Pesantren Sebagai Cermin Islam Moderat dan Progresif

Pesantren Sebagai Cermin Islam Moderat dan Progresif

Pesantren Sebagai Cermin Islam Moderat dan Progresif
Santri memaknai kitab kuning saat kilatan kitab di Masjid Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Rabu (8/6). Kiltan kitab kuning tersebut merupakan tradisi di pondok pesantren untuk mengisi bulan suci ramadan. ANTARA FOTO/Syaiful Arif/pras/16

Umat Islam saat ini terkesan “kepayahan”, bahkan cenderung pasif, ketika berhadapan dengan perkembangan peradaban yang signifikan. Selain itu, fundamentalisme dan ekstremisme masih sering dipandang sebagai ciri dominan dalam tradisi Islam, bahkan di era modern ini. Citra negatif Islam mencapai klimaksnya setelah tragedi 11 September 2001.

Meskipun semakin ke sini narasi anti-islamophobia semakin masif, citra Islam yang buruk nampak belum sepenuhnya hilang. Walaupun Hollywood, misalnya, telah membuat film tentang representasi Islam yang positif, sentimen terhadap Muslim tetap masih ditemukan, utamanya di kawasan Eropa.

Citra ini tidak main-main. Pesantren menjadi disorot sebagai episentrum pendidikan Islam terbesar di Indonesia. Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI, menyebut bahwa media Barat kerap menampilkan wajah pesantren sebagai “ladang” benih radikalisme Islam di Indonesia.

Selain itu, tradisi Islam klasik yang menjadi karakter pesantren, seringkali berbenturan dengan gagasan modernitas. Misalnya, soal kesetaraan manusia yang dibenturkan dengan sikap ta’zhim para santri kepada Kyai. Celakanya, tidak hanya Barat, beberapa kelompok Muslim juga skeptis terhadap relevansi pendidikan pesantren dan kapabilitasnya untuk mengikuti perkembangan informasi dan teknologi digital. Akibatnya, citra umat Islam hingga saat ini adalah umat yang tertinggal, konsumtif, dan tidak progresif.

Di Yogyakarta, ada sebuah pesantren yang mempunyai visi untuk membalikkan semua realitas di atas. Sebuah pesantren di “agak pedalaman” Mlangi, Sleman, bernama Pondok Pesantren Bumi Cendekia. Pagi itu, saya sowan ke Bumi Cendekia dan mengobrol dengan sang Kepala Pesantren, Angga Palsewa Putra.

“Kami memang berniat untuk mengenalkan santri dengan dunia internasional, mas.” Ucapnya.

“Bagaimana strateginya, mas?” saya bertanya.

“BC punya prinsip namanya Global Citizens. Prinsip itu meniscayakan santri kita untuk terlibat dalam diskusi internasional, mas?” terang mas Angga.

Ia menjelaskan bahwa penting untuk membawa santri ke level global agar wawasan mereka tidak tertinggal. Penting untuk menjaga relevansi pengetahuan santri terhadap zaman di mana mereka hidup. Strategi lain yang digunakan adalah dengan membiasakan santri bercakap-cakap dengan bahasa Inggris, bahasa yang menjadi jembatan para santri kepada perbincangan internasional.

Secara garis besar, pesantren mempunyai tiga dharma besar, yaitu (1) Keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT; (2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat, dan (2) Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara. Kata “pengembangan” menjadi kata kunci bahwa keilmuan pesantren tidak stagnan dan ajarannya bukan sebuah dogma.

Bumi Cendekia, dalam konteks ini, berhasil memenuhi ketiga dharma tersebut. Bumi Cendekia tetap memberikan pengetahuan Islam yang memadai dengan merujuk pada kitab-kitab Islam klasik. Hal itu sebagai upaya menjaga komitmen pesantren untuk melahirkan santri yang memahami wawasan ke-Islam-an, taat beragama, dan moderat.

Bumi Cendekia juga menekankan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan santri. Artinya, pesantren tidak terpaku pada lokalitasnya saja, namun juga keluar dan melibatkan diri dalam diskursus-diskursus di luar pesantren.

“Kami sering mendatangkan bule ke pesantren. Mereka akan sharing dengan santri atau berdiskusi tentang isu HAM dan lingkungan hidup, misalnya.” terang mas Angga.

Barangkali, tidak sedikit pesantren yang sudah mulai ramah dengan gagasan modernitas. Pondok Assalafiyyah Mlangi II yang kini diasuh oleh Gus Irwan, misalnya, sudah menerapkan sistem keuangan cashless di mana para santri dilarang membawa uang cash.

Sistem ini terbukti dapat mengatasi problem pesantren yang sering ditemui, seperti pencurian. Sistem cashless ini juga mampu menanggulangi sikap boros santri karena santri hanya bisa belanja di koperasi pondok.

Santri Assalafiyyah juga diberi kartu e-Santri yang berfungsi sebagai alat presensi digital untuk check-in dan check-out asrama, presensi kehadiran di sekolah, mengambil laundry, izin pulang, dan sebagainya.

Tentu saja, kedua pesantren tersebut dapat menjadi kontra narasi terhadap label Islam sebagai agama yang tertinggal, gagap terhadap perubahan zaman, dan eksklusif. Seperti yang dibincang di awal tulisan, jika pesantren disorot sebagai “ladang” konservatisme, maka Bumi Cendekia dan Assalafiyyah II bisa dilihat sebagai pencetak generasi Muslim yang moderat dan progresif.

Pesan ini disampaikan Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, di acara puncak malam peringatan Hari Santri Nasional 2022 di Jakarta International Expo (22/10). Dalam sambutannya,  ia menekankan bahwa santri selain harus menguasai ilmu-ilmu agama, juga harus kenal dengan kemajuan teknologi informasi.

Dengan demikian, pesantren tidak berhenti pada mencetak santri yang religius semata, namun juga mempersiapkan santri agar tetap relevan dengan laju digitalisasi dan modernitas. Hari Santri 2022, yang sudah kita lewati, menjadi momentum untuk mengapresiasi pesantren-pesantren seperti Bumi Cendekia dan Assalafiyyah II. Dalam hemat saya, jika pesantren tidak punya cukup sumber daya untuk mengaktualisasi gagasan semacam itu, paling tidak pesantren sudah memiliki kesadaran bahwa santri-santri perlu dikenalkan dengan dunia luar untuk menghindari eksklusifisme.