Omnibus Law dan Redupnya Api Marhaenisme Bung Karno

Omnibus Law dan Redupnya Api Marhaenisme Bung Karno

Spirit dari UU Omnibus Law ini sangat mengkhianati semangat pemikiran dan perjuangan Bung Karno sebagai pencetus Marhaenisme.

Omnibus Law dan Redupnya Api Marhaenisme Bung Karno

Belum lama ini, di tengah ramai perihal Omnibus Law, jagat TikTok diramaikan oleh video teka-teki apakah Bung Karno sudah benar-benar wafat ataukah belum. Keramaian itu bermula dari statemen dari Mbah Mijan, seorang Youtuber paranormal yang mengatakan bahwa Sukarno belumlah wafat. Bahkan menurutnya beberapa keluarganya masih sering menemuinya.

Sebuah kebetulan, viralnya teka-teki wafatnya Bung Karno tersebut berbarengan dengan demonstrasi penolakan terhadap Omnibus Law di berbagai penjuru Indonesia. Meskipun dua hal tersebut tampak tak ada korelasinya sama sekali, namun sebenarnya, spirit dari undang-undang Omnibus Law ini sangat mengkhianati spirit pemikiran dan perjuangan Bung Karno.

Berbagai kajian kritis atas Omnibus Law telah menyimpulkan bahwa roh dari undang-undang ini adalah bagian dari upaya mengundang investor asing secara besar-besaran di Indonesia dengan harapan akan membuka banyak lapangan kerja. Namun, harapan banyaknya lapangan pekerjaan yang akan muncul tersebut berbarengan dengan pengikisan hak-hak pekerja. Dengan demikian, privilege yang diberikan kepada pengusaha lebih besar dibandingkan jaminan kesejahteraan yang akan diberikan kepada para pekerja.

Filosofi kebijakan ini sangat memunggungi pijar-pijar pemikiran Bung Karno yang berangkat dari spirit “membela orang kecil.” Cindy Adam, seorang penulis buku biografi Bung Karno paling otoritaif mengemukakan bahwa sewaktu Bung Karno tinggal di Bandung, si Bung berjumpa dengan seorang petani bernama “Marhaen”.

Singkat cerita, pada perjumpaannya tersebut Bung Karno bercakap-cakap perihal pekerjaan taninya Kang “Marhaen” tersebut. Kang Marhaen yang hanya punya lahan sempit dan bermodalkan cangkul saja tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.

Dari perjumpaan dengan Kang “Marhaen” tersebut memunculkan landasan pemikiran Bung Karno yang disebut sebagai “Marhaenisme.” Pemikiran itu memiliki spirit untuk membebaskan orang-orang kecil, kaum miskin, dan buruh kota maupun buruh tani dari ketertindasan.

Asal-usul pemikiran Bung Karno yang berpihak kepada orang-orang kecil, buruh, dan tani tersebut bermula pada sebuah esai yang ditulisnya semasa muda dengan judul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.” Pokok argumen dari esai tersebut adalah spirit pemikiran Bung Karno yang mengambil inspirasi dari nasionalisme, Islam, dan Marxisme untuk melawan kejahatan penjajahan di Hindia Belanda.

Spirit anti-kolonialisme ala Bung Karno tersebut sangat mewakili kesusahan yang dialami oleh penduduk negeri jajahan yang bekerja kepada perusahaan-perusahaan asing dengan upah yang amat murah. Di berbagai penjuru daerah, banyak orang pribumi yang bekerja kepada perkebunan milik perkebunan Belanda ataupun investor Eropa lainnya berada dalam kondisi melarat yang menyengsarakan.

Saya tidak bermaksud untuk melakukan simplifikasi dengan menyamakan kondisi zaman penjajahan dengan saat ini. Namun, sejujurnya, perlu untuk dikemukakan bahwa pada taraf dan kadar tertentu situasi belakangan ini yang ditandai dengan semakin dikikisnya jaminan para pekerja tersebut memiliki aroma-aroma ke arah eksploitasi alih-alih kesejahteraan.

Perundang-undangan yang akan mendatangkan situasi nir-kemanusiaan tersebut tentu kita tolak bersama. Kita semua harus kembali kepada spirit sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang merupakan pengejawantahan dari api pikiran Bung Karno yang berpihak kepada orang-orang kecil yang dilemahkan. Mencegah kemudharatan adalah tugas kita bersama. Oleh konstitusi, kita semua diberikan tanggung jawab supaya proses berbangsa dan bernegara kita semakin lurus mengikuti rel cita-cita para pendiri bangsa.

Sebuah cerita di awal tadi tentang ramainya di TikTok yang membahas apakah Bung Karno sudah benar-benar wafat adalah sebuah sinyal alam bawah sadar publik yang sedang merindukan kehadiran sosok Bung Karno. Sebuah angan-angan massal yang dalam lubuk hati terdalamnya merindukan sosok mesias, ratu adil, atau apapun itu yang mampu menyelamatkan Indonesia dari kondisi sosial yang penuh keprihatinan.

Dalam tradisi politik Jawa, kondisi masyarakat yang sedang mengalami kesulitan, yang diharapkan adalah datangnya seorang juru selamat. Hal demikian itulah yang nampaknya saat ini sedang ada dalam benak masyarakat, sampai muncul video yang meragukan apakah Bung Karno sudah benar-benar wafat ataukah belum.

Mereka semua pasti akan bersedih hati bahwa angan-angan mereka ternyata hanyalah utopia semata. Bung Karno sudah wafat dan telah dimakamkan di Blitar, tanah kelahirannya. Jikalau untuk saat ini kita sedang merindukan sosoknya untuk hadir bersama kita saat ini, tempat berlabuh yang paling tepat adalah dengan cara merawat pijar-pijar api pemikiran Bung Karno yang memiliki keberpihakan kepada orang-orang yang dilemahkan.

Wallahu A’lam.