Konflik Rasial dan Identitas Juga Terjadi Era Dinasti Umayyah di Andalusia

Konflik Rasial dan Identitas Juga Terjadi Era Dinasti Umayyah di Andalusia

Konflik rasial menjadi salah satu problem serius bagi kekhilafahan Bani Umayyah di Cordoba.

Konflik Rasial dan Identitas Juga Terjadi Era Dinasti Umayyah di Andalusia

Banyak kalangan mencatat bahwa salah satu gambaran era Islam cemerlang pernah terjadi di Andalusia. Kota Cordoba sebagai pusat kota adalah daerah yang makmur di Eropa bagian barat, di bawah naungan pemerintahan Dinasti Umayyah II (756-1031). Ketika Eropa masih belum tercerahkan, peradaban Islam yang merentang di sebagian Spanyol sampai Afrika Utara ini sudah membangun peradaban. konflik rasial

Babak baru Islam di Andalusia bermula ketika negeri ini ditaklukkan Thariq bin Ziyad, dan dilanjutkan Musa bin Nusair. Di kurun abad ke-8 Masehi tersebut bangsa Arab mulai mengakuisisi Spanyol, dan tercatat penguasa pertama adalah khalifah Abdurrahman I, eksil dari Dinasti Umayyah sebelumnya di Damaskus.

Andalusia – khususnya Cordoba, merujuk keterangan Philip K. Hitti dalam Capital Cities of Arab Islam, menyebutkan bahwa Spanyol adalah daerah Eropa yang tergolong paling akhir mengalami kristenisasi, serta masih adanya budaya pagan di sejumlah tempat. Kejayaan Islam di Andalusia ini memiliki sejarah panjang dan memakan banyak korban.

Anda tahu, konflik identitas, ras dan etnis adalah salah satu masalah besar dalam sejarah Dinasti Umayyah di Spanyol. Perseteruan bangsa Arab dari Dinasti Umayyah dan masyarakat lokal tak terhindarkan, belum lagi problem umat Kristiani dengan pendatang muslim. Konflik internal muslim seperti konflik Sunni-Syiah maupun pendukung Umayyah dan kalangan pro-Abbasiyah turut mewarnai dinamika Islam di Andalusia.

Salah satu upaya memperbaiki kondisi muslim di sana adalah melalui jalur-jalur pernikahan antar bangsa Arab pendatang dan masyarakat lokal. Keturunan mereka ini disebut kalangan muwallad. Hal ini seperti dilakukan oleh amir pertama Spanyol, Abdul Aziz bin Musa bin Nusair, yang menikahi janda Raja Roderick – kendati tidak disebutkan apakah perempuan ini ikut memeluk Islam atau tidak.

Konflik rasial, etnis maupun politik masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Peradaban Andalusia di rentang khalifah Abdurrahman I sampai Abdurrahman III, namun memiliki beberapa kekacauan. Abdurrahman I – yang dikenal sebagai Abdurrahman Ad-Dakhil, penguasa pertama Dinasti Umayyah di Cordoba, meski mampu mendirikan peradaban di awal pemerintahannya, namun di masa-masa akhir kekuasaannya dipandang mulai lebih tiran dan otoriter. Pasca mangkatnya Abdurrahman I, anaknya Hisyam (berkuasa 788-796 M) dipandang sebagai sosok yang saleh dan terpelajar mampu mengendalikan kerusuhan dan konflik masyarakat Andalusia.

Persoalan menjadi lain sepeninggal Hisyam, ketika diteruskan oleh anaknya al-Hakam I (796-822). Sosok ini adalah pribadi yang dipandang tidak cakap mengelola konflik maupun kekuasaan, serta gemar berpesta. Dalam pemerintahannya, ia menunjukkan sikap keberislaman yang tidak cukup mengakomodasi kepentingan masyarakat non-Arab, non-muslim, maupun muwallad. Demikian kurang lebih keterangan Philip K. Hitti dalam Capital Cities of Arab Islam.

Muwallad ini banyak bekerja sebagai pekerja industri padat karya, seperti buruh atau teknisi. Keadilan hak rakyat lebih berkesan hanya ada dalam tataran teori belaka, namun praksisnya nyaris nihil. Diskriminasi hak-hak pekerjaan orang-orang non-Arab atau yang tidak berada di circle penguasa terus terjadi. Pada satu momen, konflik etnis ini memanas ketika al-Hakam I dilempari batu oleh seorang muwallad ketika melewati jalanan. Belum lagi serangan-serangan terencana yang dilakukan oleh suku Barbar, meski mampu diatasi oleh penguasa.

Belum lagi konflik penguasa yang merupakan “orang Arab” ini dengan non-Arab dan muwallad, ada satu konflik yang dipicu oleh kalangan masyarakat musta’rib/musta’rab, yang artinya “kalangan yang ter-Arab-kan”. Orang-orang ini adalah masyarakat non-muslim Spanyol yang mengikuti tren, serta mengadaptasi bahasa dan budaya Arab sebagai kultur sehari-hari. Lebih kelas menengah, terpelajar, dan kosmopolit. Di era sekarang, barangkali jika Anda pernah berkunjung atau menyimak masyarakat Arab di Afrika Utara – yang merupakan bagian dari sisa-sisa peradaban Andalusia – mereka memiliki dialek, kosakata maupun budaya yang sedikit banyak berbeda dengan Arab di Timur Tengah.

Orang-orang Kristen sedikit banyak merasa terancam secara kultural dengan orang-orang musta’rib ini. Muncullah gerakan-gerakan anti-Arab yang diinisiasi oleh sebagian pemuka agama. Beberapa tokoh Kristen terkait adalah Eulogius, serta ada juga sosok Perfectus yang menjadi martir dalam satu babak pemberontakan yang berujung tragis baginya.

Pada Ramadan 850 M, Perfectus dieksekusi secara terbuka atas tuduhan menghina Islam dan Nabi Muhammad. Perfectus menjadi simbol pengorbanan kaum Kristen, dan nasib serupa banyak terjadi pada orang-orang Kristen yang memberontak. Disebutkan tak kurang dari empat puluhan tokoh Kristen masa itu menjadi martir pemberontakan terhadap kesewenangan penguasa.

Konflik sipil kelompok non-muslim, muwallad, musta’rib, maupun persoalan internal muslim lainnya semakin menyeruak. Kaum pendatang, pekerja biasa, dan kalangan lain yang selama ini dipandang sebagai cuma “warga kelas dua” di Andalusia, mulai beraksi. Salah satu yang melakukan konsolidasi ini adalah kaum Bani Qasi dengan penguasa-penguasa Kristen di Spanyol bagian utara. Andalusia terpecah menjadi banyak bagian dengan tiap daerah kekuasaan yang didominasi oleh etnis, agama, maupun kelompok politik tertentu.

Jelang abad ke-10 Masehi, Dinasti Umayyah Andalusia tampak koyak akibat ragam konflik tersebut. Namun penguasa selanjutnya, Abdurrahman III (berkuasa 912-961) berikut anaknya Al-Hakam II (961-976), mampu menjadikan Andalusia menikmati puncak kejayaannya. Perluasan kekuasaan ke Afrika Utara, serta mengakomodasi kepentingan beragam etnis dan kalangan masyarakat lainnya memperkuat posisi Andalusia di bawah pemerintahan Abdurrahman III.

Puncak keilmuan maupun kesejahteraan terjadi di bawah kekuasaan Al Hakam II. Masjid Cordoba dibangun, militer diperkuat dan kian disegani, perpustakaan dibangun dan buku-buku diimpor dari Mesir, Suriah maupun Baghdad bahkan Cina, serta terbangun komunitas intelektual. Beberapa desain arsitektural yang saat ini tersisa di negeri Andalusia adalah simbol kejayaan Dinasti Umayyah yang hingga kini bisa diakses.

Sayangnya pasca Al Hakam II ini, kepemimpinan figur khalifah tak sekuat sebelumnya dan konon bagai disetir orang-orang di sekitarnya. Monarki kristen menyerang dari utara, dan di selatan yang berbatasan dengan Afrika, Dinasti Umayyah kehilangan legitimasinya. Menyeberang ke belahan utara Afrika, muncullah dinasti Murabithun (dikenal dengan Moravid) yang berasal dari etnis Barbar yang sebelumnya memperkuat pengaruhnya di selatan Andalusia, lalu berlanjut muncul juga kekuasaan dinasti Muwahhidun (dikenal dengan Almohad) yang berpusat di Maroko.

Momen invasi pemerintahan Raja Alfonso ke kota-kota besar seperti Sevilla, Toleda, dan Cordoba, menegaskan keruntuhan dinasti Umayyah ini. Peradaban Islam di Spanyol, bisa dibilang takluk dan tamat. Demikianlah Andalusia di bawah kekuasaan Umayyah berakhir akibat lemahnya figur penguasa, hilangnya legitimasi pemerintah, invasi musuh, dan sisa-sisa konflik rasial, etnis dan identitas.

Persoalan diskriminasi ras dan etnis yang sedang menggeliat hari ini barangkali kian berkelindan akibat ketimpangan ekonomi dan kegagalan melindungi penegakan hak asasi manusia. Agaknya persoalan penyebab runtuhnya Dinasti Umayyah di Andalusia tidak apple to apple dengan apa yang terjadi sekarang. Namun sejarah itu mungkin relevan dengan isu #BlackLivesMatter di skala global maupun #PapuanLivesMatter di Indonesia, yang mungkin menunjukkan ada hal kurang tepat dalam pemahaman maupun strategi para pemimpin, aparat dan pemangku kebijakan selama ini menyikapi isu SARA dan identitas. (AN)

Wallahu a’lam. konflik rasial