Aborsi Karena Perkosaan, Bolehkah dalam Islam?

Aborsi Karena Perkosaan, Bolehkah dalam Islam?

aborsi dalam Islam itu boleh nggak? apalagi ini terjadi karena perkosaan

Aborsi Karena Perkosaan, Bolehkah dalam Islam?
Foto: Pexels/Pixabay

Pertanyaan

Tak hanya sakit dan derita yang dirasakan oleh korban perkosaan tapi juga malu yang tiada tara menghujam dalam hatinya kepada saudara, teman, juga tetangga, meski ia berposisi sebagai korban. Apalagi akibat perkosaan itu menyebabkan ia hamil, rasa malu itu pasti bertumpuk-tumpuk.

Untuk menutupi rasa malu itu, saya sering mendengar di antara korban perkosaan itu nekat mengaborsi kandungannya. Di hatinya tentu timbul dilema yang sangat. Saya tidak bisa membayangkan kalau bencana itu menimpa saudara saya. Naudzubillâh. Pertanyaan saya, apakah perempuan hamil korban perkosaan itu dalam pandangan fikih Islam diperbolehkan menggugurkan kandungan (aborsi) atau tidak?

 

Hasan Iqbal

Surabaya

 

Jawab

Bukan hanya saudara Iqbal, siapa pun mesti tidak mau saudara, teman, atau tetangganya tertimpa perkosaan. Sebab pemerkosaan adalah hubungan seksual yang tak didasarkan pada kerelaan di antara dua pihak, pihak laki-laki dan pihak perempuan.

Biasanya intimidasi dan pemaksaan dilakukan pihak laki-laki agar si perempuan mau memenuhi kebutuhan biologisnya. Laki-laki pemerkosa mungkin saja sudah kenal atau dikenal sebelumnya oleh si perempuan, bahkan tidak jarang laki-laki pemerkosa memiliki hubungan kekerabatan dengan perempuan tersebut.

Pemerkosaan bisa berlangsung secara individual atau secara kolektif yang melibatkan sejumlah pelaku. Sebelum pemerkosaan berlangsung, berbagai ancaman fisik seperti penganiayaan, pemukulan, dan lain-lain dialami si perempuan yang kemudian menyebabkan dirinya tak berdaya. Perempuan tak bisa berkutik dan berbuat apa-apa kecuali hanya melayani syahwat si laki-laki itu. Pemerkosaan kerap terjadi berkali-kali dan berlangsung dalam waktu lama. Maka, tak pelak lagi, kemungkinan terjadinya kehamilan cukup besar. Perempuan akan mengandung janin yang tak diinginkannya. Pertanyaan yang muncul seperti yang diajukan di atas, apakah perempuan tersebut dibolehkan untuk menggugurkan kandungan yang tak dikehendakinya itu?

Pertanyaan seperti itu wajar muncul karena perkosaan di mana-mana selalu mengandung multiplier effects (akibat beranekaragam) luar biasa. Perempuan korban perkosaan mungkin akan mengalami trauma, kepedihan dan depresi sepanjang hidupnya. Pemerkosaan massal seperti yang menimpa perempuan-perempuan etnis China pada tragedi Mei 1999 di Jakarta sampai sekarang menyisakan pilu yang mendalam pada pihak korban. Siksaan batin atau beban psikis tersebut tentu akan semakin bertambah dengan adanya janin yang tumbuh dalam rahimnya.

Persis di sini, perempuan hamil korban perkosaan dihadapkan pada pilihan-pilihan terbatas dan dilematis; antara menggugurkan kandungan untuk mengurangi beban psikisnya atau merawatnya sehingga janin dapat lahir dengan selamat. Bahkan secara sosial, perempuan korban perkosaan kerap mengalami diskriminasi dari tetangga dan masyarakat sekitar. Ia dikucilkan karena dianggap sudah tak suci lagi. Ini sebabnya, perempuan korban perkosaan memanggul beban masalah yang berlapis-lapis.

Sejauh pantauan saya ke sejumlah kitab fikih, pembahasan tentang perkosaan sendiri tak dibicarakan. Kata “perkosaan” tak dikenal dalam wacana fikih. Mungkin, karena perkosaan belum menjadi isu aktual saat itu.. Fikih hanya mengintodusir istilah perzinaan untuk menyebut secara umum hubungan seksual yang berlangsung di luar perkawinan. Padahal, dari segi modus operasinya, pemerkosaan jelas kontras dengan perzinaan.

Jika perzinaan adalah hubungan seksual yang berlangsung atas dasar suka sama suka tanpa ada ikatan perkawinan, maka pemerkosaan adalah hubungan seksual yang terjadi di atas intimidasi, hegemoni, dan penyiksaan. Dalam perzinaan berlaku relasi subyek-subyek, maka dalam perkosaan berlaku hubungan subyek dan obyek.

Dalam kasus perkosaan, biasanya yang menjadi subyek adalah laki-laki, sementara si perempuan adalah obyek. Perempuan yang diperkosa bukan obyek yang pasif secara seksual, melainkan justru obyek kekerasan pihak laki-laki. Dengan demikian, perzinaan tak setara dengan pemerkosaan. Pelaku perkosaan perlu diganjar dengan hukuman yang berat.

Begitu juga, ketika fikih berbicara tentang aborsi. Pembahasan fikih biasanya hanya berkisar pada aborsi secara umum, baik karena perzinaan atau karena sebab-sebab lain yang mendorong tindak pengguguran kandungan, misalnya untuk menyelamatkan nyawa si ibu, dan sebagainya. Fikih tak membicarakan aborsi karena perkosaan.

Lepas dari itu, saya kira ada pandangan dasar ulama yang bisa dijadikan titik berangkat. Bahwa aborsi yang diharamkan adalah aborsi yang dilakukan ketika kandungan berumur di atas empat bulan. Pendapat ini misalnya dikemukakan para ulama madzhab Hanafi. Imam Ramli dari Syafi’iyah berpendapat sama.

Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (Juz II, hlm. 177-178) menyatakan bahwa kebolehan aborsi itu ketika janin belum berumur 120 hari. Pendapat serupa juga dikemukakan Muhammad Syaltut dalam al-Fatwa (hlm. 289-292). Alasannya, karena pada usia-usia itu, Allah sudah meniupkan ruh ke dalam kandungan itu. Dengan demikian, pada usia itu, ia sudah bisa disebut sebagai makhluk hidup. Dan dalam pandangan fikih Islam, menggugurkan kandungan dalam usia empat bulan atau 120 hari sama saja dengan melakukan pembunuhan jiwa yang diharamkan oleh Allah.

Allah SWT berfirman dalam al-Quran surat al-Isra’ ayat 33, “Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan haq”. Dengan mengambil pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah), berarti pengguguran kandungan yang kurang dari empat bulan dan atau 120 hari adalah mubah (boleh). Walau begitu, harus tetap diperhatikan apa yang menjadi motif atau tujuan dari aborsi. Jangan sampai aborsi dilakukan tanpa tujuan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Terkait dengan aborsi akibat perkosaan, majalah al-Buhuts al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah, Riyadh Saudi Arabia NO. XVII (sebagaimana dikutip KH. Husein Muhammad dalam Fiqh Perempuan, 2001, hlm. 165) mengemukakan bahwa “Jika perempuan itu sebelum usia janin 120 hari dapat meyakini bahwa kandungannya adalah akibat perkosaan (berdasarkan keterangan dokter), maka pengguguran kandungan setelah 120 hari adalah boleh.”

Pada hemat saya, dengan menggunakan ilhaq awlawi (analogi berlebih), jika aborsi kehamilan bagi seorang istri diperbolehkan dengan alasan-alasan yang rasional, maka apalagi kalau aborsi kehamilan karena perkosaan. Bahkan, bukan hanya dianjurkan, dalam konteks tertentu di mana janin dalam kandungan itu misalnya benar-benar mengganggu kondisi psikis si perempuan, maka aborsi akibat perkosaan diwajibkan. Siapa tahu dengan jalan aborsi ini, masalah-masalah yang mendera perempuan korban perkosaan bisa sedikit diminimalkan. []

Syir’ah 61