Kalau demi barokah, kemudian Anda berencana menjalankan misi mulia berdagang dengan tanpa mengambil untung, maka saya berharap semoga laku adiluhung itu tidak kemudian menggugurkan kewajiban Anda untuk tetap bertanggung jawab pada sesama manusia.
Minimal, pegawai-pegawai yang sudah bersedia membantu usaha dagang Anda, orang-orang yang terlibat dalam bisnis Anda, sampai pastinya lingkaran terdekat Anda sendiri, yakni anak isteri yang wajib dicukupi kebutuhannya. Hak-hak mereka semua wajib terselesaikan meski Anda menjalankan misi mulia tadi: menjalankan usaha tanpa mencari untung.
Maka jangan sampai sebatas berpijak pada niatan suci namun dalam prakteknya justru malah menghadirkan madhorot atau, naudzubillah, kedzaliman. Artinya, pada aras yang lain, saya ingin berkata, bahwa mencari untung dalam dagang, itu oke-oke saja, kok. Bahkan, barangkali cenderung bernilai istimewa, ketika itu diniatkan membawa maslahat untuk banyak pihak. Sebagaimana barokah adalah tingkatan selanjutnya atas rohmat yang terkelola dengan baik, maka perdagangan adalah salah satu usaha manusia dalam rangka mengelola potensi-potensi rahmat Alloh tadi.
Tahu, tempe, buah-buahan, segala macam hewan, lobster dan ikan di lautan, kayu di hutan, emas di gunung-gunung, sampai segala sumber daya tambang di perut bumi, semuanya adalah rahmat Alloh yang sifatnya masih berupa potensi. Ketepatan pengelolaan oleh manusia baru menentukan ujung hasilnya: barokah atau tidak.
Celakanya, mekanisme budaya modern yang ukurannya adalah materi justru sering mendorong pelaku usaha untuk mengesampingkan urusan barokah. Sebab, barokah sendiri adalah barang abstrak yang tak berwujud, immaterial, dan tak bisa dikuantifikasi secara pasti nilainya.
Sehingga lebih kacau lagi, orang-orang modern lebih mudah menerjemahkan barokah pada bentuk-bentuk riil semacam keuntungan usaha, lancarnya perdagangan, pertambahan asset, kemajuan teknologi, hingga bahkan pada level negara sekalipun semisal pertumbuhan ekonomi, umpamanya.
Terbentuk puzzle-puzzle sederhana bermutu rendah yang menghubungkan harta benda adalah barokah dan sebaliknya, kemiskinan dan nestapa adalah musibah. Padahal, pada saat yang sama, kebarokahan memiliki keluasan makna yang bisa terlepas satu sama lain dengan peristiwa. Seseorang bisa merasa bahagia, meski tampak oleh kita ia sedang didera banyak penderitaan.
Namun, terlepas dari kerancuan dan melesetnya makna barokah tadi, harus diakui bahwa arus peradaban manusia dewasa ini sedang menuju pada muara yang sama: rich and famous. Semua orang ingin kaya, sekaya-kayanya. Semua orang ingin dikenal, di-subyo-subyo, dinomorsatukan. Lantas diam-diam kita selubungi niatan itu semua dengan dalih: ‘dalam rangka barokah’.
Jangankan mencarinya, memahami barokah pun tidak. Dan lebih repot lagi, menjadikannya sebagai dalih-dalih kerakusan duniawi. “Nanti lah bicara barokah, kita ini kan butuh banyak harta dan uang..”, begitu mungkin suara batin jika bisa di-loud speaker.
Saya sendiri, sebagai bakul cat, merasakan betul persoalan ini.
Ketika berjualan, saya ingin untung sebanyak-banyaknya. Kaidah no pain no gain sudah tak laku lagi, yang ada no pain much gain. Seminimal mungkin modal tapi sebanyak-banyak keuntungan. Kalau saya menanam dua biji, sebisa mungkin tumbuh ratusan pohon. Ogah saya dua biji kok cuma tumbuh dua pohon, meski hukum alamnya seperti itu.
Barangkali sama juga dengan banyak pekerjaan lainnya. Beberapa teman dan orang dekat saya, ketika ditanya, “Kalau ada kesempatan, misalnya, untuk pekerjaan yang sama tapi digaji dua sampai tiga kali lipat, mau apa tidak?”
“Ya tentu saja mau.”
“Kalau tidak bekerja tapi tetap dapat gaji?”
“WAH JELAS MAU!!”, teriak mereka lebih keras.
Dan, hei, jangankan pada urusan-urusan yang agak penting seperti keuntungan dagang, gaji, atau karier-karier pekerjaan, bahkan untuk soal makan pun saya sering khilaf. Kalau Kanjeng Nabi mencontohkan untuk makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, saya ini, bahkan, makan ketika masih kekenyangan.
Budaya saya adalah budaya kuliner, bahkan barangkali, orang bisa menyebut budaya nggragas. Saya menomorsatukan urusan mak nyus, nendang banget, jos gandos, dibanding perkara kesehatan. Lha apalagi kok nasehat kemuliaan untuk berhenti sebelum kenyang. Wah ha piye, belum kenyang lho..
Budaya kuliner inilah sejatinya cerminan dari peradaban modern. Peradaban yang di-lokomotif-i oleh hawa nafsu, bergerak melesat cepat tanpa tujuan akhir.
Sehingga boleh jadi, disinilah koordinat krusial dari puasa. Puasa sebenarnya adalah tirakat besar yang memang melatih manusia tidak sekadar pada urusan haus dan lapar. Tapi lebih besar daripada itu, puasa mengajarkan prinsip menahan hawa nafsu (meper, kata orang Jawa), meski pada urusan baik sekalipun.
Makan bisa sangat baik, tapi harus dihindari. Minum, bahkan amat perlu, tapi menjadi harom pada waktu-waktu tertentu.
Dengan spirit tersebut, mungkinkah kita terapkan kesadaran yang sama pada urusan-urusan kehidupan lainnya?
Bisa untung besar tapi memilih yang secukupnya yang sebutuhnya? Bisa menjadi apa-apa, tapi memilih untuk tidak menampil-nampilkan diri? Bisa menyingkirkan banyak rekan sejawat untuk moncer karirnya tapi lebih memilih fokus bekerja sepenuh hati?
Bisakah puasa kita hari ini mengajarkan soal-soal itu?