Salah satu periode yang dinilai berpengaruh dan menjadi saksi bagi prestasi spektakuler misi dakwah Kristen di dunia adalah periode antara revolusi Prancis (1789 M/ 1204 H) dan Perang Dunia I (1914 M/ 1332 H). Oleh sejarawan Barat modern, era tersebut sering disebut sebagai zaman panjang abad kesembilan belas.
Era tersebut juga menandai perubahan perimbangan kekuatan antara dunia Kristen dan dunia Islam yang memuncak pada perkembangan imperialisme Barat. Era yang juga menjadi saksi semakin luasnya kawasan dunia yang dikuasai oleh kekuatan Eropa.
Perlu dicatat, sukses terbesar misionaris Kristen tidak dicapai di dunia Islam, tetapi justru di Amerika serta beberapa kawasan di Asia dan Afrika. Meski demikian, walaupun kawasan dunia Islam tidak terpengaruh oleh aktifitas misionaris Kristen pada abad kesembilan belas, banyak wilayah Islam yang mendapatkan pengaruh signifikan dari kolonialisme Eropa.
Ilustrasinya begini: pada tahun 1700 M/ 1112 H, dunia Islam terdiri atas tiga negara besar, yang terkadang diistilahkan dengan ‘Kerajaan-kerajaan Serbuk Mesiu’, yaitu Kekhalifahan Turki Utsmani di Barat, Dinasti Safawi di Iran, dan Kerajaan Moghul di Asia Selatan. Terdapat pula negara-negara Islam yang lebih kecil di Maroko, Afrika Barat, Asia Tengah, dan Asia Tenggara. Akan tetapi, sepanjang dua abad berikutnya, keadaaan berangsur berubah.
Pada tahun 1699 M/ 1110 H, Kekhalifahan Turki Utsmani dipaksa menyerahkan Hungaria kepada Austria berdasarkan Perjanjian Carlowitz. Tak lama berselang, giliran Krim (Crimea), yang berpenduduk Muslim, diserahkan ke Rusia pada 1774 M/ 1188 H. Di Asia Selatam, ekspansi Inggris di India mulai berkembang pesat pada 1757 M/ 1170 H, setelah Perang Plassey. Pada tahun 1830 M/ 1246 H, Prancis menduduki Aljazair dan memulai ekspansinya di seluruh Afrika Barat dan Utara, termasuk Tunisia, Mesir, dan Sudan pada 1898 M/ 1316 H. Pada 1907 M/ 1325 H, wilayah Iran dibagi dua untuk Inggris dan Rusia. Kemudian pada 1912 M/ 1330 H, Italia menduduki Libya.
Perang Dunia I seolah menjadi babak baru serbuan Eropa ke wilayah Timur. Pada tahun 1920 M/ 1338 H, pasca PD I, Liga Bangsa-bangsa menetapkan mandat Inggris dan Prancis atas Irak dan Palestina, juga atas Suriah dan Libanon. Krisis ini juga menimpa Turki setelah kekalahan Turki Utsmani pada Perang Dunia I. Turki dipaksa untuk membagi-bagi wilayahnya untuk Rusia, Prancis, dan Italia, meskipun pada akhirnya pembagian itu urung dilakukan. Tidak hanya itu. Dari segi ekonomi, misalnya, total penghasilan negara di Saudi Arabia pada 1920-an M berjumlah kira-kira 210.000 Euro, dan lebih dari seperempatnya, 60.000 Euro, merupakan subsidi dari Inggris.
Reaksi Islam
Menghadapi perkembangan kekuatan dan imperialisme Eropa di satu pihak, dan peningkatan misi Kristen di pihak lain, dunia Islam bereaksi dengan dua bentuk utama. Di satu sisi, dunia Islam menanggapi perkembangan pengaruh Eropa itu dengan cara ‘meniru’. Peniruan yang signifikan tampak pada peniruan model pemerintahan, negara, dan sistem ekonomi Eropa oleh beberapa negara di dunia Islam.
Perkembangan ini berlangsung dalam tingkat kecepatan yang berbeda-beda di berbagai kawasan dunia Islam. Tingkat perkembangan itu ditentukan oleh apakah perubahan itu diperkenalkan secara sukarela, atau dengan kata lain, atas kehendak raja-raja itu sendiri, atau diperkenalkan di bawah pengawasan dan kendali Eropa. Perubahan ini, salah satunya, terlihat dari bagaimana Mustafa Kemal Ataturk mereformasi sistem pemerintahan dan konstitusi Turki menjadi sekuler pada 1920 M.
Paham sekulerisme pertama kali diperkenalkan pemerintahan Ataturk pada 1928. Konstitusi itu menghapus ketentuan yang menyatakan bahwa agama negara adalah Islam. Saat itu, Turki juga mulai mengganti struktur hukum Islam sepeninggal Ottoman dengan konstitusi baru. Meskipun melahirkan banyak pro-kontra, Ataturk menjadi model bagaimana respon ‘meniru’ ini terjadi sebagai reaksi atas imperialisme Barat.
Di sisi lain, dunia Islam menanggapi perkembangan pengaruh Eropa itu dengan memberikan perlawanan yang militan, yakni dengan apa yang disebut dengan ‘berjihad’. Perlawanan ini kadang-kadang berbentuk oposisi yang terorganisir rapi terhadap penyebaran kekuasaan Eropa. Kadang-kadang juga melibatkan perlawanan dengan sarana lain, misalnya terhadap aktifitas misionaris Kristen.
Di Mesir misalnya, berbagai gerakan perlawanan terjadi mulai dari gerakan perlawanan terhadap Prancis yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Urabi pada 1881-1882 M hingga munculnya Ikhwanul Muslim oleh Hassan al-Banna pada 1928 sebagai gerakan politik untuk mengakhiri kendali kolonial Inggris dan memusnahkan segala pengaruh Barat di Mesir. Reaksi perlawanan militan ini diilhami oleh sosok dan pemikiran Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M). Al-Afghani menghabiskan banyak waktunya untuk mengingatkan saudaranya sesama Muslim terhadap ancaman yang tengah dihadapi dunia Islam, khususnya dari Inggris yang disebutnya dengan ‘musuh kaum Muslimin’.
Di Indonesia, misalnya, perjuangan panjang melawan ekspansi Belanda terjadi di Kesultanan Aceh, Sumatera Utara di rentang periode 1873 hingga 1908 M yang kemudian terkenal dengan nama Perang Aceh. Belanda menyatakan perang kepada Aceh pada 26 Maret 1873 karena masyarakat Aceh tidak ingin wilayahnya dikuasai oleh penjajah. Saat itu, Belanda tergiur karena Aceh merupakan wilayah yang sangat strategis sebagai jalur perdagangan.
Baca Juga, Gelombang yang Berbalik, Awal Supremasi Barat Atas Islam
Di antara dua ujung spektrum reaksi politik tersebut, ada beberapa yang mengambil sikap moderat. Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dan Muhammad Abduh (1849-1905 M) menampilkan sikap jalan tengah ini ketika merespon kedigdayaan Barat. Keduanya semacam mengemban prinsip intelektual, yaitu mendayagunakan sebagian pemikiran Barat untuk dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk mengkaji kembali tradisi Islam. Pemikiran Barat itu juga digunakan sebagai bekal intelektual kaum Muslimin dalam mengkaji tradisi lain, termasuk Kristen. Tetapi harus selektif, dalam arti mengambil yang terbaik dari gagasan dan pengetahuan Barat, dan mengeliminasi tradisi-tradisi mereka yang buruk.