Ketika 19 Oktober 2019 lalu Joko Widodo kembali dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia untuk periode kedua, beliau memperkenalkan RUU Omnibus Law. Fungsinya sebagai rancangan Undang-undang untuk memperbaiki banyaknya undang-undang yang tumpang tindih. Mulai dari soal ketenagakerjaan hingga perizinan aturan perusahaan.
Sekarang mari kita lihat, bagaimana seseorang yang mau memulai bisnisnya bisa segera jalan bila harus menunggu Perijinan? Ternyata, proses penerbitannya membutuhkan waktu lama. Seorang teman pengusaha pernah bercerita, suatu hari dia butuh mengirim sebuah produk sebagai contoh produk ke luar Negeri. Dia harus rela merogoh biaya yang banyak ditambah menunggu waktu hingga 2 tahun agar semua surat Perijinan keluar. Jika aturan terus begini, bisakah bisnis berkembang dengan cepat?
Hal ini belum pengalaman pribadi ketika saya harus mengurus perizinan di sebuah daerah di Jakarta dan Bekasi. Selain biaya izin yang menelan jutaan rupiah, saya juga harus menyediakan “biaya tanda tangan” hanya agar Camat bersedia menandatangani surat domisili. Inilah yang menjadikan idiom; orang kaya akan makin kaya. Pasalnya, merekalah yang hanya bisa mengurus perizinan dan bisa mengurus perizinan artinya; harus sudah punya uang terlebih dulu.
Belum lagi ditambah beberapa keanehan atau lebih tepatnya tidak sesuai dengan bidang yang saya geluti. Misalnya, adalah permintaan aturan amdal. Sebagai pelaku informasi teknologi, yang bahkan tidak kelihatan pekerjaannya itu, dimintain surat pernyataan persetujuan lingkungan untuk limbah?
Perubahan serta kemajuan bidang usaha yang semakin lama semakin cepat serta bertambah semakin membutuhkan kemudahan proses, hal ini tentu harus bisa diantisipasi oleh pemerintah. Daya saing yang semakin kompetitif dari berbagai bidang, membutuhkan kerangka sistem yang bagus agar persaingan yang kompetitif ini menjadi sebuah manfaat yang baik. Belum lagi jumlah penduduk yang meningkat sehingga otomatis pengangguran juga meningkat.
Bila tidak ada sebuah sistem yang baik untuk segera mewadahi hal ini, maka besarnya jumlah penduduk akan menjadi kesia-siaan semata.
Mengapa Omnibus Law ini Muncul?
Indonesia terkenal sebagai negara dengan jumlah perizinan terbanyak serta terpanjang di dunia. Untuk sebuah perijinan pendirian perusahaan saja, setidaknya ada 7-8 ijin yang harus dipenuhi. Belum lagi biaya siluman yang menyertai panjangnya rantai birokrasi, makin banyak meja yang dilewati, akan makin banyak salam tempel. Sebuah biaya yang dikeluarkan selain biaya resmi yang diatur dalam regulasi.
Maka simplifikasi, harmonisasi regulasi dan perizinan akan mendorong peningkatan investasi yang memacu pertumbuhan kegiatan berusaha sangat dibutuhkan. Hal ini juga akan membuka kesempatan munculnya pengusaha-pengusaha baru yang pada gilirannya akan meningkatkan lapangan kerja. Bahkan dalam RUU Cipta Kerja, aspek penyederhanaan perizinan berusaha memiliki porsi paling besar, 52 UU dengan 1034 pasal yang akan disederhanakan.
Munculnya pengusaha-pengusaha baru maka akan memunculkan lapangan pekerjaan yang baru, maka otomatis akan segera menyerap sumber daya manusia dan mengurangi pengangguran.
Bagaimana dengan aturan soal tenaga kerja?
Banyak asumsi bahkan disinformasi yang beredar di media sosial saat ini terkait aturan atau undang-undang yang sudah ada dihapus atau dihilangkan dengan Omnibus Law ini. Dan asumsi-asumsi ini yang banyak diedarkan di masyarakat, salah satunya tulisan bertajuk Waspada Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang Malah Ngerjain Para Pekerja yang ditulis Pandu, yang aktif juga di gusdurian Yogyakarta.
Ia menuliskan bahwa cuti hamil cuti khusus dan soal pesangon dihapus. Faktanya, sama sekali tidak. Ada beberapa keliruan bacaan, data dan perlu ditelaah lagi oleh penulis tersebut. Saya mungkin bisa sedikit meluruskan beberapa hal yang berhubungan dengan ini. Begini:
Tidak ada hapus Cuti Hamil dan sejenisnya
Omnibus Law tidak mengubah ketentuan pasal 81 dan 82 UU Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 81 mengatur soal pekerja/buruh perempuan yang bisa memperoleh libur pada saat haid hari pertama. Pasal 82 mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja/buruh perempuan. Di dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi buruh yang mengalami keguguran.
Di mana Hak cuti tetap ada, dan Pasal 80, 81, 82, 83, 84 UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menjadi pasal terdampak RUU Cipta Kerja. Jadi, bagaimana?
Tentang Pesangon
RUU Cipta Kerja tetap menggunakan kata “pesangon”. RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Hak pesangon, bukan menghapus. Pengubahan hanya pada besarannya, karena pesangon di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Hal Ini yang menghambat perusahaan untuk mengangkat karyawan tetap, karena takut ketika terjadi kondisi sulit, malah bertambah sulit karena beban pesangon.
Faktanya, ketentuan pesangon dalam UU 13 tahun 2003 dibuat pada saat Indonesia belum memiliki Sistem Jaminan Sosial Nasional (BPJS). Sehingga pesangon diberikan sebagai jaminan sosial. Dan ditanggung oleh pengusaha.
Namun, sekarang saat BPJS-TK sudah mampu memperoleh laba 29 triliun pada 2018, maka perlahan mampu mengambil alih beban tersebut dengan memberikan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi korban PHK. Dua hal pokok yang bisa dilihat adalah (1) Pemerintah tetap memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK, dan (2) Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan pesangon.
Pasal 59 kenapa dihapus?
Pasal 59 UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan adalah pengaturan maksimal masa kontrak PKWT. Jika sudah mencapai 5 tahun, maka wajib diangkat menjadi karyawan tetap (PKWTT). Salah satu alasan mengapa pasal ini hapus adalah perkembangan bisnis proses. Karena pemerintah juga tidak mungkin ikut mencampuri pengelolaan atau bisnis proses sebuah perusahaan. Dan juga sudah diakomodasi dengan penyetaraan HAK Upah dan K3, serta pemberian JKP.
Satu-satunya pembeda pekerja tetap dan pekerja kontrak adalah statusnya. Namun nilai upah sama, THR sama, tunjangan sama, insentif sama. Bahkan punya dana pensiun yang sama, karena hak memiliki BPJS-TK juga sama. Sehingga tidak ada perbedaan biaya yang harus dikeluarkan untuk karyawan tetap, kontrak maupun outsourcing.
Dalam kondisi produktif yang tinggi, perusahaan akan lakukan segala cara agar tidak kehilangan pekerjanya, misalnya, dengan memberikan promosi jabatan, pengangkatan status. Tapi itu ‘kan bisnis proses, pemerintah tidak ingin ikut campur di bisnis proses. Sekarang jika seseorang karyawan kontrak lalu dapat promosi jadi supervisor apakah masih akan dalam status kontrak? Itu tidak mungkin, perusahaan pasti akan mengikat terlebih dahulu.
Efisiensi perusahaan tidak otomatis PHK massal
Soal pasal 154A tentang aturan perusahaan boleh melakukan pemecatan dengan alasan efisiensi, (ini dituduh oleh yang menentang RUU Cipta Kerja), bisa menjadi lubang pemecatan atau PHK besar-besaran oleh perusahaan. PHK besar-besaran akan bertentangan dengan putusan MK 19/PUU-IX/2011. Efisiensi ini nantinya akan diatur lebih detil di dalam teknis, seperti apa kategori, level hingga di titik mana aturan efisiensi ini berlaku.
Ini bukan memberikan kemudahan PHK, Easy Fired. Tapi memberikan kepastian hukum kepada pekerja. Pemerintah memberikan banyak justifikasi yang rasional tentang PHK sebenarnya justru untuk melindungi pekerja dari proses PHK yang berlarut-larut. Kita tentu masih ingat kasus PHK yang penyelesaiannya bertahun-tahun seperti hotel Shangrilla, PT DI di awal tahun 2000an.
Jadi RUU masukan justifikasi “kerugian 2 tahun berturut-turut”, itu biar perusahaan segera PHK sebelum sampai pada titik tidak mampu lagi bayar pesangon dan akhirnya menunggu proses pailit selesai. Kasihan pekerjanya.
Begitu pula dengan justifikasi “penggabungan dan peleburan, pengambilalihan atau pemisahan perusahan” dalam tiap proses merger dan acquitition akan mengubah bisnis model, itu perlu penyesuaian man power, sehingga ini akan melindungi pekerja dari ketidakpastian selama proses M&A berjalan. Penambahan justifikasi tersebut juga disertai dengan perlindungan Jaminan kehiangan pekerjaan. JKP dan Kartu PraKerja tsb akan melindungi korban PHK, sampai dia mendapatkan pekerjaan kembali.
Penghapusan AMDAL
Soal Amdal, sudah saya singgung di atas, perlu ada penyesuaian. Mana mungkin bisnis atau bidang usaha IT seperti saya ini harus mengurus ijin soal dampak lingkungan terutama limbah? Kan ya lucu kalau sebuah entitas usaha di digital, seperti media online, misalnya, harus beresin izin persoalan Amdal?
Amdal tetap ada, hanya sekarang digabung dalam proses perizinan usaha, dan RUU Cipta Kerja memberikan kriteria usaha. Ini sebuah perubahan paradigma, dari “tiap usaha harus ada amdal” menjadi “tiap usaha harus sesuai kriteria izin lingkungan”.
RUU Cipta Kerja mengkategorikan usaha risiko tinggi, sedang dan rendah. Amdal diwajiban untuk usaha risiko tinggo, usaha risiko sedang cukup izin lingkungan dan usaha resika rendah cukup surat pernyataan untuk mengikuti ketentuan pemeliharaan lingkungan. Apalagi, sejauh pengalaman saya, AMDAL ini masih menjadi alat pungli bagi banyak pihak. Jadi AMDAL memang harus disesuaikan dengan kondisi dan jenis usaha bahkan skala usahanya.
Saatnya Indonesia Maju
Saya memang pengusaha, tapi saya berasal dari keluarga buruh. Kakak saya saat ini tercatat sebagai buruh disebuah perusahaan sabun, dan saudara-saudara yang lain juga banyak yang jadi buruh hingga sekarang. Saya juga memahami perjuangan teman-teman buruh, sekaligus mensingkronkan dengan cara pandang saya sebagai pengusaha.
Sudah waktunya untuk maju satu dua langkah ke depan. Buruh juga harus meningkatkan kemampuannya baik secara akademis maupun ketrampilan. Karena suatu hari nanti, akan muncul robot yang lebih terampil dan tidak punya emosi dalam bekerja, sehingga pengusaha tidak lagi perlu berhadapan dengan protes-protes yang menganggu aktivitas.
Yang saya tahu, sebagai orang muslim, Nahdlatul Ulama pula dan NU adalah organisasi terbesar di Indonesia maka bisa diasumsikan pengangguran terbesar juga berasal dari NU. Maka orang NU atau bahkan pengurus besarnya harus lebih bijak dalam memandang kemunculan RUU Omnibus Law ini. Dan, saya kira, begitu juga organisasi lain seperti Muhamadiyah, Persis dan lain-lain.
RUU Cipta Kerja ini merupakan jawaban atas amanat pasal 27 UUD 1945 ayat “tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. RUU Cipta Kerja ini bertujuan mempermudah perizinan, bukankah salah satu kewajiban religious kita adalah “mempermudah urusan orang banyak”. Termasuk mempermudah tiap-tiap anak bangsa ini mendapatkan lapangan pekerjaan.
Bukankan kita selalu berdoa, “Ya Allah permudahlah dan jangan Engkau persulit!”. Lalu mengapa tidak kita jadi bagian untuk mempermudah urusan orang banyak? Sehingga Allah swt yang Maha Memudahkan seluruh kesulitan juga mempermudah semua urusan kita. Wallahu ‘alam