Polemik tentang ada atau tidaknya penghapusan ayat dalam Al-Quran (naskh intra Quranic) memang bukan barang baru dalam ranah studi Al-Quran. Polemik tentang naskh intra Quranic itu sendiri umumnya berawal dari perbedaan ‘bacaan’ para mufasir atas term naskh dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 106.
Louay Fatoohi misalnya, mengatakan bahwa naskh tidak memiliki landasan dalam Al-Quran. Sementara Abdullah Saeed berpendapat bahwa naskh dapat dijadikan sebagai salah satu alat yang paling berguna untuk menghubungkan antara aturan-aturan yang terkandung dalam Al-Quran dan perubahan kebutuhan dan kondisi. Ulama-ulama yang melopori konsep naskh dalam Alquran sendiri menurut Ahmad Izzan adalah Al-Syafi’I, Al-Suyuti, Al-Nahhas, dan Al-Syaukani.
Secara umum, kata naskh sendiri seringkali disejajarkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata to annual (merekam), to supersede (menggantikan), to obliterate (menghilangkan), to cancel (membatalkan), abrogation (pembataan), menukil, dan menyalin. Makna-makna tersebut diambil dengan merujuk beberapa istilah dalam bahasa Arab seperti naskh al-kitab (menukil dari satu kitab ke kitab yang lain), naskhat al-syams al-zill (terhapusnya matahari oleh bayangannya) dan naskhat al-rih al-athar (terhapusnya debu karena datangnya angin).
Naskh dalam istilah ahli ushul fikih adalah pembatalan pemberlakuan hukum syar’I dengan dalil yang datang belakangan baik secara terang-terangan atau secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum atau pun pembatalan sebagian saja karena suatu kemaslahatan yang mengehendakinya atau naskh adalah dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu. Secara khusus dengan merujuk pada Q.S. Al-Baqarah 106 yakni tepatnya pada term nasakh, kata tersebut dalam beberapa tempat disepadankan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata ‘batalkan’ dan atau ‘hilangkan’.
Al-Syafi’I (w.204 H) mendefiniskan naskh dalam arti meninggalkan kefardhuan hukum. Sementara menurut Abu Mansur al-Baghdadi naskh adalah hilangnya hukum dengan berpindahnya dari hukum itu. Sedangkan Ibn Hazm (w. 456 H) mendefnisikan naskh dalam arti yang lebih luas yaitu menghapus hukum setelah ditetapkan, menjelaskan batas masa ibadah, mencabut suatu ibadah yang sebelumnya berlaku.
Dalam diskursus Ulumul Quran sendiri setidaknya dikenal tiga jenis naskh intra Quranic yakni naskh al-tilawah wa al-hukm ma’na, naksh al-tilawah duna al-hukm, dan naskh al-hukm duna al-tilawah. Naskh adakalanya terjadi pada teks dan hukumnya, adakalanya teksnya saja, sementara hukumnya tidak, dan adakalanya sebaliknya, hukumnya yang dinaskh, sementara teksnya tidak.
Contoh kasus naskh jenis yang pertama adalah hadis yang diriwayatkan Aiysah RA. tentang penjelasan ayat ‘sepuluh susuan’ dan kemudian teks ayat tersebut dihapus oleh ayat ‘lima susuan’. Namun pada akhirnya kedua-keduanya pun dihapus. Contoh naskh jenis kedua adalah tentang kasus rajam. Sementara untuk contoh jenis ketiga adalah ayat tentang khamr.
Menurut Manna Al-Qattan naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan) jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah seperti yang berfokus pada Zat Allah, kitab-kitab-Nya serta tidak berkaitan dengan etika atau akhlak.
Senada dengan Manna Al-Qattan, Ali As-Sobuni juga menyatakan bahwa jumhurul ulama berpendapat naskh itu hanya khusus menyangkut perintah-perintah dan larangan-larangan, sedang berita tidak karena mustahil Allah berdusta. Sementara syarat-syarat yang disepakati adalah:
(1) Hukum yang di-naskh (mansukh) merupakan hukum syar’I.
(2) Hukum yang me-naskh (nasikh) pun harus dalil syar’I.
(3) Dalil nasikh turun belakangan setalah dalil mansukh.
(4) Di antara kedua dalil yang kemudian menjadi mansukh dan nasikh tersebut, terjadi pertentangan hakiki, serta benar-benar tidak bisa dikompromikan.
Tata cara naskh sendiri sebagaimana dikatakan Abdulah Saeed dapat terjadi dalam beberapa cara, di antaranya adalah naskh ayat Alquran oleh ayat Alquran yang lain, naskh Alquran oleh hadis, naskh hadis oleh Alquran, naskh hadis oleh hadis.
Pandangan yang cukup kontroversi datang dari Jalaluddin Rahmat, salah satunya. Menurutnya mengapa kejeniusan para ulama diperas habis untuk sebuah konsep (konsep naskh) yang sebenarnya hanya ‘dongeng’ atau ‘mitos’.
Baginya naskh tidak lebih dari sebuah dongen atau mitos belaka. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa, pertama, konsep abrogasi (naskh) dipertahankan demi kepetingan dakwah atau propaganda agama. Kedua, konsep abrogasi dipertahankan demi kepentingan politik. Ketiga, nasikh-mansukh berguna untuk mempertahakan fanatisme madzhab; berguna bagi satu madzhab untuk menolak madzhab yang lain yang berargumentasi dengan Al-Quran.
Polemik tentang naskh sedikit mendapat jalan keluar, terutama oleh Abdullah Saeed. Dalam karyanya “Interpreting The Quran: Toward a Contemporary Approach” sebagaimana dikatakan Sahiron Syamsuddin, Saeed mencoba menawarkan pendekatan kontekstualis dan metode praktis dalam mengaplikasikan pendekatan tersebut.
Berangkat dari keyakinan bahwa pewahyuan pertama melibatkan Firman Tuhan yang terjalin dengan konteks aktualnya, pendekatan kontekstual kemudian dikembangkan secara sistematis. Dengan tidak saja menekankan analisis linguistik terhadap teks Al-Quran baik secara sintaktik, stilistika, morfologis, semantik dan pragmatik, akan tetapi menjadi tugas utama penafsir Alquran secara kontekstual adalah menggeluti sejarah dan tradisi teks dalam rangka membangun konteks turunnya Alquran.
Menurut Saeed, poin-point di atas akan mengatarkan penafsir kepada pengaplikasian pesan ayat yang ditafsirkan dalam konteks masa kini dan memungkinkan aplikasi yang lebih luas lagi dalam dunia kontemporer. Sebuah model atau metode penafsiran yang kiranya cukup menarik untuk diaplikasikan.
Namun demikian, sudah barang tentu tidak dalam tujuan menafikkan metode-metode yang lain, khususnya metode-metode yang telah lama dikenal dalam ranah penafsiran Al-Quran. Melalui bangunan metode Saeed pula naskh kemudian mendapat tempat dengan tidak menafikkan sisi keberlakukan ayat-ayat yang dianggap telah mansukh.
Wallahu A’lam.