Teknologi yang berkembang sangat pesat membuat dunia semakin sulit digenggam. Ia berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan. Banyak hal yang berubah sejak kehadiran teknologi, termasuk cara mendidik anak sebagai generasi masa depan.
Menurut Savic Ali, pekerjaan orang tua untuk membesarkan anak-anaknya menjadi lebih berat dengan kehadiran teknologi. Ia mengibaratkan, pekerjaan membesarkan anak kini membutuhkan satu dunia.
“Jadi, kalau dulu dikatakan, untuk membesarkan seorang anak itu butuh satu desa, nggak cukup bapak ibunya, nggak cukup satu keluarga, hari ini lebih besar lagi. Untuk membesarkan seorang anak butuh satu dunia,” ungkapnya dalam Kelas Panel “Teknologi dan Media Sosial” Muktamar Pemikiran NU ke-2 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Sabtu (2/12).
Ia mencontohkan, di lingkungan masyarakat tradisional, ketika orang tua menasehati atau memarahi anak-anaknya, maka anak-anak tersebut menuruti perkataan orang tuanya. Namun, di lingkungan masyarakat yang sudah mengenal teknologi, anak tidak segan menimpali perkataan orang tuanya.
“Bapak ngomong dikit, marah dikit, anak langsung kicep. Sekarang, bapak memarahi, ya didebat. Anak yang seperti ini lahir dari mana?” ujarnya.
Hal ini tidak lain merupakan dampak dari kehadiran teknologi. Apalagi, bagi generasi yang lahir ketika teknologi sudah berkembang, mereka tidak mengalami kesulitan untuk mempelajari banyak hal baru dengan memanfaatkan teknologi.
Bagi Savic, fenomena seperti ini tidak perlu dipandang negatif. Perkembangan teknologi tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang ‘gelap’. Karena teknologi hadir ke tengah generasi yang memang siap menerima kehadirannya.
“Jadi, orang-orang yang selalu khawatir, (mereka) melihat perkembangan teknologi itu gelap. Kalau saya sih enggak. Karena, kalau perspektifnya gelap, dia akan lebih banyak memagari (membatasi). Dan saya kira banyak memagari itu nggak cukup baik untuk pertumbuhan generasi,” bebernya.
Lebih lanjut, Savic menilai tantangan yang dihadapi oleh Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi masyarakat menjadi lebih berat. Hal ini lantaran pemikiran tentang “yang membentuk generasi adalah teknologi” tidak akrab di telinga banyak kalangan. Selama ini, yang banyak terdengar adalah “yang membentuk generasi adalah agama dan akhlak”.
“Kita selalu berfikir, semua ibu-ibu, saudara-saudara saya, adik saya, ponakan saya, berfikir bahwa anak itu harus dibekali nilai-nilai agama sehingga dia selamat. Apakah benar? Seberapa banyak anda bisa membekalinya? Sementara, day-to-day-nya dia berurusan dengan game, yang di dalamnya juga menyusupkan nilai-nilai,” terangnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dari sebuah game saja, anak-anak dapat mempelajari banyak nilai-nilai. Misalnya, mereka mengetahui tentang hadiah kemenangan (reward), hukuman, bahkan mempelajari cara-cara licik untuk memenangkan suatu permainan. Hal-hal seperti inilah yang harus mendapatkan perhatian lebih.
“Kita nggak pernah berfikir itu, padahal itu lebih powerful,” tegasnya.
Sesi panel paralel ini menjadi salah satu rangkaian kegiatan hari ke-2 Muktamar Pemikiran NU. Sesi ini terbagi menjadi lima topik, yaitu: Agama; Sumber Daya Manusia dan Pendidikan; Teknologi dan Media Sosial; Ekonomi dan Politik, dan; Budaya.
Adapun rencana tindak lanjut dan penyusunan strategi dari hasil diskusi kelima kelas panel direncanakan berlangsung pada Minggu (3/12) pagi.