Sosok itu tak lagi muda, namun semangat, kegigihan dan peranannya untuk menjaga lingkungan melalui pengelolaan bank sampah tak diragukan lagi. Dia adalah Umi Mariatul Qibtiyah. Warga sekitar kerap menyapanya dengan Bu Umi, ‘pejuang sampah’ dari dusun Wonolelo yang terletak di Desa Kadirejo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang.
Sore itu, kami bersilaturahmi ke kediaman beliau. Mendung mulai menggelayut di langit. Awan hitam pekat seolah ingin segera mencurahkan isinya ke bumi. Dengan penuh semangat, perempuan paruh baya itu keluar masuk ke dalam rumahnya. Ia membawa sejumlah barang hasil kerajinan. Macam-macam rupanya. Ada kursi, tas jinjing, tempat tisu, tempat permen, dan tempat air dalam kemasan.
Kisah Bu Umi dengan perjuangan pengelolaan sampahnya sudah mendapatkan berbagai penghargaan. Terakhir pada tahun 2022, Bu Umi mendapatkan penghargaan dari OASE Kabinet Indonesia Maju dengan kategori perempuan berjasa dalam bidang pengelolaan sampah mewakili Kabupaten Semarang.
Tak lama kemudian, hujan pun turun. Sembari menatap genangan air di halaman rumah, Bu Umi menceritakan awal mula berdirinya Bank Sampah Muda Mandiri.
Aksi Bu Umi berawal dari keresahanya melihat banyaknya sampah yang berserakan di sekitar rumahnya. Kenangan masa kecilnya tentang lingkungan yang sehat dan asri seakan terancam karena ulah warga yang seringkali membuang sampah di pinggir jalan, sungai, atau bahkan membakarnya. Keresehan inilah yang mendorongnya untuk berinisiatif mendirikan gerakan pengelolaan sampah.
Baginya perlu adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan sampah. Selama ini masih banyak yang menggunakan cara lama dalam pengelolaan sampah, seperti dibuang, ditimbun, atau dibakar. Maka hadirnya bank sampah ‘Muda Mandiri’ sejatinya adalah sarana untuk melakukan perubahan paradigma dalam pengelolaan sampah.
Bu Umi juga menjelaskan bahwa pengelolaan sampah menjadi titik simpul penting guna mengurangi timbunan sampah. Hal ini dikarenakan bank sampah akan menjadi mesin penggerak dari mekanisme reduce, reuse, dan recycle yang sudah jamak diketahui masyarakat.
“Orang kok makan sampah!”
Keputusan Bu Umi untuk bergelut dengan sampah tidak dating dari idealism yang muluk-muluk. Alasannya sederhana saja. Bu Umi hanya tidak ingin kenangan masa kecilnya tentang tanah yang subur, desa dengan lingkungan yang bersih dan udara yang sehat hanya akan menjadi cerita masa lalu.
Sekalipun sederhana, tapi tidak semudah kenyataannya. Tidak semua niat baik satu orang dapat diterima dengan baik oleh orang lain. Selama menjalankan aktivitasnya untuk mengelola sampah, ada saja cibiran dan nada sumbang dari tetangga. Ada saja orang-orang disekitarnya memandang sebelah mata keinginanya untuk mengelola sampah, karena diniali tidak memiliki skill dan pengalaman. Selain juga karena dinilai mirip dengan pemulung yang dinilai rendah.
Sebuah cibiran yang sampai saat ini masih membekas di benak Bu Umi adalah “Uwong kok mangan sampah!” (Orang kok makan sampah!), ketika ia berhasil menjual sampah plastik yang telah ia kumpulkan sebelumnya. Sebuah perkataan yang sempat membuat ia merasa sakit hati dan sempat ingin mengentikan aktivitasnya itu.
Namun pada akhirnya ia mengurungkan niatnya. Bu Umi teringat sebuah nasihat dari temannya yang tampak klise, tapi ia pegang betul.
“Agama kita itu memerintahkan kita untuk menjaga kebersihan. Apa yang ibu lakukan hari ini, dengan mengelola sampah adalah bagian dari ibadah.”
Kurang lebih itulah nasehat yang kembali memotivasi dirinya untuk terus berjuang di jalan ini. Nasehat yang mengubah pandangan Bu Umi mengenai pengelolaan bank sampah. Bahwa bank sampah bukan hanya bentuk kepedulian manusia terhadap lingkungan, tetapi lebih dari itu, bank sampah sekalipun jika diniati dengan sungguh, mampu jadi sarana ibadah dan ladang pahala.
Terdapat fakta menarik ketika Bu Umi untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep bank sampah kepada masyarakat. Beragam respon langsung bermunculan. Salah satunya adalah “Bank kok isinya sampah, kalo bank itu ya isinya uang!” Bagi Bu Umi ini adalah hal yang wajar, karena bank sampah memang belum terlalu familiar di telinga masyarakat di dusunnya. Komentar-komentar itu pun langsung direspon Bu Umi dengan riang gembira.
“Jadi ibu-ibu, sekarang bank itu bukan cuma tempat menyimpan uang saja, lho. Sekarang sudah ada yang namanya bank sampah. Kalau ibu-ibu punya sampah di rumah, jangan dibuang atau dibakar seperti selama ini. Ibu-ibu pilah-pilah. Pisahkan sampah kering dan sampah basah. Sampah basah ibu-ibu jadikan kompos. Sedangkan sampah kering bisa ibu-ibu setor ke bank sampah. lalu ditimbang di bank sampah. Terus sampah itu dihargai oleh bank sampah. Jadi ibu-ibu harus tau kalo sampah itu bisa dijadikan uang.”
Dan penjelasan itu terus ia bawa dari obrolan tetangga, sampai ke majelis taklim. Alhasil, dari penjelasan tersebut, akhirnya banyak warga yang tergerak untuk mulai menabung di bank sampah Muda Mandiri.
Ubah Sampah jadi Rupiah
Sembari menunggu hujan reda, Bu umi menjelaskan bagaimana perjalanan dari sampah menjadi rupiah. Menurutnya, menangani sampah rumah tangga secara benar butuh kesadaran, kesabaran, serta sedikit waktu dan tenaga. Berbagai cara Bu Umi lakukan agar gerakan peduli lingkugan ini bisa mendapatkan dukungan masyarakat. Sampai pada akhirnya beliau menemukan jargon “ubah sampah jadi rupiah”. Melalui jargon itu, secara perlahan nasabah mulai berdatangan. Meskipun harus dengan iming-iming uang.
Proses memilah sampah penjadi kunci penting dalam pengelolaan sampah agar menjadi rupiah. Sampah organik bisa diolah menjadi kompos dengan beragam cara. Bisa menggunakan katakura, bisa pula ditimbun ke dalam lubang biopori. Kalau mau agak modern dan mengeluarkan modal, bisa menggunakan biodigester. Kemudian sampah kering bisa djual ke bank sampah. Masyarakat tinggal membawa sampah ke bank sampah.
Kemudian, petugas bank sampah akan menimbangnya. Untuk sampah plastik berkisar Rp. 1.500 – Rp. 3000 per kilogramnya, dan untuk sampah kertas berkisar Rp.300 – Rp.700 per kilogramnya. Proses selanjutya adalah mencatat tabungan sampah nasabah. Setelah semuanya selesai, nasabah bank sampah bisa langsung membawa pulang uang hasil penjualan sampah. Atau, nasabah bisa menabung uangnya di bank sampah.
Dia menekankan bahwa nasabah tak perlu khawatir uangnya akan lenyap. Namanya juga bank, maka uang nasabah akan disimpan dengan aman. Dan, semua tercatat di dalam buku rekening nasabah bank sampah. Dengan demikian Bu Umi mampu memberi bukti kepada masyarakat bahwa “di balik sampah ada rupiah” bukan omong kosong.
Sebelas tahun sudah Bank Sampah Muda Mandiri berdiri sejak awal pendirianya, yakni pada bulan Agustus 2011, Bank Sampah Muda Mandiri sudah mengalami berbagai rintangan. Namun dengan tekad yang kuat, akhirnya bank sampah muda mandiri mampu bertahan sampai saat ini. Berbagai dukungan pun mulai berdatangan, mulai dari pemerintah desa, pemerintah kecamatan, pemerintah kabupaten hingga perguruan tinggi (terkhusus UIN Salatiga) juga turut mendukung dan membantu dalam perkembangan Bank Sampah Muda Mandiri.
Hingga pada tahun 2020, gerakan bank sampah yang di motori Bu Umi bisa menjalin kerja sama dengan Pegadaian dengan program MengEMASkan sampah. Sebuah program yang menjadi salah satu bentuk program BUMN untuk mendukung program pemerintah “Gerakan Indonesia Bersih”. Dengan adanya program ini, para nasabah tidak lagi menerima uang hasil penjualan sampah dalam bentuk uang. Namun nasabah sampah bisa menginvestasikan tabunganya dalam bentuk emas. Sampai hari ini, tercatat sudah ada 75 nasabah yang mengikuti program MengEMASkan sampah ini.
Tidak ada yang mengira memang, dulu sampah yang dianggap tidak memiliki nilai, tapi hari ini Bu Umi bisa membuktikan bahwa sampah bisa menjadi rupiah, bahkan bisa menjadi emas.
Sampah, Ibadah dan Amanah sebagai Khalifah
Saat ini banyak sekali nasabah sampah yang tidak mau sampahnya ditukar dengan uang. Mereka menyedekahkan sampahnya ke bank sampah muda mandiri. Olehnya, sedekah sampah itu kemudian di kumpulkan dan dikelola, kemudian hasilnya dia bagikan ke anak yatim tiap tahunya. Sudah kurang lebih 50 anak yatim yang ia beri santunan tiap tahunya dari sedekah sampah yang diberikan oleh para nasabah.
Dari sinilah ia kemudian belajar dan menambil hikmah. Bahwa mengelola sampah bukan hanya memberikan kemanfaatan kepada lingkungan dan kesehatan. Lebih dari itu, ternyata sampah juga bisa memberikan dampak positif bagi kemanusiaan dan memberdayakan masyarakat sekitarnya.
Ia menyadari bahwa ibadah bukan hanya sholat, puasa dan sebagainya. Tetapi mengelola sampah juga bagian dari ibadah. Karena Allah SWT sudah menitipkan bumi ini kepada kita (manusia). Agar manusia bisa bisa menjaga, merawat, mengolah dan melestarikanya. Maka sudah selayaknya kita sebagai manusia untuk senantiasa menjaga amanah yang telah diberikan kepada kita, dan karena itulah kita, manusia, diberi amanah sebagai khalifah. [rf]