Setelah Virus Corona, Muncullah Rasisme dan Xenophobia di Masyarakat Kita

Setelah Virus Corona, Muncullah Rasisme dan Xenophobia di Masyarakat Kita

Ternyata, virus rasisme dan xenophobia juga berbahaya

Setelah Virus Corona, Muncullah Rasisme dan Xenophobia di Masyarakat Kita

Dunia dikejutkan dengan adanya virus corona di Wuhan, China. Media melaporkan hingga hari ini (8/02) setidaknya 638 orang meninggal dunia, 31.480 orang terinfeksi dan 36 negara konfirmasi adanya penyakit tersebut. Angka-angka tersebut terus bertambah dan makin mengkhawatirkan. WHO sendiri sebelumnya telah mengumumkan status darurat terkait wabah mematikan tersebut.

Beramai-ramai 34 negara di dunia turut membatasi penerbangan menuju China akibat virus Corona. Dilansir dari kompas.com, menurut data Cirium yang menyediakan data dan penelitian tentang industri perjalanan mencatat hampir 10.000 penerbangan dibatalkan karena virus corona sejak 31 Januari 2020 lalu. Sejumlah negara juga mulai menutup wilayah perbatasan mereka terhadap kedatangan dari China, hal ini dilakukan guna mengantisipasi penyebaran virus corona yang lebih luas lagi.

Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengungkapkan, pembatasan-pembatasan terkait kekhawatiran sejumlah negara akan menularnya virus corona dinilai sebagai langkah yang berlebihan dan tidak tepat. Langkah tersebut menurutnya tidak akan menghentikan penyebaran virus corona.

Akibat virus corona, warga dan turis China di beberapa negara menjadi korban rasisme. Dikutip dari BBC Roma, Veronica Li warga Italia keturunan China, terpaksa memberhentikan tiga pekerja di restaurant miliknya akibat sepi pengunjung.

“Biasanya 50 atau 60 orang datang ke sini untuk makan malam,” ungkap Veronica. “Tapi Sabtu lalu hanya ada dua orang. Saya harus memberhentikan tiga orang karyawan. Jika terus seperti ini, saya harus menutup restoran ini bulan depan,” tambahnya.

Tindakan rasisme tersebut diduga dipicu oleh persebaran hoaks yang sangat masif di media. Kepanikan menyebar jauh lebih cepat ketimbang virus itu sendiri. Kepanikan tersebut merugikan sejumlah pekerja asal China di beberapa negara. Mereka terpaksa menutup toko, menerima berbagai umpatan sadis dan perundungan dari warga negara yang ditempatinya.

Sebuah bar di samping air mancur Trevi, Roma, memperlihatkan adanya tempelan pengumuman yang berisi pelarangan pelanggan dari orang-orang China.

Di Prancis warga keturunan China dikabarkan sempat marah ketika surat kabar lokal Le Courier Picard memajang berita utama “Alerte jaune” (Waspada Kuning) dan “Le pĂ©ril jaune?” (Bahaya Kuning?), dilengkapi foto perempuan China memakai masker pelindung. Warga keturunan China di Prancis kemudian meramaikan tagar JeNeSuisPasUnVirus (saya bukan virus) di media sosial sebagai bentuk perlawanan terhadap rasisme yang menyerang mereka.

Di York, pinggiran kota Toronto Kanada (27/01) lalu, terjadi penandatanganan petisi online oleh sejumlah orang tua siswa yang meminta siswa yang baru kembali dari China dalam 17 hari terakhir dilarang masuk sekolah. Beruntungnya, pihak sekolah menolak dan mengecam petisi tersebut dikarenakan kekhawatiran para siswa akan diincar di sekolah akibat ethnis mereka.

Akhirnya rasisme dan xenophobia menjadi wabah yang juga mematikan, tak kalah mematikan dari Corona. Bedanya, jika corona menyerang sistem pernapasan, pneumonia akut hingga menyebabkan kematian, rasisme dan xenophobia menyerang daya kritis dan humanisme masyarakat luas.

Rasisme dan Xenophobia membuat para korban kehilangan hak-hak kemanusiaannya. Dan, sayangnya, kedua hal itu mulai menjangkiti masyarakat kita.