Di masa awal pandemi di Indonesia, ada ulama yang menganjurkan kepada jemaahnya untuk mengunggah video aneka salawat di media sosial. Menurut beliau, berkah dari salawat yang diunggah di media sosial dapat mengusir wabah yang sedang melanda di Indonesia. Usaha serupa mulai kembali menggelora sejak petelah penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau lebih dikenal dengan PPKM level empat dalam beberapa bulan terakhir ini.
Akhir-akhir ini, kegiatan ritual keagamaan dengan memanfaatkan teknologi perjumpaan virtual semakin marak. Berbagai organisasi kemasyarakatan menginisiasi berbagai kegiatan doa, zikir, istighosah hingga wirid secara daring tersebut. Alhasil, bagi masyarakat kita yang dikenal cukup getol berkumpul, termasuk dalam menjalankan ritual keagamaan, kegiatan keagamaan virtual tentu sedikit memberi angin segar.
Namun, di sisi lain, saya melihat maraknya pelaksanaan ritual secara daring juga dipakai sebagai medium meluapkan kegelisahan dan perlawanan warga, atas kondisi pandemi yang semakin tak menentu. Tentu, setelah hampir dua tahun pandemi melanda Indonesia, siapa saja bisa dihinggapi rasa cemas dan khawatir.
Terlebih, kondisi hari ini masih belum terlihat tanda-tanda akan membaik. Dalam keadaan tersebut, opsi ritual keagamaan jelas menjadi pilihan bagi masyarakat kita yang dikenal religius. Tapi, apa dampak keberagamaan digital di masyarakat? Yuk, kita coba telusuri bersama.
Pelaksanaan ritual keagamaan daring ini tidak bisa dilepaskan dengan adaptasi massif di masyarakat atas teknologi internet, terutama kalangan kelas menengah. Pelaksanaan ritual keagamaan secara daring disambut cukup antusias oleh sebagian warga, khususnya mereka yang telah lama beririsan dengan teknologi internet.
Ditambah, di masa awal penyebaran Covid-19, kegiatan tersebut juga diharapkan sebagai solusi untuk peribadatan masyarakat. Internet dianggap menjadi solusi paling tepat dalam menghindari dan memutus penyebaran infeksi virus di masyarakat yang semakin luas. Anggapan internet sebagai teknologi murah dan mudah dijangkau oleh siapa saja, menjadikannya medium paling tepat untuk aneka kegiatan digital menjadi sangat mudah dan dapat menjangkau khalayak luas.
Namun dalam perpindahan medium tersebut tentu memaksa masyarakat beradaptasi dan bernegosiasi, termasuk dengan permasalahan hukum agama. Jadi, masyarakat kita tidak saja dihadapkan dengan adaptasi dengan berbagai kemajuan teknologi, namun juga dampak sosial keagamaan muncul akibat perkembangan tersebut.
Salah satu ritual keagamaan yang ramai diperbincangkan di masa pandemi adalah Salat Jum’at. Wahyudi Akmaliyah dan Najib Burhani, keduanya dari LIPI, pernah menyoroti pelaksanaan ritual Jumat Virtual. Dalam artikel berjudul Digital Islam in Indonesia: The Shift of Ritual and Religiosity during Covid-19, mereka berdua mengulas kegiatan daring digagas oleh Wawan Gunawan Abdul Wahid dan aktivis muda Muhammadiyah lainnya tersebut.
Menurut pengakuan dari Kyai Wawan dan kawan-kawan, keinginan tersebut muncul dari pelaksanaan salat Idul Fitri tahun 2020 kemarin. Saat itu, mereka melihat bahwa ada peluang yang memenuhi keinginan warga untuk melaksanakan salat Jumat. Alasan utama yang diajukan oleh Wawan adalah untuk menjawab beragam tuntutan ibadah di masa krisis.
Menurutnya, meskipun Muhammadiyah dan NU telah menganjurkan untuk mengganti Sholat Jum’at dengan Sholat Zuhur, banyak umat Islam yang masih ingin menjalankan Sholat Jum’at. Keputusan tersebut sepertinya masih menyisakan kegelisahan, jika tidak dijawab secara tepat dan cepat. Dan salat Jum’at virtual adalah jawaban bagi masyarakat oleh kyai Wawan dan kawan-kawan.
Aktivitas ritual salat virtual yang digagas kelompok tersebut masih belum dijumpai di manapun di dunia ini. Bahkan, di Indonesia sendiri masih banyak yang belum setuju dengan model ibadah virtual tersebut. Namun, sebagai usaha untuk menjawab satu dari berbagai tantangan di tengah pandemi, Salat Jum’at virtual memang memang patut mendapatkan sambutan baik.
Di sisi lain, ritual tersebut juga harus dilihat sebagai bagian dari bagaimana irisan dunia digital dan agama di Indonesia yang dipaksa beradaptasi lebih cepat. Dalam adaptasi inilah perbincangan menarik muncul, yakni perubahan wajah agama. Sebagian masyarakat kita masih belum siap dengan perubahan revolusioner tersebut, apalagi hal tersebut terjadi dalam ritual keagamaan yang selama ini melekat dalam keseharian masyarakat.
Ketidaksiapan masyarakat dalam menyambut usulan Wawan tersebut berbanding terbalik dengan kegiatan keagamaan lainnya yang cukup populer akhir-akhir ini, seperti pelaksanaan pengajian, doa hingga zikir bersama atau Istighosah. Uniknya, aneka kegiatan tersebut tidak didapati resistensi yang kuat di masyarakat. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Perlu dipahami sebelumnya, kegiatan keagamaan daring tidaklah tunggal. Kompleksitas dan dinamika yang cair tentu membuat kita tidak bisa melihat ritual keberagamaan daring sebagai entitas yang tunggal. Terlebih, salat yang lebih rigid dalam aturan agama dan lebih bersifat pribadi. Tentu lebih sulit beradaptasi dibanding dengan pengajian dan lain-lain yang lebih bersifat komunal.
Namun, persoalan tidak berhenti di sana, penjelasan bagaimana perubahan wajah agama ketika mulai berinteraksi dengan dunia digital pernah diulah cukup menarik oleh Mia Lovheim. Dalam sebuah esai berjudul Virtually Boundless?: Youth Negotiating Tradition in Cyberspace, dia mengulas bagaimana agama “dipaksa” untuk terus bernegosiasi dengan kehadiran teknologi dalam nadinya.
Pemahaman tentang bagaimana agama dipahami di dunia digital, Mia mengutip pendapat seorang tokoh bernama Nancy Ammerman. Penjelasan Nancy tentang identitas agama yang dibangun di persimpangan antara “narasi publik” dan “otobiografi” individu. Tentu bisa memberikan kita pemahaman lebih mendalam bagaimana agama di dunia virtual.
Agama kemudian dikonstruksikan secara publik dan dibagikan “akun” tentang kepemilikan dan makna yang melekat pada kelompok, budaya, dan institusi dalam masyarakat. Oleh sebab itu, “narasi agama” tidak saja terkait persoalan “Yang transendensi atau Yang Suci” dalam pengalaman personal, namun di saat yang bersamaan dapat membuat makna kehidupan individu dan hubungan sosial sekaligus.
Jadi, narasi-narasi agama tersebut membentuk interaksi sosial, di mana simbol dan praktik di mana pengalaman transenden telah dilembagakan, melalui institusi dan tradisi keagamaan tertentu, menjadi pembawa konvensi keagamaan juga dalam setting lain, yakni kehidupan di dunia digital. Di mana agama menjadi lebih akrab dengan teknologi audio visual. Dengan demikian, identitas keagamaan “terstruktur dan dibangun”, dipolakan oleh skrip yang ada dan diimprovisasi sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman individu.
Dalam hal ini, ekspresi ritual keagamaan di ranah digital tidak lagi dipahami hanya dalam pengalaman spiritual belaka, ia juga hadir sebagai kategori untuk membedakan diri dari orang-orang dari latar belakang etnis lain, atau dalam kata lain agama sebagai identitas. Oleh sebab itu, agama kemudian dapat “dikonstruksi” atau “dibuat” sesuai dengan kebutuhan zaman dan selera masyarakat.
Agama tidak lagi sebagai “sistem” yang membatasi kemungkinan realisasi diri dan pilihan bebas mereka. Ia dapat dihadirkan sebagai ekspresi identitas masyarakat atau luapan kegelisahan dalam waktu yang bersamaan. Ekspresi tersebut bisa kita jumpai dalam model keberagamaan yang ramai dihadirkan akhir-akhir ini. Jadi, agama di dunia digital memiliki wajah yang sangat cair dan kompleks. Selamat beribadah di era digital.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin