Selama ini ketika kita melihat ada orang yang dianggap melakukan sesuatu yang berbeda atau melawan sabda nabi. Namun beberapa orang justru terburu-terburu menganggap orang tersebut menista Rasul, berbuat bid’ah, atau bahkan paling parah dianggap kafir. Padahal bisa jadi ia memahami hadis yang sama dengan pendekatan berbeda.
Beberapa sahabat juga dikisahkan pernah beberapa kali tidak sependapat dengan Rasulullah SAW. Khususnya jika berkaitan dengan keputusan Rasul yang tidak bersumber dari wahyu. Quraish Shihab dalam sebuah pengantar edisi terjemahan buku Muhammad Alghazali yang berjudul as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahlil Fiqh wal Hadis, menyebutkan tiga kisah masa sahabat yang pernah berselisih pendapat dengan Rasulullah SAW.
Walaupun berselisih pendapat, bukan berarti mereka membangkang atau ‘membantah’ sabda Rasulullah SAW. Mereka bahkan di antaranya, pernah berselisih pendapat dan memberikan pendapat yang terbaik sesuai keahlian mereka. Hal itu dilakukan setelah mengetahui bahwa saran Rasul tersebut tidak berasal dari wahyu Allah SWT.
Pertama, para pedagang di pasar pada masa Nabi. Suatu hari Jabir bin Abdillah meminta kepada Nabi Muhammad SAW untuk berbicara kepada para pedagang pasar. Jabir meminta kepada para pedagang pasar tersebut melalui perantara Nabi SAW agar mau membebaskan hutang-hutang ayah Jabir. Akhirnya Rasul pun mau membantu Jabir untuk berbicara kepada para pedagang.
Sayangnya, para pedagang tidak sepenuhnya sepakat dengan saran Rasulullah SAW. Mereka berpendapat bahwa ayah Jabir harus tetap membayar hutang-hutangnya. Para pedagang tersebut merasa penolakan tersebut sah-sah saja karena saat itu nabi hanya memberikan saran. Mereka juga tidak akan melawan nabi jika hal itu berasal dari wahyu Allah.
Setelah mengetahui penolakan tersebut, Nabi tidak lantas memvonis para pedagang sebagai penista atau pengkhianat. Nabi secara tidak langsung sepakat bahwa mereka boleh saja menolak saran Rasulullah SAW. Dalam kisah ketiga nanti, hal seperti ini diperjelas. Bahwa yang bisa disangkal atau berbeda pendapat adalah yang bukan berasal dari wahyu Allah SWT.
Kedua, kisah Buraidah. Sebagai pasangan berkeluarga saat ada sebuah masalah, Rasul pasti akan menasehati agar tidak retak dan terjadi perceraian. Dalam kasus Buraidah ini Rasul menasehatinya agar tidak bercerai dengan suaminya. Sayangnya, Buraidah tetap ingin bercerai dengan suaminya. Rasul pun tidak memaksakan kehendaknya.
Ketiga, kisah Khabbab bin al-Mundzir, ia adalah seorang peramu taktik saat perang Badar. Saat itu, Rasul menyarankan agar para pasukan Badar berhenti di suatu tempat. Saat mendengar rencana Rasul tersebut, Khabba langsung bertanya, apakah hal itu pendapat Rasul sendiri atau wahyu dari Allah. Rasul pun menyebut bahwa hal itu adalah pendapatnya pribadi. Mendengar hal itu, Khabab lalu mengusulkan sebuah taktik yang akhirnya dapat membawa pasukan Badar meraih kemenangan.
(Baca kisahnya: Didi Kempot Mengamalkan Hadis “Manusia Terbaik”)
Tiga hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, saran Rasul boleh dipatuhi dan boleh ditinggalkan, bahkan dalam hal tertentu hadis Nabi dilarang untuk dikerjakan. Hal ini bisa dilihat berdasarkan posisi Nabi Muhammad SAW saat mengucapkan hadis tersebut. Oleh karena itu, para ulama seperti Al-Qarafi, membagi kategori posisi Nabi Muhammad menjadi lima: sebagai rasul, sebagai mufti, sebagai hakim, sebagai pemimpin masyarakat tertentu, sebagai diri pribadi.
(Baca selengkapnya: Gus Mus: Orang yang Sehari-hari Menyampaikan Sabda Rasul Tidak Mungkin Menghinanya)
Hal ini perlu kita fahami agar kita tidak terjebak dalam pemaknaan sunnah secara ‘buta’ tanpa memperhatikan posisi dan kondisi saat itu, baik kondisi Nabi maupun kondisi masyarakat pada saat itu. (AN)