Sabar yang Diharamkan

Sabar yang Diharamkan

Sabar yang Diharamkan

Di antara sifat yang paling mulia dan utama adalah sabar. Keutamaan sifat ini banyak disebutkan dalam al-Qur’an, hadis, dan penjelasan para ulama. Menurut Abu Hamid al-Ghazali, setidaknya ada sekitar tujuh puluh lebih keterangan al-Qur’an terkait sifat keutamaan sabar, anjuran sabar, dan ganjaran yang akan diperoleh orang yang senantiasa menjaga kesabaran.

Saking mulianya tabiat ini, tak heran bila kesabaran selalu diidentikan dengan keimanan. Seperti yang dikatakan Sahabat Ali Bin Abi Thalib, “Ketahuilah bahwa kaitan antara kesabaran dengan keimanan adalah ibarat kepala dengan tubuh. Jika kepala manusia sudah tidak ada, maka secara langsung tubuhnya juga tidak akan berfungsi. Demikian pula dengan kesabaran, apabila kesabaran sudah hilang, maka keimanan pun akan hilang.”

Dalam Ihya Ulumuddin, al-Ghazali menjelaskan bahwa kesabaran memiliki berbagai macam hukum. Tidak semua bentuk kesabaran yang dianggap baik dan mulia. Akan tetapi, ada beberapa bentuk kesabaran yang malah dinilai tidak baik dan kurang tepat. Kesabaran pun sebenarnya harus tahu tempatnya supaya tidak terjebak pada kesabaran yang diharamkan. Al-Ghazali mengatakan:

“Sabar dapat dibagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan hukumnya: sabar wajib, sunnah, makruh, dan haram. Menahan diri dari segala sesuatu yang dilarang syariat adalah sabar wajib. Menahan diri yang makruh merupakan sabar sunnah. Sedangkan menahan diri dari sesuatu yang dapat membahayakan merupakan sabar terlarang (haram), seperti menahan diri untuk tidak menolong orang lain atau anaknya yang tangannya putus…….”

Keterangan ini menunjukan bahwa dalam beberapa seseorang perlu untuk tidak bersabar. Justru ketika dia bersabar malah terjebak dalam kesalahan dan keharaman. Seperti yang dicontohkan di atas, ketika melihat orang yang tertimpa musibah, maka sebaiknya kita langsung menolong orang tersebut, apalagi bila korbannya berada dalam kondisi darurat.