Nusaibah binti Ka’ab, pejuang perempuan dari Madinah ini dianugerahi umur yang panjang. Sepeninggal Rasulullah SAW ia masih ikut berkecimpung di medan perang. Sebagaimana yang diketahui, banyak sekali perperangan yang terjadi sepeninggal Rasulullah Saw. Salah satunya adalah perang Yamamah, perang untuk melawan orang-orang murtad yang disebabkan oleh munculnya nabi palsu, Musailamah al-Kadzab.
Ketika peperangan ini terjadi, usia Ummu Umarah telah mencapai 52 tahun. Meski sudah memasuki usia senja, Ibunda Hubaib lagi-lagi menunjuk kebolehannya dalam kancah peperangan. Ia kembali membuktikan kegigihan dan keteguhan jiwa jihadnya dalam perang Yamamah ini. Bersama putranya Hubaib bin Zaid, mereka maju menghadang musuh di medan peperangan dibawah pimpinan panglima Khalid bin Walid.
Dalam peperangan kali ini pasukan muslim melawan para pemberontak yang dipimpin oleh sang nabi palsu, Musailamah al-Kadzab. Dalam peperangan tersebut Musailamah menangkap Hubaib, dan menawannya. Musailamah memerintahnya untuk menyatakan dan mengimani bahwa ia adalah utusan Allah, namun Hubaib menolaknya.
Musailamah bertanya pada Zaid, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah?”. Dengan tegas Hubabib menjawab, “Ya!! Aku bersaksi bahwa Muhammad Saw adalah utusan Allah.” Musailamah kembali bertanya, “Apakah kau juga bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”
Hubaib menjawab, “Apa?? Aku tak mendengar apa-apa.” Mendengar jawaban Hubaib Musailamah langsung geram, tak terima ia dengan jawabannya. Dengan jengkel segera ia menghabisi Hubaib, Musailamah membunuh putra Ummu ‘Umarah ini.
Melihat putra tercintanya dibunuh oleh sang nabi palsu sungguh menyayat hati ibunda Hubaib bin Zaid ini. Bagaimana mungkin ia bisa menyaksikan kebengisan nabi palsu itu dalam membunuh putra tercintanya. Namun bukanlah jiwa Nusaibah, sang mujahidah sejati untuk terpuruk dan larut dalam kesedihan atas kematian anaknya. Nusaibah bukan hanya seorang mujahidah yang tangguh, yang pandai memainkan pedangnya. Namun ia juga merupakan seorang wanita yang memiliki kesabaran yang luar biasa.
Nusaibah menerima berita kematian itu dengan penuh ketabahan serta penuh kebanggaan. Ia yakin bahwa putranya telah gugur sebagai seorang syahid, sebagai seorang panglima perang yang rela mati demi menegakkan panji-panji Islam. Ia yakin putra tercintanya akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah.
Kesabarannya yang luar biasa inilah yang membuatnya semakin gigih untuk maju melawan tentara musuh. Dengan gagahnya ia mengibaskan pedangnya kembali. Namun kibasan pedang lawan bertubi-tubi mengenai tubuhnya. Usia yang tak muda lagi pun tak bisa dipungkiri akan mengurangi pertahanannya. Namun, ia tetap gigih berperang hingga tangannya terpotong dan belasan luka mengenai tubuhnya akibat pukulan dan tusukan dari pedang musuh. Namun semuanya bukanlah luka yang tiada guna. Luka-luka itu adalah taman surgawi bagi mujahidah sejati seperti dirinya.
Nusaibah binti Ka’ab adalah seorang pejuang wanita yang sejati. Rela mengorbankan segalanya demi membela Rasulullah Saw dan menegakkan panji-panji Islam, tak hanya tenaga dan peluh yang ia korbankan. Bahkan jiwa raga telah ia korbankan demi kejayaan agama islam. Kebesaran cintanya terhadap Allah dan Rasul-Nya telah mengalahkan cintanya kepada selain Dia termasuk cintanya kepada dirinya sendiri. Ia jugalah yang menumbuhkan semangat juang tuk berjihad kepada anak-anak dan keluarganya.
Meski nyawa yang harus dikorbankan, demi islam apapun akan ia lakukan, demikianlah prinsip Nusaibah. Dia lah potret mujahidah sejati, berani berjuang sampai mati. Dan tak ada balasan yang lebih pantas baginya kecuali surga-Nya dan kenikmatan yang tiada tara di akherat kelak.
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridloan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-‘Ankabuut : 69)
Wallahu a’lam