Islamofobia dan Radikalisme: Bertolak Belakang Tapi Sama-sama Berbahaya

Islamofobia dan Radikalisme: Bertolak Belakang Tapi Sama-sama Berbahaya

Islamofobia dan Radikalisme: Bertolak Belakang Tapi Sama-sama Berbahaya

Isu Islamofobia dan Radikalisme barangkali sudah sangat sering diperbincangkan. Bahkan, mungkin tidak hanya di Indonesia, melainkan juga seluruh dunia. Tentu bukan hal yang mengherankan jika kedua isu tersebut menjadi isu yang cukup penting untuk dibahas. Alasannya sederhana: wujud keduanya masih ada dan berpotensi menjadi ancaman serius bagi kedamaian dunia.

Namun, sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin menekankan di awal tulisan ini. Ketika menyebutkan Radikalisme dan Islamofobia secara bersamaan, penulis sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa Radikalisme hanya “milik” Islam. Karena Radikalisme sendiri dapat ditemukan di semua kelompok, bahkan tidak hanya kelompok umat beragama. Hanya saja, Radikalisme yang digunakan di sini secara khusus merujuk kepada fenomena yang terjadi di sebagian orang Islam.

Mengenal Islamofobia dan Radikalisme

Islamofobia yang terdiri dari kata ‘Islam’ dan ‘fobia’ dapat dimaknai sebagai rasa takut atau kecurigaan berlebihan kepada Islam tanpa dasar yang kemudian melahirkan sikap benci dan diskriminasi terhadap umat Islam. Lebih dari itu, kelompok Islamofob berupaya menyingkirkan atau bahkan melakukan kekerasan kepada umat Islam.

Sedangkan, Radikalisme adalah paham atau gerakan radikal. Kata “radikal” sendiri berasal dari bahasa Latin “Radix” yang berarti “Root” (akar) atau “Origin” asli. Menurut Haedar Nashir dalam Paradoks Radikalisme, pada dasarnya, dalam dunia pemikiran dan gerakan, radikalisme merupakan konsep yang netral. Orang yang berpaham radikal adalah mereka yang ingin kembali kepada akar atau asli sesuatu. Dalam konteks beragama berarti mereka ingin kembali kepada akidah yang murni.

Terkait dengan Islamofobia, sikap atau gerakan ini tidak hanya dapat terjadi pada level individual, melainkan juga struktural. Yang disebut kedua biasanya berupa kebijakan yang diskriminatif terhadap umat Islam. Contoh nyata adalah yang menimpa umat Islam di Myanmar dan India. Islamofobia bahkan pernah merebak secara masif di daratan Amerika dan Eropa, khususnya pasca insiden pengeboman gedung WTC di AS pada 11 September 2001 silam.

Menurut Adang Kuswaya dalam Melawan Islamofobia: Penerapan Tema Qur`ani Tentang Wasathiyah, ada beberapa asumsi yang melatarbelakangi munculnya sikap fobia terhadap Islam. Pertama, Islam diasumsikan sebagai agama tunggal yang bentuknya sama saja di manapun berada. Artinya, kelompok Islamofob berasumsi: jika umat Islam di satu daerah memiliki pemahaman yang ‘melegalkan’ kekerasan terhadap non-Islam, maka di daerah lain pun juga sama.

Kedua, Islam diasumsikan sebagai agama yang tidak mampu beradaptasi dengan modernitas. Pemeluknya dianggap sebagai masyarakat yang kolot. Ketiga, Islam diasumsikan sebagai agama yang tidak mewarisi nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti cinta perdamaian dan anti-kekerasan. Keempat, Islam diasumsikan sebagai agama yang kuno, irasional, serta mendiskriminasi perempuan.

Kita tentu berkeyakinan bahwa Islam sama sekali tidak seperti yang diasumsikan oleh para Islamofob. Namun, di samping itu, kita harus mengakui dengan jujur bahwa asumsi tersebut ada benarnya, karena memang masih ada sebagian umat Islam yang seperti berbagai asumsi di atas. Sebagai contoh, masih ada kelompok Islam yang menggunakan dalil agama ketika melakukan tindakan kekerasan.

Adapun terkait Radikalisme, menurut Haedar Nashir, karena kelompok yang radikal ingin kembali kepada akar, sebagian mereka menjadi fanatik buta. Di sinilah asal mula masalahnya. Karena kefanatikannya, kelompok radikal menjadi eksklusif serta intoleran. Tidak hanya itu, pada tahap berikutnya, radikalisme dapat meningkat menjadi ekstremisme bahkan terorisme.

Menurut Muchtadlirin, peneliti dari Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ada empat karakteristik kelompok radikalisme dalam Islam: Pertama, literalis, memahami teks keagamaan secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks. Kedua,  intoleran, menganggap hanya pemahaman atas teks agama milik kelompoknya yang benar, selain itu salah.

Ketiga, anti-sistem, mereka menolak sistem negara yang tidak berlandaskan hukum Islam, termasuk sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Mereka menganggap negara yang belum menjalankan sistem “khilafah” versi mereka sebagai thaghut. Keempat, revolusioner, tidak hanya berhenti pada sikap menolak sistem, melainkan juga memiliki keinginan untuk mengganti sistem dengan sistem lain yang mereka anggap benar.

Sama-sama Berbahaya

Dari penjelasan singkat terkait Islamophobia dan Radikalisme tersebut, terlihat bahwa ada dua spirit yang saling bertolak belakang, namun sama-sama dapat memicu gesekan sosial. Jika dalam Islamofobia terdapat spirit kebencian terhadap Islam, maka Radikalisme yang ada di tubuh Islam didasarkan pada spirit kecintaan yang buta kepada Islam.

Sehingga tidak berlebihan ketika Adang Kuswaya, saat membahas tentang masalah Islamofobia, mengatakan bahwa Islamofobia sama bahayanya dengan Radikalisme. Kebencian yang ada pada seorang atau kelompok Islamofob mampu mendorong mereka untuk melakukan penindasan hingga kekerasan terhadap umat Islam. Sebaliknya, kecintaan buta yang ada pada diri seorang atau kelompok muslim radikal  juga mampu mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama. Bahkan, tidak hanya terhadap mereka yang berbeda keyakinan, kelompok ini tidak jarang melakukannya kepada mereka yang satu keyakinan namun berbeda pandangan dengan mereka.

Beruntungnya, di Indonesia, Islamofobia dan Radikalisme sejauh ini masih bisa ditangani. Yang disebut pertama bahkan tidak ada, meski belakangan ini ada kelompok yang menggaungkan narasi bahwa Islamofobia ada di Indonesia. Radikalisme mungkin masih ada. Namun karena jumlahnya tidak banyak dan pemerintah juga memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini, sepak terjangnya masih bisa ditekan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita melakukan upaya bersama untuk melawan Islamofobia dan Radikalisme, dan itu bisa dimulai dari diri sendiri. Salah satunya adalah kita harus bersedia untuk terus belajar dan memahami kelompok yang berbeda keyakinan atau paham dengan kita. Karena, prasangka-prasangka negatif terhadap kelompok yang berbeda tidak akan timbul ketika setiap kelompok bersedia memahami satu sama lain. (AN)