Sisa Makanan Masih Jadi Penyumbang Sampah Tertinggi, Bisakah Puasa Ramadhan Jadi Momentum untuk Mengatasinya?

Sisa Makanan Masih Jadi Penyumbang Sampah Tertinggi, Bisakah Puasa Ramadhan Jadi Momentum untuk Mengatasinya?

Puasa Ramadhan seharusnya bisa menjadi momentum bagi umat muslim untuk berkontribusi dalam mengatasi persoalan sampah sisa makanan.

Sisa Makanan Masih Jadi Penyumbang Sampah Tertinggi, Bisakah Puasa Ramadhan Jadi Momentum untuk Mengatasinya?
Sampah masih menjadi persoalan lingkungan yang sangat serius.

Ketika berbicara masalah sampah, perhatian banyak orang akan tertuju pada sampah plastik. Di Indonesia, perhatian itu terbukti dengan telah ditekennya berbagai peraturan daerah (Perda) yang secara khusus mengatur penggunaan plastik. Bahkan, saat ini, ketika berbelanja ke mini market, pembeli tidak lagi mendapatkan kantong plastik. Namun, siapa sangka bahwa ada sampah jenis lainnya yang menyumbang produksi lebih banyak dibandingkan sampah plastik?

Jenis sampah yang dimaksud adalah jenis sampah sisa makanan. Ya, sisa makanan merupakan penyumbang sampah terbesar di Indonesia. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian LHK menunjukkan, pada tahun 2022, dari 19 juta ton lebih sampah, sebanyak 42,15 persen merupakan sampah jenis sisa makanan. Itu adalah presentase tertinggi, dan jumlahnya lebih dari dua kali lipat sampah jenis plastik (17,7 persen).

Sampah Sisa Makanan Tinggi Saat Indeks Kelaparan Juga Tinggi

Laporan Global Hunger Index (Indeks Kelaparan Global) tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia berada di level kelaparan yang moderat dengan skor 17,9. Skor itu menempatkan Indonesia di posisi ke-47 dari 124 negara. Skor itu juga menunjukkan penurunan yang cukup signifikan dibandingkan 15 tahun lalu, tepatnya 29,1 persen pada tahun 2007.

Meski demikian, Indonesia tetap menjadi negara dengan angka kelaparan paling tinggi ke-3 setelah Timor Leste (skor 30,6) dan Laos (skor 19,2). Fakta ini nampak kontras dengan fakta yang disinggung sebelumnya, yakni tingginya sampah sisa makanan. Bagaimana bisa sebuah negara dengan produksi sampah jenis sisa makanan yang tinggi, ternyata juga menjadi negara dengan tingkat kelaparan tertinggi di suatu regional?

Jenis sampah ini bisa dibagi menjadi dua kategori. Pertama, sisa makanan dari hidangan yang tidak dihabiskan. Kedua, sisa makanan dari bahan makanan yang tidak tersimpan dengan baik sehingga harus dibuang karena tidak layak lagi untuk dikonsumsi.

Sisa makanan yang termasuk dalam kategori pertama biasanya disebabkan oleh pola konsumsi yang buruk. Misalnya, membeli makanan dengan berlebih-lebihan tanpa menimbang kemampuan perut. Atau membeli dengan asal, lalu ketika tidak cocok, makanan akan langsung dibuang begitu saja. Sedangkan, kategori kedua biasanya disebabkan oleh manajemen penyimpanan yang buruk. Misalnya, membeli bahan masakan sebanyak-banyaknya karena ada diskon, tapi tidak memerhatikan kebutuhan aslinya, yang kemudian membuat stok bahan makanan menumpuk.

Puasa Ramadhan sebagai Momentum

Pada dasarnya, baik sampah sisa makanan kategori pertama maupun kedua, semua bisa diantisipasi agar tidak terus-menerus bertambah. Itu juga menjadi tantangan bagi setiap orang untuk mengatasinya. Tentu banyak cara yang bisa dilakukan. Di bulan Ramadhan ini, ketika seluruh umat muslim diwajibkan untuk berpuasa, seharusnya bisa menjadi momentum yang tepat untuk menjawab tantangan tersebut. Apalagi, nilai-nilai positif dalam ibadah puasa sangat relevan untuk mengatasi persoalan sampah sisa makanan.

Nilai pengendalian diri yang terkandung dalam ibadah puasa, jika mampu dipahami dan dipraktekkan oleh setiap umat muslim, maka bukan tidak mungkin persoalan sampah sisa makanan bisa diatasi. Melalui ibadah puasa, seorang muslim dilatih untuk mengendalikan hawa nafsunya, termasuk nafsu perut atau nafsu makan. Ia dibiasakan untuk makan secukupnya sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Dan ketika sudah terbiasa, ia kelak bisa mengendalikan keinginannya untuk mengonsumsi berbagai macam makanan meski ia bisa saja membelinya.

Nilai positif berikutnya yang terkandung dalam ibadah puasa adalah nilai solidaritas. Nilai ini berangkat dari kesadaran bahwa rasa lapar dan haus yang dirasakan oleh orang yang berpuasa juga dirasakan oleh orang-orang yang kurang beruntung di luar sana, yang untuk mendapatkan sesuap nasi saja mereka kepayahan. Nilai solidaritas ini juga bisa dikatakan sebagai nilai pendukung bagi nilai pengendalian diri. Artinya, nilai solidaritas yang tumbuh dalam diri orang yang berpuasa mendorongnya untuk mengendalikan diri agar tidak berlebih-lebihan dalam mengonsumsi makanan dan minuman.

Selain itu, nilai solidaritas juga bisa diwujudkan dalam tindakan berbagi makanan. Misalnya, ketika terlanjur memasak makanan yang banyak, atau membeli makanan yang banyak, tapi merasa tak sanggup menghabiskannya, maka solusinya adalah membagikannya kepada orang yang membutuhkan. Sehingga, tidak ada makanan yang terbuang dan menjadi sampah.

Relevansinya Dengan Takwa

Terakhir, dan yang paling inti dari ibadah puasa adalah nilai ketakwaan. Takwa yang biasa dipahami sebagai imtitsālu awāmirillāh wa ijtinābu nawāhīhi (melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya) merupakan goal dari ibadah puasa. Sebagaimana Firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah [2] ayat 183 yang menegaskan bahwa tujuan perintah berpuasa adalah agar orang-orang mukmin bertakwa kepada Allah SWT.

Dalam banyak ayat-ayat Al-Qur`an, Allah sering memperingatkan kepada umat manusia, dan umat muslim khususnya, untuk menjaga kelestarian alam dan seisinya. Itu dapat dipahami dari banyak ayat yang melarang untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Bahkan, Allah dengan tegas Berfirman, innallāha lā yuhibbul mufsidīn, Allah tidak Menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Sampah sisa makanan, yang berdampak langsung pada kelestarian alam, tentu perlu mendapat perhatian khusus. Sebagai wujud implementasi dari ketakwaan, seorang muslim tentu akan berusaha untuk menjaga kelestarian alam dengan tidak memproduksi sampah sisa makanan.

Di ayat lain, Allah SWT juga melarang umat-Nya untuk tidak berlebih-lebihan dan menghambur-hamburkan makanan. Implementasinya, orang yang bertakwa akan menjauhi perbuatan berlebih-lebihan dan menghambur-hamburkan makanan, yang selanjutnya ia juga akan berhenti, atau minimal mengurangi, produksi sampah sisa makanan.

Dengan demikian, puasa Ramadhan seharusnya bisa menjadi momentum untuk mengatasi persoalan sampah sisa makanan. Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut selama bulan Ramadhan, antara lain: Tidak bergonta-ganti menu sahur maupun buka puasa, membeli takjil secukupnya, membagikan makanan kepada orang lain ketika stoknya banyak, dan sebagainya.