Obituari Buya Syakur: Ketika Relijiusitas dan Intelektualitas Menyatu dalam Satu Nafas

Obituari Buya Syakur: Ketika Relijiusitas dan Intelektualitas Menyatu dalam Satu Nafas

Kombinasi paradigma Timur Tengah dan Eropa membuatnya mampu mengkompromikan daya nalar tekstual relijius dengan nalar kritis ala Barat. Perpaduan ini yang membuat kajiannya di YouTube menarik untuk diikuti.

Obituari Buya Syakur: Ketika Relijiusitas dan Intelektualitas Menyatu dalam Satu Nafas

Jauh sebelum Buya Syakur populer di media online, ia sibuk malang melintang di Timur Tengah dan Eropa. Setelah kurang lebih 20 tahun mengenyam pendidikan formal akademis, Buya Syakur pulang ke Tanah Air pada 1991 bersama Gus Dur, Quraish Shihab, Nurcholis Majid dan Alwi Shihab.

Jalur akademik yang panjang itu itu berbuah predikat istimewa dari Gus Dur. Ketua Umum PBNU tahun 1984-1999 itu mengatakan bahwa di Indonesia ini cuma ada tiga orang yang berpikir analitis dalam memahami Islam, yaitu Quraish Shihab, Pak Syakur, dan Cak Nur. Label dari Gus Dur tersebut terbukti akurat. Hal ini terbukti dari tema-tema yang diunggah lewat akun YouTube-nya yang bertema cukup berat dan banyak yang berbasis kitab kontemporer atau tasawuf, sebut saja misalnya Fi Zhilali al-Qur’an, La Tahzan karya ‘Aidh al-Qarni, sampai Al-Hikam karya Ibn ‘Athaillah.

Daya nalar tingkat tinggi itu mula-mula dibentuk di pondok pesantren, di mana Buya Syakur menghabiskan waktu kecilnya hingga dewasa. Ia secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Lamanya belajar di pondok pesantren, membuat Buya Syakur menjadi mahir dalam berbahasa Arab. Hal ini kemudian yang membuat Buya Syakur menerjemahkan kitab-kitab bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1971, Buya Syakur melanjutkan rihlah ilmiah-nya di Kairo. Ketika menjadi mahasiswa di sana, Buya Syakur diangkat menjadi ketua PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Kairo. Kemudian pada tahun 1977, Buya Syakur menyelesaikan ilmu al-Qur’an di Libya. Pada tahun 1979, ia menyelesaikan sastra Arab. Dua tahun selanjutnya, tepatnya pada tahun 1981, ia telah menyeselesaikan S2-nya dalam bidang sastra linguistik di Tunisia. Setelah itu, kemudian ia diangkat menjadi staf ahli di kedutaan besar Tunisia.

Setelah kembali ke Indonesia pada 1991, ia membaktikan diri berdakwah di kampung halamannya, di Indramayu. Kombinasi paradigma Timur Tengah dan Eropa itu membuatnya mampu mengkompromikan daya nalar tekstual relijius dengan nalar kritis ala sarjana Barat.

Tidak hanya berdakwah di hadapan jemaah, Buya Syakur dikenal sebagai tokoh agama yang intens memberikan kajian keagamaan via YouTube. Kanal YouTube miliknya bernama KH Buya Syakur Yasin MA, atau khalayak mengenalnya dengan Wamimma TV. Hingga tulisan ini ditulis, kanal tersebut memiliki pelanggan sebanyak 1,16 juta. Gaya penyampaian kajian Islam Buya Syakur sangat khas ala ulama Nahdlatul Ulama (NU). Suaranya tidak pernah meninggi. Ketika menjelaskan persoalan yang rumit ia sampaikan dengan perlahan dan fokus. Topik-topik muamalah khas Buya Syakur yang dekat dengan masyarakat ditambah optimalisasi platform online sebagai ruang dakwah membuat kajian Islamnya menjadi relevan, kontekstual, dan tepat sasaran.

Hasilnya, Buya Syakur tak jarang melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman umat Islam yang sudah mapan ditengah masyarakat. Pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Buya Syakur lebih menekankan pendekatan logika dibanding menekankan doktrin berbasis teks kitab suci. Nalar analitis progresif ini terbukti lebih komprehensif dan cepat diterima nalar ketika mengurai teks-teks Al-Qur’an dan hadis. Meskipun beberapa kajiannya mendapat respon keras dari beberapa pihak. Buya Syakur misalnya menjabarkan dinamika hukum Bunga Bank Konvensional, hukum potong tangan bagi pencuri, dan kritiknya terhadap hadis yang menganjurkan umat Muslim membunuh cicak di malam Sabtu.

Buya Syakur juga pernah mengurai tentang status keharaman musik. Menurutnya, kalau alasan musik diharamkan adalah karena ada kemaksiatan, itu tidak tepat, karena pengajian dan majelis zikir saja ada juga yang melakukan maksiat. “Ada yang ikut pengajian, tapi niatnya mencuri, buktinya di beberapa pengajian ada yang hilang.” Tegas Buya Syakur.

Menurutnya, hakikat musik itu menghaluskan dan melunakkan rasa. Tidak mungkin diharamkan. Kecuali kalau konten dan liriknya negatif. Misalnya, konten lagunya tidak mengandung kebaikan dan merusak. Lagu seperti itu boleh dilarang. Tapi kalau konten lagu dan liriknya positif, mengandung nilai-nilai kebaikan, hukumnya boleh.

KH Buya Syakur Yasin merupakan sosok ulama serta intelektual kharismatik yang memiliki kapasitas untuk melakukan ijtihad dalam rangka mengubah pola pikir, pola pemahaman, dan pola interpretasi naskah-naskah muamalah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis.

Buya Syakur mengembuskan nafas terakhirnya di Cirebon, Jawa Barat pada Rabu (17/1/2024) pada usia 75 tahun. Berpulangnya sang ulama ke pangkuan Yang Maha Kuasa meninggalkan banyak warisan keilmuan Islam. Ia merupakan pendekar Indonesia dalam merekonstruksi cara berpikir khususnya tentang konteks muamalah Islam.

Warisan intelektual Buya Syakur bergerak melampaui semua kalangan. Pemikiran dan wacana keislamannya menunggu untuk dikembangkan oleh sosok-sosok “Buya Syakur” yang baru, tentu dengan penalaran yang lebih segar dan kontekstual.

Selamat jalan Buya Syakur. Lahul fatihah…