Gelombang yang Berbalik, Awal Supremasi Barat Atas Islam

Gelombang yang Berbalik, Awal Supremasi Barat Atas Islam

Gelombang yang Berbalik, Awal Supremasi Barat Atas Islam
islam dan barat tampak sebagai sesuatu yang berjauhan, bahkan bermusuhan.

Hingga dasawarsa terakhir abad ke-15 M, setidaknya dimulai pada akhir abad ke-10 M, terjadi banyak perubahan penting dalam perimbangan kekuatan antara dunia Islam dan dunia Kristen. Pada 1492 M/ 897 H, negara Islam terakhir di Spanyol, Kerajaan Nashiriyyah Granada, takluk ke tangan Ferdinand dan Isabella, yang disebut ‘Ratu-ratu Katolik’. Pada tahun yang sama, Christopher Colombus, yang didukung oleh Raja Spanyol, menemukan Benua Amerika.

Akan tetapi, hal yang lebih penting kaitannya dengan hubungan Islam-Kristen adalah pelayaran Vasco da Gama mengitari Tanjung Harapan dan melintasi Samudera Hindia pada 1497 M/ 903 H. Petualangan itu disponsori oleh Raja Portugis. Temuan rute baru ini memungkinkan hubungan langsung antara Eropa dan Asia untuk pertama kalinya tanpa melewati wilayah Timur Tengah. Artinya, para pelayar dan pedagang Eropa tidak harus melewati wilayah Islam untuk sampai ke Asia.

Temuan jalur ini juga mengubah sisi psikologis bangsa Eropa. Sebelumnya, Eropa merasa dikepung oleh dunia Islam. Namun, ketika para pelayar Eropa berlayar semakin jauh melintasi samudera, keadaan menjadi berbalik. Dunia Islamlah yang kemudian merasa dikepung oleh pengaruh Eropa. Meski demikian, di saat yang sama, Turki Utsmani juga sedang gencar melakukan penaklukan Eropa Timur pada 1361 M/ 762 H lewat sebuah agresi angkatan darat. Pada akhirnya, pada 1396 M/ 798 H, Turki Utsmani menjadi penguasa Balkan.

Tidak berhenti sampai di sana, pada 1453 M/ 867 H, Konstantinopel berhasil direbut oleh Sultan Muhammad II. Ekspansi Turki Utsmani berlanjut ke Eropa Tenggara dengan mengepung Wina pada 1529 M/ 936 H, dan menduduki Hungaria selama satu dasawarsa. Melihat dari babak baru Vasco da Gama hingga agresi Turki Utsmani, muncul pertanyaan mendasar, lalu bagaimana persisnya porsi kekuatan itu? Apakah Islam masih berjaya? Atau negara-negara Kristen justru yang bangkit?

Dalam atmosfer yang serba samar ini, para reformis Eropa mulai merumuskan pandangan mereka tentang Islam. Di Jerman, kita mengenal sosol Martin Luther (1483-1546 M) yang meramalkan tentang ‘kemungkinan Kristen akan ditelan Islam’. Ia menulis untuk memperkuat iman orang Kristen yang tengah goyah. Kemudian ada tokoh reformis Prancis, Yohanes Kalvin (1509-1564 M) yang memandang bangsa Turki dan agama Islam sebagai pihak yang sesat dan menyesatkan sehingga pantas dibunuh.

Namun, yang jelas, selama abad ke-16 M, meskipun orang-orang Eropa terus terdesak oleh ekspansi Turki Utsmani di daratan, mereka rupanya lebih memiliki kedigdayaan di wilayah lautan. Hal itu terbukti ketika armada Turki Utsmani dihancurkan oleh persekutuan Spanyol, Venesia, dan Genoa pada 1571 M/ 979 H.

Kembali ke perbincangan tentang temuan jalur laut yang strategis, salah satu buruan penting dalam penjelajahan bangsa Eropa ke Asia adalah rempah-rempah. Sebagai bumbu makanan, rempah-rempah juga dapat digunakan untuk mengawetkan makanan yang tidak tahan lama. Karena itu, Ferdinand Magellan (1480-1521 M) menjadi orang pertama yang mengelilingi Bumi setelah berlayar dari Spanyol ke barat, mengelilingi Tanjung Tanduk, menyeberangi Samudera Pasifik, dan tiba di pulau rempah-rempah, Maluku. Perjalanan ini sekaligus mengawali babak baru perjumpaan antara Kristen dan Islam di Timur.

Perjalanan Ferdinand Magellan tersebut menjadi salah satu pemicu dimulainya aktifitas misionaris Kristen ke berbagai penjuru dunia. Jalur laut yang pelan-pelan mulai masyhur, menjadi lintasan utama dalam melaksanakan misi ini. Selama tiga abad lamanya, proyek misionaris ini berjalan dengan memanfaatkan jalur bahari. Proyek ini dilakukan oleh Kristen Katolik dan Kristen Protestan sekaligus. Tokoh yang dianggap penting dalam misi kaum Protestan, misalnya, bernama Henry Martyn (1781-1812 M). Martyn berhasil membuat terjemahan Perjanjian Baru secara apik ke dalam Bahasa Urdu yang sangat berpengaruh ketika melakukan agenda dakwahnya di India.

Martyn juga lebih senang blusukan untuk mengajak dialog orang-orang awam, bahkan dengan orang-orang Islam, tentang ke-Kristenan. Ia bahkan tak ragu untuk mengadakan debat terbuka dengan para pemimpin dan ulama Muslim tentang persoalan agama Kristen. Salah satu kekuatan Martyn adalah sikap sopan santunnya ketika melakukan interaksi dengan umat agama lain, semisal Islam. Ketika ia berdebat, ia menciptakan kaedah penting, ‘jangan pernah menyerang Islam secara terang-terangan’. Menurut riwayat, prinsip ini menyelisihi para misionaris setelahnya dalam berdakwah kepada kaum Muslimin. Namun justru, sikap itulah yang kadang menimbulkan ketertarikan kepada Martyn dan ajarannya.

Baca Juga, Relasi Islam & Kristen di Abad Pertengahan: Sebuah Upaya Hidup Bersama dalam Damai

Dengan demikian, kita sedikit mengetahui peta kekuatan antara kedua agama pasca perang salib yang memilukan, atau lebih tepatnya mulai dari abad ke-14 M. Di era itu, Turki Utsmani sedang gencar-gencarnya melakukan perluasan wilayah ke negara-negara Eropa Timur. Di waktu yang sama, Eropa menemukan satu senjata baru yang seakan abai dari perhatian Turki Utsmani. Namun di sini, kita mengetahui bahwa aktifitas misionaris Kristen memiliki pencapaian yang lebih baik daripada Turki Utsmani, di mana Kristen sudah berhasil menancapkan tentakel dakwahnya di negara-negara Amerika dan beberapa kawasan di Asia dan Afrika. Hal itu mungkin karena tujuannya yang memang berbeda, Turki Utsmani mempunyai misi memperluas wilayah, sedangkan Kristen hanya menyebarkan dakwah Kristen.