Setiap hiruk pikuk bulan Ramadan, pasti ada banyak pertanyaan yang berseliweran seputar hukum puasa dan amaliah ibadah lainnya. Mulai dari bagaimana hukumnya uthik-uthik upil, memasukkan jari-jari di lobang hidung, sampai makan permen karet pas sahur, lalu tertidur hingga siang hari. Sementara permen karetnya masih menempel di rongga-rongga mulut.
Ada pula yang bertanya; bagaimana hukumnya ‘menembak’ cewek di bulan puasa? untuk pertanyaan ini, saya coba tanyakan ke ahlinya, karena saya bukan ahli dalam urusan tembak menembak cewek. Harus banyak kursus dan senam mental. Tapi saya kira, jawabannya cuma ada. Pertama, cewek itu statusnya bukan milik pria lain, free transfe. Kedua, cewek tersebut akil baligh, matang dan siap nikah. Demikianlah wahai jomblo terhormat.
Kemudian muncul pertanyaan yang menyangkut hukum dan seputar amaliah ibadah, sangatlah penting bagi masyarakat awam. Belum lagi nanti seputar zakat, baik zakat fitrah (berupa makanan pokok), zakat maal (harta benda), bahkan sekarang ada yang menggagas zakat profesi. Seperti Lionel Messi dan C. Ronaldo, seorang artis dan pemain bola itu apakah wajib dikenai zakat? Oh ternyata tidak. Karena syarat mengeluarkan zakat adalah beragama Islam.
Bila dipikir-pikir, agama Islam sepertinya agama yang paling banyak aturan dan UUD-nya soal hukum. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, seperti lagunya almarhum Mbah Surip, selalu saja ada aturannya. Wajar saja bila dimana-mana yang diomongin selalu saja agama. Di whatsapp, di facebook, di twitter, BBM, bahkan, di instagram yang seharusnya ajang untuk selfi, berpamer ria dan jualan produk oleh emak-emak olshop, juga disusupi oleh agama. Agama dan Agama. Hukum dan hukum.
Lalu yang menjadi kerut tanya adalah siapakah yang berhak atau mempunyai otoritas penuh dalam mengeluarkan hukum atau fatwa? ustadz atau ustadzah yang sering nongol di layarkaca, kah? Atau, dai dadakan di media sosial, atau mungkin kiai-kiai yang ada di pesantren, atau bahkan, Satpol PP yang berhasil membuat tangis seorang ibu dalam razianya di sebuah warung makan yang terletak di Serang-Banten, yang kemudian membuat gempar warga jagat maya. Siapa kira-kira di antara mereka semua itu?
Hmm.. sedikit menyinggung soal razia Satpol PP kemarin itu, bagaimana juga ya hukumnya merazia makanan. Bila ditelaah, dan sepanjang yang saya tahu, wahai Bapak Satpol PP dkk yang terhormat dan semoga pintu hidayah selalu terbuka buat bapak.
Jika makanan yang kalian razia itu lalu Anda makan, itu hukumnya ‘haram’ dalam pengertian agama saya. Karena makanan tersebut bukan hak Anda. Dan apabila makanan hasil razia itu Anda buang, maka hukumnya juga haram. Karena Anda memubadzirkan barang. Di dalam QS. Al-Isra’ ayat 27 diterangkan dengan sangat jelas sekali, bahwa perilaku mubadzir itu temannya setan. Jadi kesimpulannya, ya tahu sendiri lah ya. Masak pakek nanya segala.
Padahal, jamak kita dengar dari bapak-bapak kyai kampung dan mas mas UIN pemberi kultum, bahwa setan dkk di bulan suci Ramadan itu dibelenggu, dikerangkeng di neraka, di penjara di atas langit sana. E..tapi, ternyata, masih banyak teman-temannya yang berkeliaran di dunia ini, wah,piye iki? Medeni cah.
Perkara otoritas siapa yang berhak berfatwa atau mengeluarkan hukum boleh, tidak boleh, halal dan haram, nabi pernah mengatakan bahwa ulama itulah pewaris para nabi. Artinya, para ulama atau orang alim yang paham agama bisa dijadikan sebagai rujukan segala hal ihwal yang berkaitan dengan hukum dan agama.
Lalu, pertanyaan saya, siapakah yang disebut dengan ulama? Apakah dia yang sudah menulis kitab berjilid-jilid seperti Imam Syafi’i, Imam Ghazali, Imam Hambali, atau dia yang sudah hafal ayat al-Qur’an dan ribuan hadis nabi dan paham makna serta isiya.
Pertanyaan demi pertanyaan itulah yang harus kita selesaikan bersama. Karena saat ini muncul banyak ulama yang entah itu memang benar-benar ulama atau ulama yang bukan-bukan. Ulama dadakan dan karbitan juga tidak sedikit. Yang penting fasih dalam berbicara, sedikit-sedikit mengeluarkan dalil, dicucuplah tangannya dan dianggap sebagai ulama.
Setahu saya, ulama adalah seorang pemuka atau pemimpin agama yang bisa membina dan menuntun masyarakat. Mengajarkan ajaran agama dengan cara yang baik dan benar. Mengayomi, bukan memerangi. Membimbing, bukan memusuhi.
Jadi, standar hafal al-Quran serta ribuan hadis, tahu bahasa Arab dan ilmu alat lainnya—balaghah, mantiq, badi’, bayan, nahwu, sorof—menurut hemat saya; tidaklah cukup. Akan tetapi ia juga tahu situasi sosial, latar belakang, dan konteks yang terjadi. Lebih mengedepankan moralitas dan aspek maslahat ketimbang halal-haram dan hitam-putih. Apalagi jika menyangkut hukum dan aturan.
Tuhan mewajibkan puasa di bulan Ramadan ini sebagai ujian dan bahan evaluasi manusia, sejauh mana ia patuh terhadap perintahnya. Bukan untuk memberhalakan Ramadan, yang harus disembah-sembah dan setiap amaliah ibadah minta dihormati demi memuja Ramadan. Wallahhua’lam. []
Muhammad Autad An Nasher. Penulis aktif di Jaringan Gusdurian, bisa dihubungi lewat akun twitter @autad