Malam Mingggu biasanya menjadi momentum yang dinanti-nanti sebagian orang. Lebih-lebih jika mereka adalah kawula muda atau buruh, akhir pekan umumnya menjadi hari bahagia. Tapi, malam minggu kemarin (03/10) tampaknya adalah pengecualian.
Ya, di malam itu, rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah telah menyepakati Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna.
“RUU Cipta Kerja disetujui untuk pengambilan keputusan di tingkat selanjutnya,” kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas saat memimpin rapat kerja pengambilan keputusan tingkat I dengan pemerintah di Jakarta, Sabtu malam.
Dalam rapat tersebut sebanyak tujuh fraksi melalui pandangan fraksi mini fraksi telah menyetujui yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan.
Sedangkan, dua fraksi menyatakan menolak RUU ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat.
“Tujuh fraksi menerima dan dua menolak, tapi pintu komunikasi tetap dibuka, hingga menjelang Rapat Paripurna,” kata Supratman.
Dan, hari ini Senin (05/10), Pemerintah dikabarkan akan memastikan pengesahan RUU Cipta Kerja. Ini seperti diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir, mewakili Menko Perekonomian Airlangga Hartato di acara pembukaan bulan inklusi keuangan (BIK) 2020.
“Peratama-tama izinkan saya menyampaikan permohonan maaf dari Bapak Menko Perekonomian, karena pada saat yang sama beliau diminta untuk ikut sidang Paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja pada hari ini, sehingga beliau mendadak mendelegasikan kepada saya,” Kata Iskandar secara virtual.
Dikutip detik.com, telah beredar undangan rapat paripurna untuk mengambil keputusan atau pengesahan beberapa RUU, dan salah satunya adalah Omnibus Law Cipta Kerja. Dengan demikian, DPR bersama Pemerintah dan DPD pada dasarnya telah bersepakat agar RUU Cipta Kerja dibawa dan disahkan di rapat Paripurna DPR.
Sebelumnya, Pimpinan DPR telah menggelar rapat pimpinan untuk memutuskan jadwal dan agenda paripurna.
“Kami belum menentukan tanggal pasti, karena hari ini kita baru mau adakan raoat pimpinan tentang paripurna, yang semula memang dijadwalkan tanggal 8 Oktober 2020,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Senin (05/10).
Terpisah, Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) mendesak DPR dan pemerintah untuk membatalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka menilai RUU ini akan merugikan berbagai aspek kehidupan masyarakat.
“Meski ditentang oleh banyak kelompok masyarakat pemerintah dan DPR memaksakan pengasahan RUU Omnibus Law. Padahal jelas sudah bahwa setiap pasal-pasal dalam Omnibus Law justru menunjukkan negara mengabaikan hak rakyat, untuk hidup bermartabat dan justru mempercepat pengrusakan lingkungan,” kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati saat menyampaikan sikap FRI melalui siaran YouTube Fraksi Rakyat ID, Senin (5/10/2020).
“Siapakah yang paling merugi dengan adanya RUU Omnibus Law Cipta Kerja? kita semua, contohnya omnibus law cipta kerja membuat pengusaha dapat menikmati hak guna usaha langsung 90 tahun padahal sebelumnya hanya 25 atau 35 tahun dengan perpanjangan 25 tahun jika perusahaan memenuhi syarat,” sambungnya.
Senada dengan itu, Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mendesak DPR dan pemerintah membatalkan pengesahan RUU Cipta Kerja. Ini mengingat di dalam RUU tersebut, ada setidaknya tujuh poin menyangkut ketenagakerjaan merugikan kelompok buruh, seperti skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan.
Lebih jauh adalah hal lain mengenai terancam dihapusnya skema Upah Minimum Sektoral di tingkat kabupaten atau kota.
Menurut Nining, jika desakan pembatalan itu tidak dilakukan, ratusan ribu orang yang terdiri dari buruh, petani, dan mahasiswa akan menggelar demonstrasi serentak di depan gedung DPR/DPRD dan pemerintah daerah di 30 kota.
“Mau tidak mau di masa pandemi, di mana rakyat khawatir tentang persoalan keselamatan kesehatan, tapi kita dipaksa turun ke jalan. Dipaksa harus melawan karena tidak ada iktikad baik pemerintah dan DPR peduli akan nasib rakyat” kata dia, dikutip BBC Indonesia.