Dalam banyak literatur, ahli-ahli sejarah Islam seolah bersepakat bahwa Muawiyah melakukan berbagai intrik politik yang licik untuk merebut kursi khilafah dari Ali bin Abi Thalib. Peristiwa Tahkim, yang terjadi antara pasukan Ali dan Muawiyah di perang siffin, menjadi salah satu indikator “tipu daya” Muawiyah untuk merongrong rezim khilafah Ali. Munawir Sadzali sampai-sampai menilai bahwa Muawiyah mendapatkan kekuasaan dan mewariskannya melalui ketajaman pedang dan tipu muslihat
Data sejarah itu, di sebagian pihak, membentuk persepsi bahwa Dinasti Umayyah yang diperjuangkan oleh Muawiyah merupakan sebuah imperium yang keluar dari semangat pemerintahan yang diperjuangkan oleh Nabi di Negara Madinah, dan para khalifah di khulafaur rasyidin.
Meski demikian, kita tidak bisa kemudian secara naif mengatakan bahwa umat Islam pada saat itu tidak membutuhkan pemerintahan Umayyah. Walau bagaimanapun, Umayyah adalah seorang Muslim yang taat. Meminjam argumen Ibn Taimiyah, syariat tidak dapat tegak tanpa dukungan politik dan pemerintahan. Dengan demikian, Rezim monarki pertama dalam sejarah Islam tersebut tetap menjadi faktor krusial berkembangnya Islam pada masa itu.
Mengubah sistem pemerintahan dari sistem musyawarah ke monarki mungkin diingat sebagai salah satu dosa besar yang harus dipikul oleh Muawiyah. Namun, kita nampaknya perlu mengetahui faktor-faktor mengapa Muawiyah melakukan kebijakan itu. Bias politik, faktor subjektifitas penulis sejarah, dan kondisi sosial politik di masa itu bisa jadi luput dari perhatian pembaca sejarah ketika membaca tentang Muawiyah.
Pertama; Muawiyah mungkin terpengaruh oleh banyak negara agama yang lain pada waktu itu. Di luar Islam Arab, ada tiga negara besar yang eksis di sekitarnya; Byzantium, Persia, dan Cina. Tiga negara tersebut menggunakan sistem monarki. Pengaruh geopolitik ini bisa jadi mempengaruhi Muawiyah dalam mekonstruksi pemerintahannya agar tetap bisa relevan dan membina hubungan baik dengan tiga negara besar itu.
Kedua; alasan geografis dan wilayah barangkali menjadi salah satu aspek penting yang harus diamati. Saat jatuhnya khulafaur rasyidin, wilayah kekuasaan Islam sudah sangat luas, sementara pada sisi lain jarak tempuh yang begitu jauh antara satu kota dengan kota lainnya hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki dan menunggang binatang. Dengan kondisi semacam itu, nampaknya sangat sulit untuk mendapatkan kesepakatan yang bulat (ijma’) dalam memilih suksesor Muawiyah.
Argumen lain menyatakan bahwa secara de facto, belakangan diketahui bahwa ijma’ yang diakui itu ternyata hanya terjadi pada masa sahabat, yaitu di era khulafaur rasyidin. Muawiyah seolah ingin mengatakan bahwa model musyawarah yang terjadi di luar masa sahabat tidak cukup kuat untuk menjustifikasi sebuah suksesor kepemimpinan.
Ketiga; fakta sejarah memberikan informasi bahwa pada masa itu hanya monarki sistem yang diinginkan oleh umat. Pernyataan ini nampak terlalu ekstrem. Namun, Philip K. Hitti, dalam History of the Arabs, merekam bahwa setelah Ali bin Abi Thalib meninggal dunia, penduduk Irak mem-bai’at Hasan bin Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Ali. Setelah Hasan bin Ali meninggal terjadi pula pem-bai’at-an Husein bin Ali sebagai Khalifah. Artinya, meski Muawiyah tidak “merebut” kekuasaan, maka sistem yang terjadi juga kemungkinan besar adalah monarki. Dalam bahasa yang lain, sistem-sistem negara yang mapan dan watak para masyarakat di masa itu memang masih “nyaman” dengan sistem kerajaan.
Keempat; rekonstruksi sistem pemerintahan yang dilakukan Muawiyah adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Muawiyah mungkin berpikir bahwa, di satu sisi, jika urusan pergantian ini diserahkan kepada umat, maka kemungkinan pertumpahan darah akan terjadi. Di sisi lain, adanya seorang pemimpin merupakan hal yang dharuri. Dengan demikian, sebagi pihak yang paling otoritatif, ia berpikir untuk mewariskan sendiri tahta khilafah kepada keturunannya.
Sejarah merupakan salah satu dimensi masa yang bisa dikodifikasi secara luas dan fleksibel. Oleh siapa dikodifikasi, Winston Churchil konon pernah berkata, “sejarah selalu ditulis oleh pemenang”. Apapun tafsir adagium itu, yang pasti adalah sejarah selalu melahirkan banyak versi.
Sebagai pembaca sejarah, penting untuk tidak membaca satu versi saja, kita juga perlu membuka diri untuk versi-versi lainnya. Selain bisa membuka wawasan kita tentang perspektif sejarah yang lain, bersikap terbuka kepada semua pengetahuan akan mematangkan kebijaksanaan sekaligus menjauhkan kita dari sikap suka menghakimi.