Fiction dalam bahasa Arab khiyālun, artinya, tidak faktual, tidak nyata. Fictive dalam bahasa Arab diartikan dengan takhīliyun atau khayāliyun, yang berarti yang tidak nyata sebagai kata sifat.
Di dalam kalangan orang Arab, karya fiksi menujuk pada tulisan-tulisan Naguib Mahfouz, Nawal el-Sadawi dan juga dulu kita kenal dalam filsafat novel karya Ibn Ṭufayl, Ḥayy ibn Yaqẓan. Apakah di dalam al-Qur’an ada unsur fiksi? Muhammad Arkoun menulis dalam kitabnya al-Fikr al-Islāmī, Naqdun wa Ijtihādun, menggunakan baik istilah khayalun yang diterjemahkan dengan imagination dan uṣṭūrah yang semakna istilah Inggris myth. Dua istilah ini dipinjam dari kalangan antropologi yang digunakan untuk menganalisis soal pemaknaan atas kitab suci.
Dunia agama menganggap kitab suci mereka the sacred text, the divine text, wahyu dlsb. Wahyu bukan fiction karena itu dari Tuhan.
Nabi dengan al-Qur’an pernah dituduh oleh para musuhnya sebagai pembuat fiction, artinya al-Qur’an bukan dari Tuhan. Namun Allah melalui Rasul tidak menghukum orang yang menyatakan itu, cukup al-Qur’an mengajak orang itu untuk membuktikan apakah dia bisa membuat hal yang sama.
Karena itu, ungkapan-ungkapan yang seperti itu dan sejenis itu harusnya tidak dijadikan sebagai alat untuk menuduh penistaan agama.
Marilah dari sekarang ini kita nyatakan bahwa kita tidak perlu pasal penistaan agama, hapuskan saja, pasal ini tidak bertuan. Baik partai pemerintah maupun partai oposisi bukan pemilik pasal ini. Keduanya bisa menggunakan dan keduanya bisa menjadi korban.
Blasphemy dan defamation bukan tradisi Islam, tinggalkan saja. Tradisi islam adalah polemik (jadālī) dan perang pemikiran (ghazw al-fikr). Tirulah al-Ghazali dan Ibn Rushd atau Ibn Taymiyyah dan lawan-lawannya.
Pemenjaraan mewariskan dendam, polemik mewariskan ilmu.