Memilih atau Tidak Memilih Aborsi, Bolehkah dalam Islam?

Memilih atau Tidak Memilih Aborsi, Bolehkah dalam Islam?

Bagaimana sih, aborsi dalam Islam boleh atau tidak?

Memilih atau Tidak Memilih Aborsi, Bolehkah dalam Islam?

Pertanyaan

Sering kali saya menyaksikan di TV maupun koran yang mengabarkan penemuan bayi. Bayi tersebut kemungkinan besar karena kehamilan yang tidak diinginkan dari hasil hubungan “gelap”. Kebetulan saya memiliki seorang remaja putri yang tengah dimabuk cinta kepada seorang laki-laki. Saya khawatir terhadap putri saya, jangan-jangan dia melakukan hal yang “tidak-tidak” dan bisa hamil di luar nikah. Pertanyaan saya kepada Pak Ustad, sebagai langkah jaga-jaga saya ingin menanyakan hukum aborsi. Bolehkah melakukan aborsi dalam Islam? Hal itu tentunya agar dia terhindar dari aib dan beban yang lebih memberatkan suatu hari kelak.

Enung Nurhayani – Jakarta

 

Jawaban

Pertanyaan Ibu tidak secara sederhana bisa dijawab dengan pendapat yang memuaskan, terutama bagi kelangsungan hidup perempuan. Karena pilihan melarang atau membolehkan aborsi, bagi perempuan, adalah mengancam kelangsungan hidupnya, baik secara fisik, mental maupun sosial. Terutama karena struktur sosial tidak memberi pemihakan terhadap perempuan ketika “harus” menjalani amanah reproduksinya. Karena itu, sebagai orangtua akan lebih bijaksana jika melakukan upaya preventif sebelum jatuh pada kondisi mengaborsi atau tidak mengaborsi. Pendidikan seksual pada remaja pada konteks ini menjadi sangat penting. Pendidikan ini setidaknya memberi kesadaran terhadap perempuan untuk memahami potensi reproduksinya. Sehingga, pilihan untuk melakukan sesuatu yang terkait dengan organ reproduksinya didasarkan pada pengetahuan yang otoritatif dan penuh kesadaran atas risiko yang akan menimpa.

Kehamilan yang tak diinginkan memiliki risiko yang tidak ringan bagi kelangsungan hidup perempuan. Ada sebagian perempuan yang tetap bersedia menjalani amanah reproduksinya; untuk hamil dan melahirkan. Tetapi banyak juga perempuan yang ingin membebaskan diri dari keharusan mengandung janin. Pada konteks ini pembahasan aborsi menjadi relevan. Di sini perlu ditegaskan, bahwa aborsi (dengan arti menggugurkan kandungan) tidak pernah dibahas eksplisit dalam Al-Quran maupun hadis. Pernyataan aborsi diharamkan Al-Quran atau hadis adalah sesuatu yang mengada-ada. Baik ayat dari QS. Al-An’am, 6: 151, atau QS. Al-Isra, 17: 31, yang sering dijadikan dalih, adalah ayat mengenai pembunuhan anak. Aborsi jelas berbeda dengan pembunuhan anak.

Teks-teks hadis tidak ada yang secara eksplisit mengharamkan atau menghalalkan aborsi. Adapun teks-teks hadis yang sering dikaitkan adalah mengenai pidana terhadap janin di dalam kandungan (alghurrah). Dalam sebuah teks hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah disebut, “Ada dua perempuan bertengkar, salah seorang melempar batu ke arah lawannya hingga meninggal, termasuk janin di dalam kandungannya. Ketika mereka mengadu kepada Rasulullah, beliau memutuskan bahwa untuk pidana terhadap janin adalah denda ghurrah, yaitu memerdekakan budak laki-laki atau perempuan” (Subulussalam, 3/238). Teks ini mengarah kepada pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan hamil yang menyebabkan keguguran, bukan sengaja menggugurkan kandungan atas restu perempuan yang mengandung (Subulussalam, 3/239-240).

Persoalan aborsi dibahas cukup mendalam dalam kitab-kitab fikih. Imam Muhammad bin Isma’il al-Shan’âni (1059-1182H) menyimpulkan perbedaan ulama fikih mengenai aborsi pra-peniupan ruh sama persis dengan perbedaan mereka dalam hal ‘azl (coitus interuptus); ada yang membolehkan dan mengharamkan (Subulussalam, 3/146). Mahmud Syaltut dari ulama kontemporer juga menceritakan hal yang sama bahwa ulama fikih sepakat menyatakan haram terhadap aborsi pasca-peniupan ruh kecuali jika kehamilan itu mengancam kehidupan ibu yang mengandung. Tetapi tentang aborsi pra-peniupan, ulama fikih berbeda pendapat (al-Fatawa, 289-292). Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111M) termasuk yang mengharamkan, mulai sejak bertemunya sperma dengan ovum, atau masa konsepsi. Baginya, kandungan sejak konsepsi adalah proses awal kehidupan manusia yang harus dihormati sama seperti menghormati manusia.

Pengguguran terhadap proses ini sama dengan pengguguran terhadap kehidupan manusia, sekalipun tidak harus dengan tingkatan dosa yang sama. Menurutnya, aborsi berbeda jauh dengan ‘azl. Karena aborsi adalah tindak pidana terhadap sesuatu yang telah ada dan berproses memulai kehidupan. Sementara ‘azl hanya sekadar pemutusan sebelum terjadi konsepsi sebagai awal proses kehidupan (Ihya Ulumuddin, 2/82-83). Mayoritas ulama fikih membolehkan aborsi sebelum terjadi penciptaan yang sempurna, yakni peniupan ruh. Wahbah Zuhaily menceritakan pandangan ulama fikih; (1) Ulama madzhab Hanafi membolehkan aborsi sebelum janin berumur 120 hari, sebagian memakruhkan jika dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan (syar’iy). (2) Ulama Malikiyah, kebanyakan mengaharamkan sejak konsepsi, termasuk mengeluarkan sperma yang sudah masuk ke rahim. (3) Ulama madzhab Syafi’i memperkenakan-–tetapi makruh–aborsi sebelum janin berumur 40 hari, 42 atau 43 hari. (4) Ulama madzhab Hanbali memperkenankan aborsi sebelum janin berumur 120 hari (al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, III/556-558).

Kendati banyak ulama fikih membolehkan, kita tidak bisa serta-merta menfatwakan. Dalam persoalan aborsi, realitas sosial masih menyudutkan perempuan. Segala hal yang dimunculkan realitas yang seperti ini dalam hal aborsi, baik berupa pandangan keagamaan, perilaku budaya, kebijakan pemerintah, maupun tatanan hukum dan sosial, semuanya mengarah kepada perempuan dan menjadikan mereka korban stigma praktik aborsi. Mereka secara fisik dan mental menjadi korban aborsi, baik aborsi yang aman apalagi yang tidak aman. Di sini, yang diperlukan adalah komitmen untuk menjadikan perempuan sebagai subjek pertimbangan persoalan aborsi. Ketika mereka harus memilih untuk meneruskan kehamilan karena pertimbangan tertentu, mereka harus memperoleh dukungan dan layanan yang paripurna. Begitu juga ketika memilih aborsi karena pertimbangan-pertimbangan yang langsung dirasakan perempuan, mereka harus memperoleh pelayanan yang aman dan menjamin kelangsungan hidup mereka. Dalam fikih ada prinsip “nyawa ibu lebih diutamakan daripada nyawa kandungan” (al-umm ashl an-nasl, wa al-ashl muqaddamun ‘alâ al-far’).

Kontroversi aborsi memang sangat menyulitkan, tidak sesederhana pandangan orang dengan polarisasi dua kutub pro-life dan pro-choice. Saat ini, perumusan fikih aborsi harus memihak kepada kemanusiaan dengan makna yang sesungguhnya, bukan sebatas persoalan nyawa. Baik kehidupan janin saat di dalam kandungan, saat kelahiran, pasca-kelahiran dan masa-masa pertumbuhan serta perkembangan berikutnya. Maupun kehidupan ibu yang mengandung, saat kehamilan, melahirkan, menyusui, merawat dan membesarkan. Wallahu a’lam.