Saya Melihat Politisasi Agama dalam Papan Reklame di Banjarmasin dan Beginilah Kondisinya

Saya Melihat Politisasi Agama dalam Papan Reklame di Banjarmasin dan Beginilah Kondisinya

Ini kisah saya di Banjarmasin dan bertemu dengan politisasi agama

Saya Melihat Politisasi Agama dalam Papan Reklame di Banjarmasin dan Beginilah Kondisinya

Ketika saya berjalan di depan suatu Mall di Banjarmasin akhir Desember kemarin, saya tertarik pada papan iklan besar di samping pertigaan jalan tersebut. Papan tersebut menampilkan wajah seorang perempuan memakai hijab yang panjang dan logo toko yang menjual. Dua hal yang menarik perhatian saya adalah tagline “Hijab Syar’i No. 1 di Indonesia” dan posisi papan iklan tersebut, yang berada di depan toko berjualan hijab dengan merek nasional lainnya.

Papan Reklame berisi Iklan jilbab di atas hanya salah satu model bagaimana agama dan seluruh dinamikanya, muncul di ruang visual iklan. Entah apapun sikap kita terhadap sebuah iklan yang memunculkan Islam di dalamnya, tapi di saat yang bersamaan, baik disadari atau tidak, pikiran kita justru dipengaruhi untuk tidak menjadi kosong karena berfantasi lewat visualisasi yang dihadirkan di dalam iklan.

Lono Simpatupang dalam artikelnya berjudul “Umum, Pribadi dan Frontierisme, Sebuah Catatan Tambahan”, bahwa papan iklan tersebut bagai sebuah persaingan untuk menaklukkan “wilayah kosong”, “umum”, “tak bertuan” yang dilakukan oleh agen, dan wilayah tersebut adalah pikiran manusia.

Sebelum lebih jauh menjelaskan soal iklan, saya pernah melakukan pengamatan di sekeliling kota Banjarmasin terhadap beberapa papan iklan yang memunculkan diksi atau narasi Islam di dalamnya.

Saya kemudian mendapati fakta bahwa dari sekitar puluhan buah, citra yang dibangun dalam iklan-iklan tersebut lebih didominasi bertema politik dan ekonomi, namun gambar dan teks di dalam iklan selalu mampu menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak tampak, di sinilah kekuatan citra.

Yang mana jika kita hubungkan dengan penjelasan Susan Sontag tentang kekuatan citra yang mampu mempengaruhi atau menentukan pola konsumsi atau sikap orang terhadap sesuatu, inilah sebabnya masyarakat modern menjadikan konsumsi dan reproduksi citra sebagai aktivitas utama. Persoalan citra ini yang harus selalu kita sadari bersama sebagai umat beragama, termasuk muslim, bahwa iklan berdiksi agama bukan menampilkan agama yang sesungguhnya, dia hanya menampilkan citra agama yang diinginkan oleh sang agen (baca: pemasang).

Sebagaimana dijelaskan di atas, iklan berbungkus agama lebih banyak muncul dalam iklan politik dan ekonomi, jadi perpanjangan tangan yang tidak terlihat dalam iklan itu tidak hanya soal kepentingan komersial belaka, namun juga interes politik yang turut serta berkelindan. Sisipan pesan politik atau ideologi sering lebih “lincah” dalam memakai agama di dalam iklan yang sering kita lihat ketimbang tarikan komersial, sebab permainan tafsir dan diksi biasanya memiliki kompleksitas yang tinggi, sehingga secara tidak sadar kita sedang mengkonsumsi citra yang ditebar dalamnya.

Dari pesan yang disisipkan dari cara berpakaian, penggunaan teks, foto yang ditampilkan, hingga yang terbaru saya melihat persoalan kehadiran dan ketidakhadiran juga turut menjadi citra agama yang dimainkan oleh agen (baca: politisi), dalam merepresentasi dirinya. Persoalan kehadiran juga turut dimainkan oleh politisi saat keputusan dalam memasang sebuah iklan, sebab kalkulasi naik-turun terhadap popularitas dan elektabilitas di mata pemilih, yaitu kita sebagai objek, sangat dipertimbangkan matang.

Ada fenomena yang saya temukan di Banjarmasin dan sekitarnya yang terkait perihal “kehadiran” ini, yaitu, fenomena iklan ucapan hari besar agama. Salah satu teman saya memasang status menarik di hari Natal kemarin, yang mempertanyakan soal ucapan selamat hari raya oleh pejabat publik harus ada pertimbangan kuatitas umat pemeluk agama tersebut.

Dia menjelaskan bahwa pertanyaan tersebut muncul karena kegelisahan melihat perdebatan soal ucapan natal yang terus berulang. Memang, kita tidak dapat menutup mata fakta agama-agama yang berdebat tersebut adalah agama-agama yang memiliki pengikut terbesar di Indonesia, di luar perdebatan teologis, sehingga sangat mungkin perdebatan ucapan tersebut hanya milik agama terbesar saja sebab perdebatan yang sama tidak muncul saat perayaan hari besar agama yang lebih kecil kuatitas umatnya.

Kegalauan teman saya tersebut sebenarnya juga mempertanyakan kehadiran pejabat atau politisi dalam mengucapkan hari besar tersebut hanya terkait agama yang mereka peluk. Saya pernah mendengar cerita seorang kepala daerah yang tidak mau mengucapkan selamat hari besar agama karena bertentangan dengan keimanan yang mereka peluk, namun yang menarik saat perayaan agama yang dipeluk kepala daerah maka sang kepala daerah muncul dalam beberapa iklan reklame besar.

Kondisi ini memang menempatkan kita pada dilema yang rumit, karena berhadapan dengan dalil teologis, namun yang harus kita sadari dalam persoalan ini adalah soal kehadiran juga menjadi citra yang dibungkus dengan dalil agama. Prinsip keadilan sering dikesampingkan karena agen (baca: politisi atau kepala daerah) biasanya takut citra sebagai pemeluk yang taat rusak karena dianggap melanggar aturan agamanya, padahal perlakuan yang terbalik 180 derajat yang terkait agamanya. Oleh sebab itu, dengan tidak memasang iklan ucapan tersebut para pejabat publik atau politisi bahkan partai politik telah mengirim pesan pada konstituennya.

Kondisi ini terlihat di Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura yang mana tidak banyak iklan dari politisi, kepala daerah atau dinas yang mengucapkan perayaan natal kemarin, apalagi untuk agama yang lebih kecil, sedangkan kita bisa melihat kondisi yang berbeda saat perayaan hari besar Islam di tiga daerah tersebut. Pilihan hadir atau tidak untuk ucapan perayaan agama akhirnya jatuh pada pertimbangan citra dan kalkulasi pemilih belaka. Apakah kita bisa berharap hadirnya keadilan di ruang publik untuk semua masyarakat jika masih pertimbangan citra masih menyelimuti? Entahlah!

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin