyi. Setelah lama di Makkah, Sayyid Utsman melancong ke negeri leluhurnya di Hadramaut.

Di negeri leluhurnya, ia berguru kepada Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir, Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya, Sayyid Hasan bin Shalih al-Bahr, Sayyid Muhammad bin Husein bin Thahir dan Sayyid ‘Alwi bin Saqqaf al-Jufri. Sebagaimana tercatat dalam Suluh Zaman (sejarah hidup beliau, yang disusun putranya, Sayyid Abdullah bin Utsman), Sayyid Utsman juga mengaji kepada Sayyid Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Sayyid Alwi bin Zein al-Habsyi, Sayyid Abdullah bin Husein bin Syihabuddin, dan Sayyid Ahmad Junaid.

Sayyid Utsman kemudian melanjutkan rihlah ‘ilmiyyah menuju Mesir selama 8 bulan. Ia juga menikah dengan seorang perempuan Mesir, selama pengembaraannya di negeri itu. Tunisia menjadi tujuan perjalanan berikutnya, dengan belajar kepada Syaikh Muhammad Abdul Jawad dan Syaikh Muhammad bin Manshur. Pengembaraannya berlanjut ke Aljazair, Fez (Maroko), Syria, Turki, Palestina. Ia berguru kepada Syaikh Abu Bakar al-Jazairi di Palestina, sebelum kembali ke Batavia ketia usianya mencapai 40 tahun.

Dalam catatan Laffan, The Making of Indonesian Islam—diterjemahkan penerbit Bentang, Sejarah Islam di Nusantara, 2015: 72)—hubungan erat Sayyid Utsman dengan Belanda setelah peristiwa pembantaian pejabat Belanda dan pribumi di Cilegon, pada 9 Juli 1888. Sumber Belanda menyebut peristiwa ini, dilakukan oleh jaringan pengikut tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah. Pemerintah Belanda mendukung penerbitan karya-karya Sayyid Utsman untuk disebar luaskan ke ruang publik, untuk menginspirasi pembaca.

Termasuk di antaranya, pencetakan ulang karya Manhaj al-Istiqama fi al-din bil-salama (Bimbingan Menuju Agama Membuat Amalan  yang Selamat) pada 1980, serta sebuah karya yang merupakan pengolahan ulang dari karya Wathiqa, yakni: Arti Tarekat dengan Pendek Bicaranya (1891). Pada buku terakhir ini, Sayyid Utsman dengan jelas mengisahkan betapa penganut tarekat dan penempuh jalur sufi, mengarahkan pujian kepada Tuhan, di bawah bimbingan para  guru semisal Syaikh Baha’uddin Naqsyabandi dan Abdul Qadir al-Jilani.

Namun, Sayyid Utsman sangat spesifik dalam melancarkan kritik kepada guru-guru palsu yang berlindung di balik topeng tasawuf. Ia mengklaim, bahwa “empat puluh tahun terakhir”, ia telah menyaksikan betapa banyaknya para penipu yang menggunakan jubah kebesaran tasawuf. Tentu saja, kritik ini selaras dengan kepentingan pemerintah Hindia Belanda untuk membangun persepsi bahwa yang menjadi pelaku perlawanan di Cilegon merupakan ‘guru-guru palsu’. Namun demikian, Sayyid Utsman bukanlah alat Belanda, dan bukanlah orang yang dibeli untuk kepentingan kekuasaan Belanda. Meski, kedekatan personalnya dengan Snouck tidak diragukan lagi.

Sayyid Utsman mengkritik orang-orang muslim yang tidak sepenuhnya mengerti tarekat, namun menggunakan tarekat untuk kepentingan politik. Hingga, pada akhirnya mencederai citra Islam dan merugikan komunitas-komunitas muslim lainnya. Sayyid Utsman juga menolak klaim bahwa pemberontakan Cilegon pada 1888 merupakan Perang Sabil, yang dilandasi fatwa jihad.

Dalam pandangan Sayyid Utsman, syarat-syarat jihad belum sepenuhnya terpenuhi. Beliau menyatakan,” dan demikian pula sangka setelah daripada orang yang jahil pada bab al-jihad, bahwa ia sangka kumpulan bikin rusuh negeri itulah perang sabil yang tersebut di bab al-jihad, maka inilah ghurur yang amat besar lagi amat banyak dharuratnya pada orang-orang,” tulis Sayyid Utsman, dalam Manhaj al-Istiqomah (22-23).

Fatwa-fatwa Sayyid Utsman, Sang Mufti dari Betawi berdengung kencang sebagai suara Islam. Ia dekat dengan pemerintah Belanda, dan sering dianggap sebagai kaki-tangan kolonial. Meski sebenarnya, ia punya maksud tersembunyi, terkait kedekatannya dengan Snouck dan pemerintah Hindia Belanda (Munawir Aziz/Twitter: @MoenawirAziz)