Kritik Imam Al-Ghazali atas Pergeseran Makna “Fikih”

Kritik Imam Al-Ghazali atas Pergeseran Makna “Fikih”

Istilah “Fikih” yang kita ketahui saat ini sebenarnya telah mengalami pergeseran makna. Dalam kitab Ihya` Ulumiddin, Imam Abu Hamid al-Ghazali menuliskan kritiknya atas fenomena pergeseran makna tersebut.

Kritik Imam Al-Ghazali atas Pergeseran Makna “Fikih”
Ilustrasi seorang ulama yang sedang mempelajari kitab.

Istilah “Fikih” yang kita ketahui saat ini sebenarnya telah mengalami pergeseran makna. Dalam kitab Ihya` Ulumiddin, Imam Abu Hamid al-Ghazali menuliskan kritiknya atas fenomena pergeseran makna tersebut.

Perbedaan pendapat adalah fitrah, tak terkecuali di kalangan para ulama. Nabi Muhammad Saw. pernah Bersabda, “Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat.” Karena itu, dapat dikatakan bahwa menjaga perbedaan berarti menjaga atau memelihara keberlangsungan rahmat. Tentu saja, perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan pandangan dan cara berfikir yang didasari argumentasi kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai contoh, dalam ilmu fikih, banyak varian pendapat ulama tentang hukum suatu hal tertentu. Misalnya, terkait hukum wali nikah. Menurut Imam as-Syafi’i, wali nikah merupakan rukun nikah. Karena itu, ia wajib ada. Sementara itu, Imam Abu Hanifah tidak mewajibkannya. Kedua pendapat tersebut benar, karena masing-masing memiliki dalil yang argumentatif. Perbedaan seperti itu adalah hal yang lumrah di antara para fuqaha`.

Kritik Al-Ghazali

Hal yang sedikit berbeda dilakukan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali. Beliau memang dikenal kerap berbeda pandangan dengan ulama lainnya, bahkan dengan mayoritas. Ketika yang lainnya ‘hanya’ sekedar berbeda pandangan terkait hukum suatu hal, Al-Ghazali justru berbeda pandangan dalam hal yang lebih mendasar.

Sebelum melangkah ke dalam pembahasan dalam ilmu fikih, yakni hukum-hukum, Al-Ghazali memilih untuk terlebih dahulu membahas makna “fikih” itu sendiri. Beliau mengkritik penggunaan istilah “fikih” yang menurutnya sudah mengalami pergeseran makna. Sehingga, istilah “fikih”, yang awalnya memiliki cakupan makna yang luas, mengalami penyempitan makna setelah terjadi pergeseran makna.

Melalui karya monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin, Al-Ghazali menegaskan, tidak semestinya makna “fikih” menjadi seperti yang dimaknai oleh ulama semasanya, termasuk yang sampai pada kita sekarang. Makna yang dimaksud adalah “Pengetahuan tentang hukum-hukum yang diperoleh dari dalil-dalilnya”.

Asal-Muasal Terjadi Pergeseran Makna

Sebelum itu, Al-Ghazali terlebih dulu membahas fenomena distorsi makna yang terjadi pada beberapa istilah. Menurutnya, awal mula terjadinya pencampuradukan antara ilmu-ilmu yang buruk (al-‘ulum al-madzmumah) dengan ilmu-ilmu yang baik (al-‘ulum al-mahmudah) adalah terjadinya distorsi makna itu.

Nama atau istilah yang awalnya bermakna baik, diubah dan digeser kepada makna yang tidak dikehendaki oleh para salafus shalih dan ulama generasi awal. Distorsi makna yang terjadi dilatarbelakangi oleh maksud atau tujuan buruk tertentu. Menurut Al-Ghazali, ada lima istilah yang telah mengalami distoris makna, antara lain: al-fiqh, al-‘ilm, at-tauhid, at-tadzkir, dan al-hikmah.

Sekilas memang al-Ghazali tidak menyebutkan tujuan-tujuan buruk itu. Namun, jika dipahami dari susunan pembahasan dalam kitabnya, maka tujuan yang dimaksud adalah penyamaran makna antara ilmu yang baik dengan ilmu yang tidak baik, seperti ilmu ramal, sihir, dan lain-lain. Misalnya, nanti akan dikatakan pada ilmu ramal, “itu boleh-boleh saja dilakukan karena berpijak pada tanda-tanda, sama seperti fikih yang berpijak pada dalil-dalil”.

Istilah “Fikih” di Masa Awal

Sebagaimana diketahui, pada periode pertama, jauh sebelum masa Al-Ghazali, “fikih” merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut ilmu (petunjuk) jalan (kebahagiaan) akhirat, mengetahui seluk beluk penyakit jiwa dan perusak amal, kenikmatan akhirat, dan pengendalian rasa takut dan cemas dalam hati. Dalil yang menunjukkan kepada pengertian tersebut adalah QS At-Taubah ayat 122.

فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?

Istilah tafaqquh dalam ayat itu bermakna sesuatu yang dapat membuahkan peringatan (indzar) agar kaumnya tersadar untuk menjaga diri dari kesesatan. Tentu, peringatan diperoleh bukan hanya dengan fatwa-fatwa hukum. Kesadaran diri berupa rasa takut, dan muraqabah tidak bisa dirasakan hanya dengan penyampaian hitam-putih putusan-putusan hukum. Sebaliknya, itu semua bisa diperoleh dengan nasehat-nasehat batin, pengajaran esensi jiwa dan hal yang bisa meracuninya, dan ilmu akhirat. Inilah yang disebut “fikih” pada periode pertama.

Makna “fikih” seperti yang dijelaskan di atas terbukti dengan kitab yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar. Di dalamnya bukan hanya membahas preskripsi hukum Islam, melainkan juga mencakup ilmu keagamaan lainnya; ilmu akhirat, penyakit jiwa, dan seterusnya.

Demikianlah makna dari istilah “fikih” yang telah mengalami distorsi atau pergeseran makna. Yang jelas, hal itu biasanya terjadi seiring berkembang dan berbedanya waktu, situasi, dan kondisi. Jika yang terjadi seperti itu, maka sah-sah saja. Namun, jika distorsi tersebut disengaja dan disertai tujuan-tujuan buruk tertentu, maka hal itu harus dicegah. [NH]