Puasa tahun ini menarik dan indah. Semua kenyataan hidup dihadirkan oleh Allah. Cuaca yang harusnya sudah mulai panas, kini kadang tiba-tiba hujan. Air laut yang tidak biasanya naik di musim panas, tiba-tiba rob membuat warga mengalami banjir rob. Termasuk orang berpuasa menahan marah, ternyata tiba-tiba marah.
Puasa? Atau puas? Itulah pertanyaan sederhana. Puasa karena memang ini bulan bagi muslim untuk berpuasa. Puas karena bagi muslim bisa menikmati buka puasa dan kelak berjumpa Allah dalam kesuciaan ibadah.
Namun kadang makna puasa menjadi hambar karena kepuasaan itu hanya sekedar menjadi kepuasan. Kepuasan ritualistik dalam menjaga lapar dan dahaga sejak fajar hingga maghrib tiba. Puasa sejati dilupakan karena masih puas melampiaskan kemarahan.
Dimana kemarahan itu? Marah saat ada orang merazia pedagang yang jualan di siang hari. Marah saat melihat razia yang dianggap tidak manusiawi berdalih toleransi. Marah melihat orang akan menonton film dokumenter. Marah membaca pengumuman bedah buku yang dianggap kiri. Dan bahkan marah melihat buka bersama yang digelar di gereja.
Padahal semuanya sedang berpuasa yang harusnya menahan lapar dahaga sekaligus menahan emosi kemarahan. Inilah hakikat manusia yang benar-benar manusia yang ternyata masih belum bisa menjadi mulia seperti malaikat. Adanya rasa dan perilaku marah menandakan, unsur kemanusiaan itu utuh adanya.
Jadi puasa itu melatih orang marah menjadi ramah. Dan untuk menjadi ramah di bulan puasa itu juga perlu dilatih secara maksimal. Usaha sadar untuk benar-benar berpuasa itulah yang akan membuat kita makin menjadi insan bertaqwa.
Mari puasakan jiwa dan batin kita agar kita mendapat kepuasan dunia dan akhirat. Ikatan syetan pengganggu hidup selama bulan Ramadan jangan kita lepas sendiri. Tahan emosi dan mari kibarkan panji Islam Nusantara yang damai. Indonesia tak butuh musuh, kita butuh banyak sahabat. []
M. Rikza Chamami, Dosen UIN Walisongo Semarang)